Catatan Akhir Kuliah – Part 12

“Pagi Mbak Al”. Sapa Pak Toto saat aku keluar rumah untuk berangkat kampus.
“Pagi juga Pak Toto”. Jawabku sedang membuka-buka tas memeriksa kembali jika ada yang ketinggalan. Pak Toto sedang menyiram tanaman sembari menyanyi seperti biasanya.

“Mbak Al telat bangun ya, apa gak disiapin dari semalam bukunya?”.
“Iya nih Pak Toto, aku udah ngantuk semalam ”. Jawabku sendu masih mengecek barang dalam tas. “Yo dah aku berangkat Pak Toto”. Lanjutku kemudian salim.
“Hati-hati mbak Al, kalau ada semut minggir”.
“Ya!!!”. Teriakku sembari berjalan dan menutup gerbang.

Sebenarnya aku suka sampai kampus tidak telat, jadi masih bisa lihat kanan kiri pepohonan berdiri dengan megah terutama saat siang, dan bila telat harus buru-buru lari. Aku turun dari angkot dan melihat mahasiswa berlalu lalang, ada juga yang sedang asik mengobrol di gazebo. Aku langkahkan kakiku sedikit cepat sembari mengintip burung bersembunyi di balik pohon menyembunyikan makanan untuk anaknya.

Tiba- tiba Mobil lewat dengan cepat melewati genangan air disampingku tanpa berfikir.
“Mobil sialan!!!”. Keluhku melihat celana dan bajuku terkena air kotor.

Aku pandangi mobil sekilas, mobil mini berwarna merah seperti mobil Rico, tapi Rico tidak pernah mengemudi cepat saat berada dalam jalanan kampus, itu terlalu berbahaya. Aku berbelok dan berjalan ke kamar mandi, membersihkan pakaianku dari noda tanah yang bisa dibersihkan dari air.
“Yaaaah basah semua, bagaimana ini”. Gumamku depan kaca kamar mandi, kemudian ada seseorang yang menyodorkan jaket levis padaku, aku langsung menatapnya dan ternyata itu Delia.
Ada angin apa anak ini jadi baik. Jadi baik salah, tidak baik juga salah, begitu cara manusia berfikir ketika tidak nyaman dengan seseorang.

“Gue minta maaf atas nama Rico, ini pakek aja”. Ujar Delia sembari memberikan jaket padaku dan pergi tanpa membiarkanku bicara. Aku hanya menerimanya pasrah.

Aku melepaskan kemeja panjangku yang basah kemudian mengganti dengan jaket levis pemberian Delia. Beruntung aku mengenakan kaos dan yang basah hanya kemeja dan celana bagian kanan. Aku kemudian berlari menuju kelas dan mengetuk pintu menandakan kesopanan karena dosen sudah datang duluan saat aku berlari. Dosen dengan baik menyuruh masuk, aku duduk paling pojok dekat pintu seperti biasa nomor dua samping Angel.
“Celana loe basah kenapa?”. Tanya Angel.
“Ceritanya panjang”.

Kami kembali fokus pada penjelasan dosen. Kali ini aku belajar statistika, suatu metode mengolah data sebagai syarat skripsi. Statistika itu sangat penting untuk dipelajari karena memiliki peran sangat penting pada skripsi. Kita tidak pernah tahu bahwa ketika orang lain sedang sibuk skripsi masing-masing, hanya kita yang masih disibukkan dengan olah data yang menurutku sederhana tapi butuh pemikiran lebih.

“Haduuuh pusing kepala gue”. Keluh Angel saat jam kuliah selesai.
“Olah data bakal sesusah ini gak ya?”. Tanya Putri.
“Entahlah Put”.
“Ngel, pasangan loe mana?”. Tanya Genta.
“Siapa pasangan gue?”.
“Si Rico?”.
“Mana gue tau! Dan dia bukan pasangan gue!”.
“Ya enggaklah canda”. Ledek Genta seperti biasa.
Aku baru sadar Rico tidak ada di kelas.

“Luka loe udah sembuh Al?”. Tanya Angel pada Alsan menghampiri kami.
“Gue pakein salep terus”.
“Pasti cewek-cewek di kafe pada makein loe ya?”. Goda Angel.
“Enak aja”. Keluh Alsan kemudian meninggalkan kami disusul Andi dan Genta.
“Just so so!!!”.
Alsan tetap berjalan tanpa mempedulikan Angel.

“Yo dah yok kantin”. Ajak Putri.
“Let’s Go!!!”. Teriak Angel berdiri dari kursi dan merangkul kami berdua sembari berjalan.
“Oh ya nasib Rico gimana ya?”.
“Kenapa Ngel?”. Tanyaku saat Angel melepaskan lengannya.
“Dia terpilih jadi nominasi gubernur apa enggak?”.
“Hmm entahlah.. dari tadi Rico tidak terlihat”. Sahut Putri.

“Al!!!!”. Teriak seseorang memanggilku saat kami sampai di kantin dan menghampiri kami
“Eh Daniel, ada apa?”. Sahutku menghentikan langkah.
“Al, kami duluan duduk ya?”. Ujar Angel.
“Oke nanti aku nyusul”.

“Gini Al, gue denger rumah loe banyak tanaman, gue mau praktikum, loe bisa…”.
Perkataan Daniel berhenti tepat ada seseorang yang melingkarkan lengannya di pundakku dari belakang. Aku pun terkejut merasakan lengan menyanggah di pundakku dan itu lengan laki-laki. Aku terdiam terpaku karena itu adalah lengan seseorang yang aku kenal.
“Hai Sayang”. Sapanya kemudian aku menengok ke samping, dia pun akhirnya sama terkejut denganku.
“Al!!!”. Teriaknya yang langsung melepaskan lengannya.
“Gue pikir loe Delia dari belakang jaketnya sama”. Ujar Rico.
Aku hanya terdiam.

“Eh Al, gue udah ketemu Alamanda nih”. Ujar Daniel pada seseorang di belakang kami.
Sontak aku dan Rico menengok ke belakang, ternyata ada Alsan, Andi, dan Genta. Aku pikir Alsan tadi pasti melihatnya, terlihat dia hanya memandangiku sekilas kemudian pergi bersama Andi dan Genta. Genta kemudian mengajak Rico untuk makan bersama dan Rico langsung menghampiri mereka dan sempat berkata maaf sebelumnya kepadaku.

“Al???”.
“Eh iya Dan, langsung ke rumah aja nanti kita izin sama nenek”.
“Iya Al, makasih yaa”.
“Sama-sama Dan”.

Daniel kemudian pergi menyusul rombongannya. Aku berjalan menuju meja yang ditempati Angel, Putri, Andi, Genta, Rico, dan Alsan tentunya. Aku duduk di samping Angel yang berhadapan dengan Alsan. Alsan tampak tenang dengan makanannya. Rico di seberang sana juga tampak tenang, hingga Genta mulai pembicaraan tenang ini.
“Eh Co, gimana seleksi gubernur? Loe masuk kan?”.
“Enggak”. Jawabnya datar.
“Lah kan loe yang disuruh maju kemarin, kok loe gak lolos?”. Tanya Andi.
“Gak tau gue”.
“Pantesss Rico salah meluk orang”. Goda Angel.
Semua orang tertawa tidak denganku, Alsan, dan Rico.

“Apa?”. Ujar seseorang dengan emosi, dan ternyata itu Delia yang sudah berdiri dekatku. “Salah meluk orang?”.
Semua orang jadi berhenti tertawa. Keadaan kami melebihi sebelum negara api menyerang, malah seperti sebelum ulat api menuju kulit sampai sekujur tubuh. Rico kemudian berdiri dan menghampiri Delia. “Sayang, dengerin dulu”. Delia hanya memincingkan matanya pada Rico kemudian meninggalkan kami semua.
“Udah Co, biarin aja. Kata loe Delia kan harus adem dulu baru bisa diajak ngomong”. Sanggah Andi.
“Diem loe!”. Teriak Rico pada Andi membuat semua orang menjadi tegang. Rico kemudian meninggalkan kami dengan wajah penuh emosinya.
“Woi biasa aja!”. Teriak Genta yang membuat semua orang menjadi perhatikan kami.
“Udah Gen, biarin aja”. Ujar tenang Putri.
“Ya enggaklah canda”. Ujar manja Genta yang membuat Andi tertawa.
“Mungkin karena gue pake jaket Delia, jadi dikira gue Delia tadi, apalagi tinggi kami juga sama”.
“Oh… ini jaket Delia?”. Tanya Putri.
“Iya tadi pagi, gue kecipratan mobil pas melewati ada genangan disamping gue”.
“Emang ya sekarang mentang-mentang pakai mobil gak liat-liat”. Keluh Angel.
“Asal bukan kenangan aja yang cuma lewat antara kita”. Ujar Andi sembari melihat Putri dan semua orang tertawa termasuk Alsan. Aku dapat melihat tawanya, tawanya yang hanya menunjukkan barisan giginya yang rapih.
“Just so so”. Ujar Putri dan Andi hanya menunjukkan wajah seperti monyet. Sontak Putri hanya tersenyum malu.

“Tapi kalian dari belakang sama Al”. Ujar Angel. “Rambutnya, tinggi dan kurusnya, apalagi jaketnya”. Lanjutnya.
“Ya itu emang jaket Delia”. Sanggah Putri.
“Ya enggaklah canda”. Jawab Angel dan semua terdiam menatap Angel. “Hish kalian”.
Baru semua orang tertawa.
“Yo dah nanti gue minta maaf sama Rico”. Ujar Andi.
“Gue juga”. Sanggah Genta.
Kami kemudian melanjutkan makan dan Alsan masih diam di tempatnya tanpa memandangiku sedari tadi.

¤¤¤¤

“Eh ada film bagus looh, ayok nonton”. Ajak Angel saat kami keluar kelas.
“Jangan weekend ya? Pasti mahal”. Saran Putri.
“Siappp deh”.
Kami membahas membicarakan film yang akan kami tonton. Kami suka menonton film tentang nilai kehidupan tetapi romantis. Saat kami asik berbincang, tiba-tiba langkah Putri berhenti, sontak aku dan Angel berhenti. Langkah kami berhenti tepat di kantin sekolah yang sudah sepi karena sudah sore.

“Gue kan udah minta maaf Co”. Ujar Genta yang berdiri tepat depan Rico. Mata Rico penuh dengan amarah layaknya harimau yang siap menerkam.
“Co, tenangin diri loe”. Ujar Andi memegang pundak Rico. Rico kemudian melemparkan lengan Andi menggunakan punggung tangannya. “Gara-gara loe! Gue ribut sama Delia!”.
“Gue minta maaf Co”. Ujar Andi kembali.
“Maaf? Maaf aja gak cukup!”. Teriak Rico dan meninju Andi.
“Rico!!!!”. Teriak Angel geram. “Loe itu orang berpendidikan! Bisa-bisanya kelakuan kayak preman pasar!”.
“Berisik!!!”. Teriak Rico. Rico dan Angel sering ribut, tapi sekalipun Rico tak pernah membalas bentakan Angel.
“Co, mereka perempuan, gue yang salah, gue mesti gimana?”. Tanya Andi.
“Loe mampu beliin sebuket mawar besar buat Delia untuk minta maaf? Gak kan? Mendingan kalian diem aja, gak usah ngide nyamperin Delia buat jelasin semua”.

Aku pikir perkataan Rico kali ini keterlaluan dan Andi hanya diam terpaku. Alsan kemudian datang setelah Putri menelfonnya. Tiba-tiba Genta memukul Rico hingga tersungkur menabrak meja. “Kita mungkin gak sekaya loe Co, tapi asal loe tahu?! Setidaknya kami minta maaf, padahal disini yang paling terluka itu bukan loe!!! Tapi Al”.

Semua orang terdiam, dengan nada pelan aku berujar, “Aku gak apa-apa kok”. Genta kemudian pergi meninggalkan kami disusul Andi melewati kami tanpa memandangi kami sedikitpun.
Putri menghampiri Rico yang sudah berdiri. “Hari ini loe ngebuktiin Co, kalo loe gak pantes buat dijadiin temen!”.
“Al, loe pulang sama Alsan ya”. Ujar Angel kemudian menyusul Putri.
Kata-kata paling menyakitkan bagi laki-laki adalah mengenai status sosial, sedangkan kata-kata paling menyakitkan bagi perempuan adalah mengenai fisik.

Alsan kemudian menghampiriku dan mengajakku pulang hanya dengan tatapannya dan aku mengikutinya dengan langkah berat meninggalkan Rico yang masih duduk terdiam sendirian. Alsan sejenak berhenti sebelum meninggalkan Rico. “Inilah kenapa loe gak pantes buat dijadiin gubernur”. Ujar Alsan hanya memiringkan kepalanya memunggungi Rico. Alsan kemudian melanjutkan langkahnya tanpa memandang Rico. Delia datang menghampiri Rico dan kami sudah berjalan jauh dari mereka. Alsan dan aku langsung menaiki motor dan berlalu dari mereka.

Aku tak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Ini semua salahku. Andai aku lebih berhati-hati dalam jalan kaki, aku pasti tak harus mengganti pakaian dan membuat Rico salah paham. Tiba-tiba bulir air mataku turun di sudut mata dan Alsan meminggirkan motornya pada sebuah taman dekat rumah.
“Kenapa Al?”. Tanyaku bingung dan aku turun dari motor.
“Harusnya yang tanya aku, kenapa kamu nangis?”. Tanya Alsan yang sudah berdiri.
“Gara-gara aku, mereka ribut”. Jawabku menundukkan kepala.
“Emang kamu salah apa?”.
“Kalau bukan gara-gara aku pakek jaket Delia, gak gini jadinya”.
“Kamu gak salah, aku yang salah”.
“Kok gitu?”. Tanyaku kemudian mengangkat kepala.
“Duduk dulu yok”.
Kami kemudian duduk di salah satu bangku taman dengan senja menyinari kami, kebetulan kami turun dekat taman kota.

“Aku salut sama Andi dan Genta. Selama ini aku tidak pernah frontal dengan Rico”.
“Maksudnya?”. Tanyaku heran.
“Ketika Rico lagi emosi, aku cuma bisa diem sampai dia tenang. Beda dengan Andi dan Genta, mereka berani bertanya langsung”.
“Aku pikir Rico baik dan santai seperti yang lain”.
“Orang lain melihat pertemanan kami baik-baik saja sebelum kami dekat dengan Andi dan Genta. Pada dasarnya kami hanya mencoba bertahan bukan saling jujur dan menjadi lebih baik”.
“Kamu menahan banyak kesal dengan Rico?”.
“Tidak juga. Rico baik orangnya, hanya saja dia terlalu berambisi dan salah cara”. Ujar Alsan kemudian tersenyum dan aku hanya mengerucutkan bibir. Aku senang lihat kamu akhirnya tersenyum.

“Yo dah yok pulang”. Ujar Alsan kemudian berdiri.
“Jadi kita duduk cuma gitu aja?”.
“Karena kamu suka liat senja?”.
Aku hanya terdiam dan mengikutinya berjalan menuju motor dan kami menuju pulang.

Selama perjalanan, aku terus memikirkan tentang arti pertemanan yang sesungguhnya, aku baru menyadari selama ini kami belum pernah diterpa masalah secara emosi yang membuat kami nyaman satu sama lain ketika senang, saat seperti ini keujian ketulusan pertemanan diuji bahwa yang bertahan adalah yang menerima adanya dan saling memahami dan bila pergi ada dua kemungkinan, yang dipahami tak ada pengertian atau teman kita yang malas untuk memahami.

“Sampai di rumah ratu”. Ujar Alsan saat kami sampai depan gerbang dan aku turun sembari menyerahkan helm. Alsan melihat-lihat helm yang aku kenakan.
“Kenapa?”.
“Takut ada salju”.
“Alsan!!!!”.
Alsan hanya tertawa kemudian pamit pulang dan aku masih memasang wajah kesal.

Aku langsung masuk rumah mengucapkan salam dan salim kepada nenek.
“Jaket siapa itu?”.
“Jaket temen nek, tadi kena cipratan mobil”.
“Yo dah kamu mandi terus jaketnya dicuci”.
“Siap nek”.
Aku menuju kamar dan bersiap-siap untuk mandi. Hari ini cukup melelahkan. Drama hari ini luar biasa melebihi saat aku, Angel, dan Putri dalam suasana kurang bagus. Aku bersyukur sejauh ini kami menghadapi dengan baik.

¤¤¤¤

Suasana kampus hari ini benar-benar seperti berkabung. Aura yang tak pernah terpancarkan selama ini. Aku masih duduk diantara Angel dan Putri, tapi belakang kami tidak ada Alsan dan Rico. Hari ini mereka duduk di sudut lain. Alsan duduk paling depan, sedangkan Rico duduk paling belakang. Andi dan Genta tampak masih tenang di belakang kami memperhatikan dosen.

Ada rasa syukur juga hari ini, aku bisa melihat Alsan leluasa karena duduk di depan tetapi rasa bahagiaku hanya rasa bahagia tidak tenang mengingat pertemanan kami sedang kacau. Rico yang biasanya sibuk menggoda Angel, kini sapaan pun tak ada, bahkan Alsan memilih banyak diam. Andi dan Genta yang masih konsisten dengan apapun yang terjadi, bahkan tadi pagi sebelum kuliah dimulai, mereka asik bernyanyi.

Jam kuliah pun selesai, saat istirahat pun datang. Rico lewat tanpa menyapa kami satupun. Rasanya asing sekali seperti ini, sisi lain Rico yang ceria telah terbuka.

“Kantin yok”. Ajak Angel.
Kami tetap tenang menuju kantin, tak ada pembicaraan sedikitpun. Kami sampai di kantin pun hanya pembicaraan seadanya yang mewarnai. Pada sudut lain, kegiatan lama Andi dan Genta kembali yaitu bermain kartu bersama rombongan anak-anak yang hobi nongkrong di kantin.

Aku baru dengar dari anak-anak lain saat berangkat kuliah kalau Rico gagal jadi gubernur, mungkin itu yang membuat Rico seperti penuh tekanan mengingat ini keinginannya bisa menoreh cerita di kampus. Mungkin kebersamaan bersama teman-teman bukan cerita baginya. Aku harus cari cara agar hubungan pertemanan ini kembali normal. Aku biasanya bertiga, tapi sekarang kebiasaan bertujuh. Ini sangat tidak nyaman.