Catatan Akhir Kuliah – Part 11

“Enak banget ya Rico”. Ujar Andi sembari menggigit pipet kotak minuman tehnya.
“Gue mah gak bisa kayak dia”. Sanggah Genta sembari memainkan senar gitar memetiknya lembut.

Aku, Andi, dan Genta sedang duduk di sebuah bangku panjang depan pondokan stan jurusan kami. Kami sedang memandangi Rico dan Delia di seberang sana. Rico memberikan sebuket mawar merah besar kepada Delia. Hari ini mereka sedang anniversary bertepatan hari ulang tahun fakultas.

“Jangankan mau ngasih bunga mawar sebanyak itu, gue bisa makan aja syukur”. Lanjut Andi.
“Loe gak pernah ngasih apa-apa ke Putri Ndi?”. Tanya Genta menatap Andi yang masih terpanah menatap Rico dan Delia.
“Gue cuma sanggup beliin dia makanan doang, kalau loe gimana Gen?”.
“Gue kan putus”.
“Lah loe gak cerita kalo putus, loe putus kenapa?”.
“Pacaran itu ribet dan ternyata jaman sekarang, setia aja gak cukup”.
“Ribetnya gimana?”.
“Loe sama Putri pacaran?”. Tanya balik Genta.
“Ya enggak sih, kalo ada ikatan lebih ribet”.
“Nah itu tau”.
“Lah loe ribetnya gimana?”.
“Ya ribet aja. Liat deh Rico sama Delia, anniv dirayain, ultah dirayain, baju baru dirayain”.
“Eh mana ada baju baru dirayain?”.
“Ya ada itu lebaran”.
“Yaelah wong edan”.
“HAHAHA ya enggaklah canda”.

“Rico mah orang kaya Gen, dia mau nyewa hotel atau segala macam juga sanggup, nah orang kayak kita diterima apa adanya aja seneng”.
“Iya Ndi. Loe harus jaga Putri baik-baik”.
“Pastinya lur”.
“Pasti dinikahin?”.
“Ya pastinya dong HAHAHA”.
“Pake canda gak?”.
“Enggak kali ini serius”.
Andi lalu berbisik dengan Genta, “Ada temennya”.
Mereka pun tertawa dan aku hanya ikut tertawa.

“Oh iya Al, gue gak pernah liat loe deket sama cowok?”. Tanya Genta.
“Ya mana ada yang mau deketin cewek kayak aku”.
“Mungkin loe gak sadar, bisa aja ada seseorang yang diam-diam mengagumi loe”. Ledek Genta.
“Eakkkkk!!!!”. Sanggah Andi dan kami kembali tertawa bersama.

“Woiii”. Sapa Angel baru datang.
“Kalian ini ngeliatin apa sih?”. Tanya Putri mengikuti arah pandangan kami.
“Put?”. Panggil lirih Andi yang belum mengalihkan pandangan.
“Iya kenapa?”.
“Loe kok masih bertahan sama gue yang gak pernah ngasih apa-apa?”.
“Loe ini ngomong apa sih!!!”.
Andi kemudian menatap Putri dan Putri kemudian masuk dalam stan.
“Just so so Put”. Ujar Andi sembari melengos.
“Oalah si Rico, ya sih urusan nyenengin perempuan dia nomor satu”. Ujar Angel yang sudah berdiri di samping kami.
“Al mana?”. Tanya Genta.
“Tadi nganterin Rahma, katanya mau beli jajanan”.
Aku hanya terdiam mendengar jawaban Angel

Kami memandangi panggung depan kami dengan penampilan musik akustik. Stan berdiri dengan megahnya merajai titik jalanan menuju lapangan fakultas. Stan-stan berdiri dengan bambu dengan atap dari daun kelapa yang kering membentuk rumahan sawah. Sedangan, stan jurusan kami terpampang berbagai terarium yang diletakkan diatas meja, yaitu sejenis tanaman sukulen seperti kaktus ditanam di media pasir berwarna dan diukir dengan cantiknya. Taman mini dalam pot dengan berbagai tanaman didalamnya dengan tambahan miniatur rumah, tak kalah menariknya dengan air mancur sekitarnya. Ini cocok diletakkan di taman atau sudut ruangan sebagai penghias rumah.

Tema ulang tahun fakultas kami tahun ini adalah Mari Bersatu dengan Tangan Dingin Indonesia, artinya tangan dingin disini adalah kreativitas anak bangsa terutama dalam bidang budaya. Kami semua sekarang yang ada disini mengenakan pakaian adat Indonesia. Aku sedang mengenakan kutu baru berwarna merah, sedangkan Angel berwarna kuning, dan Putri berwarna hijau, kami seperti lampu merah sekarang. Sedangkan Andi dan Genta mengenakan pakaian khas Anak Jawa yaitu baju bergaris-garis ke bawah antara warna coklat dan hitam. Aku lihat tadi pagi Alsan tampak tampan mengenakannya, apalagi dengan blangkon yang ia kenakan.

Suara gendang mulai terdengar mengalihkan perhatian kami. Putri langsung keluar dari stan dan duduk di samping kami. Panggung berdiri megah dengan alat musik modern dan gamelan dikedua sisi panggung penyanyi. Pinggiran panggung penuh dengan berbagai bunga pot dari mahasiswi yang nantinya setelah acara akan diletakkan di setiap kelas untuk memperindah suasana kelas. Tari Saman adalah pandangan kami sekarang.
“Wah bagus ya? Kompak banget!!!”. Teriak Putri begitu senang.
“Kalian juga harus lihat tarian bali”. Sanggah Angel.
“Apalagi saat loe lirik-lirik gitu ya Ngel”. Goda Putri dan kami semua tertawa kembali terkagum melihat Tarian Saman. Belajar Tari Saman juga harus belajar fokus. Dulu waktu sekolah dasar jantungku benar-benar dipacu cepat karena takut salah jika tidak kompak.

“Sebentar lagi loe tampil kan Ngel?”. Tanya Putri.
“Iya nih, tapi Alsan mana ya? Kan dia yang pegang gitar akustik”.
“Tumben Ngel dia pegang alat musik modern?”.
“Gak tau tuh katanya lagi pingin aja, Alsan sama Rahma pergi cari jajanan ke Jakarta mungkin ya?”. Keluh Angel.

“Oke, selanjutnya UKM Seni akan tampil”. Ujar MC yang dibawakan oleh seorang laki-laki.
“Lah yang ngiringin disini emangnya bukan anak seni?”. Tanya MC perempuan.
“Kali ini yang tampil adalah Al dan Angel”.
Sontak teriakan mahasiswi begitu heboh.

“Ya udah gue keatas dulu”. Ujar Angel meninggalkan kami.
“Alsan gimana?”. Tanya Putri dan Angel hanya melambaikan tangan memunggungi kami.

Angel berdiri di bagian panggung penyanyi memegang gitar ukulele. Instrumen musik gamelan mulai dimainkan yang dipimpin oleh Angel dan dilanjutkan anak Seni lainnya yang memimpin musik modern menggantikan Alsan. Penonton langsung berteriak riuh sembari bertepuk tangan. Angel dan teman-teman begitu mahir memainkan alat musik. Angel tetap tampil santai walau tak ada Alsan. Angel mulai menyanyikan lagu dengan perpaduan musik gamelan dan musik modern yaitu Lir Ilir.

“Angel udah pintar nyanyi jawa ya?”.
“Iya”. Jawabku kepada Putri. Aku masih sibuk menelepon Alsan yang ponselnya masih terdengar suara perempuan yang menyatakan ponsel sibuk.
“Kenapa mbak-mbak yang menjawab? Bukan Alsan!”. Teriakku dalam benak.
“Masih sibuk ya Al?”.
“Iya nih Put”.
Beberapa detik kemudian teleponku diangkat.
“Alsan kamu dimana?”.
Suaranya kecil dan aku menyingkir ke jalanan yang sepi.
“Apa Alsan aku gak denger kamu”.
“Woii gue lagi ngomong sama loe!”.
Aku mendengar seperti suara bentakan laki-laki.
“Udah! Jangan! Kasihan!”.
Aku mendengar suara Rahma berteriak dan menangis.
Ada apa ini?
“Alsan kamu dimana?!”. Teriakku panik.
“Aku di kelas pangan”.
Hah? Aku? Bukan itu masalahnya! Tapi…
Bruuukkk!!!

Aku mendengar suara seperti menabrak meja. Aku kemudian berlari menuju kelas pangan. Entah angin apa yang membawaku berlari begitu kencang. Seakan jarak 1km seperti hanya 1m. Aku sampai pada titik yang aku inginkan.
“Alsan!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”.

Aku berteriak dengan sekuat tenaga sampai di pintu kelas ketika melihat Alsan dipukuli tak ada habisnya padahal wajahnya penuh dengan darah. Aku melihat Rahma hanya menangis memegang lengan laki-laki tersebut. Aku berlari menghampiri Alsan yang duduk tersungkur di sudut kelas.
“Loe siapa?”. Tanya laki-laki tersebut yang aku abaikan.
“Kamu gak apa-apa?”. Tanyaku tanpa sadar bulir-bulir air mataku jatuh di ujung mataku.

“Kamu bodoh ya?’.
“Kok gitu?”.
“Mana ada udah berdarah gini pasti baik-baik aja”.
Aku hanya terdiam menahan kesal kemudian membantu Alsan berdiri.

“Loe itu siapa?”. Laki-laki itu kembali menghampiriku seakan ingin menarik rambutku tapi Alsan langsung memegang lengan laki-laki tersebut kemudian membalikkannya dan menendang lututnya. Laki-laki tersebut langsung jatuh begitu saja. Alsan menarik jemari tanganku dan kami berjalan keluar. Aku sempat melihat Rahma berdiri di belakang laki-laki tersebut menatap kami kaku.
“Alsan kita mau kemana?”. Tanyaku saat kami berada di parkiran motor, dan siap-siap mengeluarkan motor. “Obati dulu luka kamu”. Lanjutku dan Alsan hanya diam dan menghidupkan motor, aku pun ikut naik.

Alsan melajukan motornya tanpa mempedulikanku. Kami hanya diam selama perjalanan, Alsan membawa motor dengan kecepatan sedang hingga akhirnya kami sampai dirumahku.
“Kok rumahku?”. Tanyaku. Alsan hanya turun dari motor diikutiku dan Alsan duduk di kursi panjang teras rumah. Aku masuk rumah untuk mengambil kotak P3K.
“Al masuk aja”.
“Disini aja Al, gak enak diliat tetangga gak ada orang di rumah”.
“Kok tau dirumah gak ada orang?”.
“Kan kemarin nenek bilang mau jalan-jalan SD dan Pak Toto ke pasar simpang lima”.
“Oh iya lupa”. Aku pun duduk disampingnya.
Aku membuka botol antiseptik dan menyiramkan sedikit di kapas untuk membersihkan luka Alsan terlebih dahulu baru aku tempelkan pada Alsan.
“Auuu!!! Sakit Al”.
Aku hanya diam menahan kesal dan aku siramkan kembali pada kapas yaitu obat merah dan menempelkan pada lukanya.
“Al pelan-pelan”. Keluh Alsan tak bergerak sama sekali.
“Kamu kan bisa berkelahi, kenapa gak ngelawan?”. Tanyaku kesal menekan luka Alsan kuat dengan kapas.
“Kalau aku ngelawan dan menang, nanti Rahma masih nyantolin aku muluk”.
“Emang cowok tadi siapa?”.
“Dia pacarnya”.
“Apa? Pacarnya?”. Tanyaku menghentikan aktivitasku.
“Iya pacarnya”.
“Kamu sih menel”.
“Siapa yang menel?”.
Aku melanjutkan aktivitasku, “Aku udah sering liat kalian berduaan, wajar dong kalo pacarnya marah, apalagi hari ini seharian kalian bareng”.
“Kok jadi kamu yang kesel?”.
“Aku enggak kesel, cuma kalo udah kayak gini kamu yang rugi”.
“Kamu pikir aku suka dekat dengan Rahma?”. Pertanyaan Alsan sontak membuatku melihatnya. Alsan berbicara kembali, “Hari ini aku dipaksa nemenin dia padahal males, aku juga bosan, dia lama sekali berbelanja hingga akhirnya pacarnya datang saat kami baru berjalan menuju lapangan”.
Aku hanya diam dan membereskan kapas-kapas kemudian menutup kotak P3K dan memberikan salep pada Alsan untuk dibawa pulang.
“Aku kesal kamu datang tadi”. Lanjut Alsan kembali.
“Kalo aku gak datang, mungkin sekarang kamu sekarat”. Jawabku tak mau kalah.
“Kalo kamu dipukul dia tadi bagaimana? Itu lebih buat aku sekarat”. Pernyataan Alsan membuatku benar-benar terpaku. “Ya kenapa berantem coba?”.
“Kalo main boneka gak lucu Al”. Aku hanya tertawa kemudian masuk rumah dan membuatkan teh.

Saat aku sedang mengaduk, aku mendengar suara Pak Toto datang.
“Haduh Mas Alsan kenapa? Kita ke rumah sakit ya?”.
“Pak Toto jangan berlebihan”. Jawabku keluar membawa segelas teh hangat dan aku berikan pada Alsan. “Dia udah biasa kok dapet luka memar”. Lanjutku.
“Ya udah Pak Toto mau numbuk seledri”.
“Seledri kok ditumbuk Pak Toto?”. Tanyaku saat Pak Toto sudah melangkah depan pintu.
“Buat ngobatin luka memar Mas Alsan”. Jawab Pak Toto kemudian meninggalkan kami menuju dapur.
“Emang seledri bisa ya”. Gumamku kemudian duduk di samping Alsan.
“Batang seledri bisa dipakai buat kompres luka memar”.
“Kok gitu?”.
“Buka internet aja, apa internetnya cuma bisa sosial media aja?”.
“Ya enggak Al”. Aku membuka internet dan baru tahu bahwa batang seledri mengandung zat analgesic untuk obat memar.

Pak Toto kembali dan meletakkan tumbukan batang seledri pada lengan Alsan yang bengkak, mungkin terbentur saat menabrak meja tadi. Pak Toto lalu membalutnya dengan kain.
“Bukannya itu sarung Pak Toto? Sayang banget disobek”.
“Gak apa-apa Mbak Al, asal Mas Alsan sembuh”.
“Kalian benar-benar seperti keluarga”. Gumamku.
“Kenapa? Iri ya?”. Ujar Alsan.
“Just so so”. Jawabku sinis. “Pak Toto kok tau seledri bisa buat luka memar?”.
“Anak Pak Toto kalo mainan di sungai terus jatuh, biasanya Pak Toto kasih ini, udah sejak dulu mbak”.
“Ohhhh”.
“Ya udah Pak Toto mandi dulu, nanti tinggal jemput Ndoro”.
“Iya Pak Toto terima kasih”. Jawabku.
“Suwon Pak Toto”.
“Sami-sami Mas, Mbak”.
Pak Toto kemudian masuk rumah.

“Angel marah ya pasti?”. Tanya Alsan saat kami sama-sama sedang menatap pohon mangga yang belum berbuah.
“Iya, dia kesel banget, tapi kalo kamu cerita apa yang terjadi pasti dia ngerti”.
Dreeeet dreeet dreeet .
Bunyi getar ponselku dan ternyata ada panggilan dari Putri.
Aku: Halo Put ada apa?
Putri: Assalamualaikum?
Aku: Walaikumsalam. Hehe.
Putri: Kamu dimana?
Aku: Aku dirumah sama Alsan.
Putri: Ngapain?
Aku: Alsan habis dipukuli pacarnya Rahma. Dia lemah sekali sekarang. (Alsan memincingkan matanya padaku dan aku mengalihkan mataku ke arah lain).
Putri: Tapi udah gak apa-apa kan?
Aku: Iya gak apa-apa. Maaf Put kayaknya gak balik lagi kesana.
Putri: Iya gak apa-apa asal kamu baik-baik aja. Ya udah Assalamualaikum.
Aku: Walaikumsalam.

Suara motor kemudian datang, ternyata itu Andi dan Genta.
“Assalamuailaikum”.
“Walaikumsalam”. Jawabku dan Alsan.
“Kan gue udah bilang sama loe Al, kalo Rahma suka sama loe, masih sih loe nanggepin dia”. Keluh Andi berdiri di depan kami dan Alsan hanya diam.
“Kok kalian tau Alsan disini?”. Tanyaku.
“Dari Pak Wagiran”. Jawab Andi
Pak Wagiran adalah satpam di jurusan kami.
“Al ini ada tamu, gak dikasih makanan?”.
“Oh iya Gen, maaf”. Aku kemudian masuk rumah.
“Minumannya jangan lupa”.
“Iya Gen”.
Aku hanya tersenyum mendengar godaan Andi dan Genta pada Alsan yang mengganggunya dengan memegang luka-lukanya dan sesekali mereka berbisik yang tidak terdengar olehku. Aku kemudian keluar membawa roti dan es lidah buaya di mangkuk besar dengan gelas tentunya.

“Apa ini Al?”. Tanya Andi saat aku meletakkan di kursi panjang.
“Ini es lidah buaya”.
“Emang bisa dimakan ya?”. Tanya Genta.
“Bisa dong Gen, justru sehat. Buka internet aja, apa internetnya cuma bisa sosial media aja?”.
Alsan kemudian melirikku dan aku pura-pura tidak melihatnya.
“Ya enggak dong Al”. Sahut Genta
“Ini enak dan dingin”. Ujar Andi begitu antusias ketika mencicipinya.

“Pak Toto udah disuruh jemput?”. Tanyaku saat Pak Toto keluar dari samping.
“Iya Ndoro barusan telfon”.
“Pak Toto hati-hati”. Ujar Genta.
“Iya Mas Genta”.
“Pak Toto nge’es dulu”.
“Iya Mas Andi udah tadi”. Pak Toto kemudian keluar gerbang dan menghidupkan motor. “Yo dah Pak Toto jemput dulu, Assalamualaikum”.
“Walaikumsalam”. Jawab kami kompak.

“Yo dah ayok pulang”. Ajak Alsan.
“Yaah gue masih pingin minum es”. Keluh Genta.
“Gue gak enak kalo ketemu nenek dalam keadaan seperti ini”.
“Yaaah”. Keluh Genta kembali.
“Aku bungkusin aja Gen”. Ujarku kemudian masuk dapur dan kembali dengan tiga kantung plastik es lidah buaya.
“Ini bawa pulang, udah aku bungkusin masing-masing”. Ujarku sembari menyodorkan pada Genta.
“Wah makasih nih Al”. Ujar Genta kemudian menyusul Andi untuk mengeluarkan motor.

“Ini buat kamu”. Ujar Alsan menyodorkan secarik kertas dan aku membukanya.
“Maksudnya apa ini?”. Tanyaku bingung karena ternyata dalamnya tumbukan seledri yang warnanya sudah menempel pada kertas dan tentunya ada lipatan kertas lainnya.
“Biar kamu ingat bagaimana cara mengobati luka memar”.
“Kamu berharap aku terluka?”.
“Justru aku berharap kamu jangan sampai terluka, biar kamu ingat aku berantem gara-gara kamu”.
“Gara-gara aku? Padahal aku yang nolongin kamu”.
“Iya deh jelek”. Ujar Alsan pasrah sembari mengacak rambut depanku.
“Berantakan nanti”. Ujarku sembari membenarkan rambut. “Kamu dapet kertas ini dari mana?”.
“Dompet”.
“Dompet?”.
Alsan hanya tersenyum kemudian menyusul Andi dan Genta yang sedang berdebat tentang tanaman kaktus dirumahku. Genta bilang itu bagus tinggi-tinggi, sedangkan Andi bilang itu akan menyakiti anak kecil jika sedang bermain.
“Kaktus itu ditanam karena disini gak ada anak kecil dan fungsinya itu membersihkan air sekitar jika tercemar dan tidak baik untuk tanaman”.
Andi hanya mengangguk dan Genta mulai meledek. “Al kapan punya anak kecil? Eaaak HAHAHA”. Aku hanya tersenyum masam dan seperti biasa Andi langsung, “Ya enggaklah canda”.

“Yo dah kami pamit Al, Assalamualaikum”. Ujar Andi.
“Walaikumsalam”.
Mereka pun sudah pergi dan aku kembali menatap kertas dari Alsan.
“Kayaknya anak ini bawa persiapan kertas dimana-mana”. Gumamku dan aku masuk rumah. Aku duduk diatas meja belajar untuk membaca lipatan surat Alsan tadi.

Aku ingat gelik tawa itu..
Jemari panjang dan kecil sedang melukis..
Rangkai pasir berbentuk lekukan..
Kau melihat itu bagai mawar dari samping..
Aku baru sadar, begitu indah..
Oh terarium..
Aku titipkan pada Alamanda..

Aku hanya tertawa membaca surat Alsan yang lebih tepatnya puisi.