Catatan Akhir Kuliah – Part 14

Tok…tok…tok…

Bunyi ketukan jendela kamarku, aku langsung terbangun dan membuka jendela kamar.
“Ayok”. Ujar lembut seseorang di balik jendela kamar.

Retina mataku masih belum menangkap jelas wajah seseorang yang ada dihadapanku karena baru bangun tidur. Kau tahu rasanya dibangunkan mendadak? Rasanya tidak enak sekali, kepalaku pusing. Aku mengusap kedua mataku tapi langkah tanganku terhenti. Dia memegang lenganku sembari berucap. “Kamu cepet sholat, keburu siang”.
“Iya”. Jawabku dan beranjak wudhu lalu sholat.

Pilihan pakaianku berakhir dengan kaos polo berwarna kuning, celana olahraga pendek selutut berwarna abu-abu dengan sepatu putih. Aku keluar rumah dengan rambut dikucir kuda. Aku dapati Alsan sedang mengobrol dengan nenek dan Pak Toto di pintu gerbang. Mereka kemudian melihatku datar. Aku merasa aneh sekali.

Pada senja itu, aku berjanji pada Alsan bahwa akan menuruti permintaannya jika berhasil keluar malam ke Kafe Senja. Permintaan Alsan adalah lari pagi bersama. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa sampai di jendela kamar karena yang aku tahu pintu gerbang depan pasti dikunci.

“Al!!!!”. Panggil nenek saat aku diam terpaku.
“Ya nek”. Jawabku lirih menghampiri nenek. Aku rasa aku akan dimarahi.
“Ikat tali sepatumu dengan benar”.
“Hah?”.
“Tali sepatu Mbak Al belom diikat”. Sanggah Pak Toto.
“Oh”. Jawabku masih bingung kemudian membungkukkan punggung untuk membenarkan tali sepatu.
“Nak Al hati-hati ya jagain Al”. Ujar nenek pada Alsan.
“Siap nek”. Jawab Alsan semangat dengan tangan memberi hormat di dahi.

Setelah selesai mengikat dengan benar, aku kembali menegakkan tubuhku.
“Yo dah nek kami berangkat”. Ujar Alsan kemudian salim dengan nenek dan Pak Toto disusul aku.
“Assalamualaikum”. Ujar Alsan dan aku.
”Walaikumsalam”. Jawab kompak nenek dan Pak Toto.

Aku dan Alsan mulai berlari kecil. Aku mengikuti langkah kaki Alsan yang pelan dan berusaha menyelaraskan langkahku. Ini masih subuh, orang-orang masih sholat dan ada yang masih tidur. Ini demi apapun kalau bukan demi perjanjian juga enakan bersihin rumah sembari curi-curi minum kopi.
“Santai aja Al”. Ujar Alsan menatapku yang sedari tadi memperhatikan langkah kaki Alsan.
“Santai kok”. Jawabku meluruskan pandangan. “Nenek tadi marah?”. Lanjutku.
“Enggak kok”. Jawab Alsan sembari tersenyum.
Senyumnya manis sekali..

Kami berlari melewati rumah per rumah. Kami berlari di pinggiran jalan raya melewati ibu-ibu bersepedahan menuju pasar dan akhirnya kami berbelok ke sebuah gang hingga bertemu jalan persawahan. Langkahku berhenti sejenak.
“Kenapa?”. Tanya Alsan ikut berhenti.
“Nafas dulu Al”.
“Makanya kamu itu olahraga, jadi kalau tiba-tiba fisik kamu digunain gak akan pingsan. Ayok lari lagi”.
Aku hanya diam kemudian melanjutkan lari. Aku hanya tidak suka berdebat karena posisi Alsan sekarang sedang benar.

“Al kok gelep? Kamu mau ngapain aku?”. Tanyaku bingung karena jalanan gelap, bahkan penerangan di pinggir jalan saja tidak ada. Langkahku kemudian berhenti karena Alsan hanya diam saja dibelakangku kemudian berdiri disampingku. Langit yang gelap mulai bercahaya biru gelap, menunjukkan pemandangan sekitarku yaitu sawah.

Aku anak pertanian tapi jarang bertemu sawah. Sawah yang sedang ditanami padi, aku pikir sedang berumur satu bulan yang sedang hijau-hijaunya. Sawahnya tidak terlihat jelas karena cahaya matahari belum sepenuhnya muncul.

Aku sering melihat tanaman..
Bahkan taman..
Tapi aku jarang lihat persawahan..
Seperti zamrud khatulistiwa yang menawan..

“Indah bukan?”. Tanya Alsan.
“Indah sekali”. Jawabku menatap persawahan.

Alsan mengajakku duduk di sebuah tempat duduk yang terbuat dari semen di pinggir jalan. Kami duduk ke arah timur menatap matahari. Udara yang masih dingin membawa angin membawa sejuta ingin, inginku hanya berdua lebih lama bersamanya disini. Langit masih biru gelap. Aku mulai melihat embun pagi dan mencium baunya yang wangi. Aku dapat merasakannya seperti bunga baru mekar.
“Al, kita ngapain duduk bukannya lari?”.
“Katanya pingin nafas dulu, enak juga nafas disini”.
“Aku nafas kok selama ini”.
Alsan memincingkan matanya padaku. “Tapi kamu gak pernah menikmati setiap nafas kamu yang berarti itu?”.
Aku hanya diam dan kembali menatap ke depan.
“Kamu liatin aja depan kamu sekarang, rasakan lebih lama lagi, kamu pasti belum pernah merasakan udara yang benar-benar segar”’. Lanjutnya.

Aku pikir selama ini aku menikmati pagiku dengan baik, tapi aku mungkin belum merasakan jiwa yang hidup dalam diriku untuk bebas menikmati dunia ini. Mataku terbelalak menatap pemandangan didepanku. Ini pertama kalinya aku melihat cahaya kuning mulai muncul dari arah bawah, mungkin sebenarnya karena bumi ini bulat saja. Cahaya besar berwarna kuning itu pelan-pelan keluar menatapku megah. Aku sungguh terpanah, selama ini aku sering bangun pagi tapi tak pernah menangkap matahari terbit bahkan bayangannya. Cahaya matahari yang masih malu pun keluar, seakan tahu ada wajah manis disampingku. Matanya yang kecil menahan cahaya matahari semakin membuatnya sipit. Hidung mancungnya membuatku ingin menariknya. Aku kemudian terhenti dari gemaris senyumku saat Alsan memandangiku. Tatapannya selalu mampu membuat jantungku berdegup kencang seperti biasa.

“Aku tahu, aku ganteng”. Ucapnya#.
“Yee pede”. Jawabku kemudian menatap arah depan.
“Liatin tuh mataharinya dan coba nutup mata kamu sejenak”. Ujar Alsan.
Aku menutup mataku dari matahari yang terbit. Cahaya itu mulai masuk di pori-pori wajahku dan seakan memberikan vitaminnya. Jika senja adalah hal terbaik bagiku, maka mentari adalah hal luar biasa bagiku.
“Smile sunshine”. Ujar Alsan yang membuatku membuka mata dan menatapnya yang sudah berdiri jauh dariku dengan ponsel ditangannya. “Senyummu tadi itu sama kayak senyum mentari. Sama-sama menyinari dunia”.
“Kapan kamu ambil ponsel aku?”.
“Aku pikir sayang sekali jika ini tidak diabadikan, jadi aku ambil ditasmu saat kamu menikmati matahari”.
“Kalau gitu, foto aku sekali lagi”. Rayuku.
“Yeee ogah”. Jawabnya kemudian duduk disampingku. “Foto itu bagus gak sengaja”. Lanjutnya.
“Gimana kalau kita selfie?”. Ajakku memainkan bulu mataku pada Alsan. Alsan tersenyum sembari membuang wajah. Alsan mengangkat ponsel ke sampingnya dan menunjukkan matahari di atas kami pada kamera.
“Al, pokoknya dibuat cantik ya?”.
“Kalau jelek mah jelek aja”.
Aku hanya memincingkan mataku dan Alsan tertawa. Tawa Alsan yang renyah dengan cahaya matahari diwajahnya benar-benar sempurna. Alsan kemudian memfotonya.
“Bilang dong kalo mau foto”. Ujarku kesal saat tanpa aba-aba dia langsung memotret. Alsan tertawa dengan hebohnya. “Bagus kok kamu cantik banget HAHAHA”.
“Bodok! Ulang lagi fotonya”.

Kami berdua kembali berfoto dengan ekspresi wajah yang lebih baik lagi atau sama-sama tersenyum dengan matahari dibelakang kami. Ponsel Alsan kemudian berbunyi dan Alsan langsung mengangkat menjauhiku. Aku langsung kembali menikmati pemandangan matahari yang sudah seperempat naik. Para petani sudah mulai terlihat diantara persawahan dengan cangkul di pundaknya dan caping untuk menutupi kepalanya. Pemandangan khas Indonesia, tapi sayangnya areal persawahan mulai habis karena beberapa bangunan pertokoan dan perumahan mulai menutupi suasana hijau yang harusnya menjadi pemandangan indah pedesaan.

“Ayok pulang”. Ajak Alsan.
“Yaah tanggung Alsan, burung kuntul juga baru keliatan”.
“Nanti kamu main ke desa aku aja”.
“Kapan?”. Tanyaku kemudian berdiri disampingnya.
“Kapan-kapan”. Jawabnya tertawa sembari berlari kecil.
Aku hanya memanyunkan bibirku kemudian menyusulnya berlari.

Pada saat sampai gerbang rumah, Alsan melarangku masuk rumah.
“Al aku haus”. Aku kembali melangkahkan kakiku tapi Alsan memegang tanganku dan menyuruhku duduk di teras
“Aku ambilin aja”.
“Yo dah”.
Aku meluruskan kakiku dan duduk bersandar menempel tembok. Aku merasakan ada aroma enak melekat di hidungku. Masakan segar di dapur dengan bau rempah-rempah menyehatkan. Aku memutuskan untuk berdiri dan masuk rumah menuju aroma yang semakin menarik rohaniku.

Sureprise!!!”. Teriak teman-temanku saat aku masuk dapur.
Ada nenek, Alsan, Putri, Angel, Andi, dan Genta.
“Tuan Putri silahkan”. Ajak Putri menyuruhku duduk di kursi yang ia tarikkan dari meja makan.
“Tuh kan bener kata nenek, dia pasti datang sendiri kalau sudah mencium masakan”. Ujar nenek sedang mencuci beras. Nenek dan teman-temanku sedang memasak.
“Al, cuci wajahmu dulu”.
Aku bangkit dari kursi dan mencuci wajahku dengan air cucian beras pertama.
“Oh jadi ini rahasia wajah mulus Al”. Ujar Angel.
“Makanya gak perlu perawatan mahal, manfaatkan saja yang ada”. Ujar nenek.
“Siap nek nanti dicoba”. Sanggah Putri mengangkat jempolnya.
“Nah gitu dong Put, nanti kalau kita nikah gak perlu ngabisin uang di salon”. Sanggah Andi.
“Cieeeee!!!!”. Teriak kami mendengarkan perkataan Andi dan Putri hanya diam seakan tak peduli.
“Woiii mana sayurannya”. Teriak Genta yang sedang menumis bumbu.
“Ini sayang”. Jawab Andi sembari menyodorkan mangkuk berisi sayuran.
“Geli sih kalian ini”. Ujar Putri dengan wajah kesalnya.
“Bilang aja pingin”. Jawab Andi kemudian memeluk Genta dari belakang.
“Just so so!”.
Semua orang tertawa melihat tingkah mereka termasuk nenek. Nenek kemudian mengelus lengan Putri saat menghampirinya mengambil piring dari lemari. Aku kemudian mengambil pisau di meja makan ingin membantu Angel mengiris tempe dengan bingung yang sedang aku tahan melihat suasana akrab ini.

“Eh yang ulang tahun diem aja”.
“Tapi rasanya gak enak kalau gak bantuin”. Ujar Andi.
“Udah diem aja”.
Aku hanya mengerucutkan bibir kemudian mengambil gelas di meja dan menuangkan air didalamnya untuk diminum. Alsan datang kemudian mengambil piring untuk ditata. Aku menghampiri Alsan untuk membantunya. “Jangan rusuh”.
“Mau bantuin loh Al”.
“Udah diem aja”.
Aku kembali mengerucutkan bibir dan duduk. Aku menidurkan kepala diatas lengan yang aku lipat diatas meja.

Tiba-tiba seseorag keluar dari ruang depan dengan kue ditangannya.
“Selamat ulang tahun Al, Alamanda”.
Aku terkejut bukan karena ucapannya, dan seseorang itu adalah Rico.

Tek..tek..tek… (bunyi panci yang sedang dimainkan Genta).
“Masih pagi tapi udaranya panas”. Ujar Andi geram.
“Loe nya aja belom mandi”. Sanggah Putri.
Andi hanya menepuk kuat di dekat telinga Putri. Putri membalasanya dengan memukul lengan Andi, mereka pun adu tatap.

“Emang kalian belum ada yang ngucapin?”. Tanya Rico. Aku kemudian tertawa. Mereka semua hanya menggelengkan kepala, kecuali Alsan.
“Nenek juga belum ngucapin?”. Tanya Rico kembali.
Nenek hanya mengedikkan bahunya menandakan belum.
“Emang loe di kamar Al gak denger belom ada yang ngucapin?”. Tanya Angel.
”Enggak”. Jawab Rico datar.

“Kok Rico disini?”. Tanyaku bingung. Sebelum Rico menjawab, Angel sudah menarikku ke teras belakang karena makanan sudah siap disusul yang lain.
“Woi, gue dicuekin nih”. Teriak Rico dan semua masih mengabaikan. Rico kemudian menyusul kami dan duduk disampingku. Kami duduk melingkar di lesehan dengan Alsan dihadapanku.

Kenapa bisa ada Rico disini? Apa semua sudah berbaikan? Beribu pertanyaan muncul dikepalaku..

“Pak Toto ayok makan”. Ajak Angel saat Pak Toto ke belakang meletakkan peralatan berkebunnya.
“Pak Toto belakangan aja mbak”.
“Pak Toto jangan gitu, nanti kami gak jadi makan”. Sanggah Putri membuat langkah tangan Andi berhenti mengambil nasi.
“Put, gue laper”. Bisik Andi dan Putri hanya menajamkan matanya.
“Iya Pak Toto sini, ini hari ulang tahun Al. Kita semua keluarga”. Bujuk Andi.
Pak Toto tetap menolak dengan beribu alasan akan membereskan tanaman atau apapun itu, tapi menurut setelah Alsan bicara. “Pak Toto ayok kita makan bersama”. Alsan menggeser tubuhnya memberikan ruang untuk Pak Toto duduk.
“Baik mas”.
“Nah gitu dong Pak Toto”. Ujar Angel begitu senang.
“Ya sudah ayok kita makan sekarang, kasihan para laki-lakinya sudah lapar termasuk Pak Toto harus bangun pagi-pagi karena Nak Al”. Ujar nenek. Alsan hanya meringis dan Pak Toto hanya tersenyum tertunduk.

“Tapi kok Rico disini?”. Tanyaku saat semua sudah siap dengan suapan pertama mereka lalu berhenti kemudian menatapku. Aku menatap Rico dan mereka tetap melanjutkan makannya. Aku pun makan dengan santainya. Aku juga lapar setelah berlari. Anak laki-laki seperti biasa sangat heboh. Andi dan Genta saling menyuapi. Angel dan Putri menatapnya geli. Sesekali Alsan pun usil meletakkan cabai bubuk di piring Andi dan Genta saat mereka sedang sibuk menyuapi. Mereka tertawa dengan lepasnya. Aku sennag melihatnya, tapi juga bingung. Lalu kemarin hubungan kami retak itu apa?.

“Co, loe udah pernah makan lesehan sama Delia?”. Tanya Genta.
“Gak pernah”.
“Gak asik Co, loe tau kenapa gue bertahan sama Putri? Karena dia gak malu makan pake tangan depan gue”.
“Wooo”. Ledek kami kecuali Putri.
“Sirik aja kalian”.
“Just so so!!!”. Teriak kami.
“Itu kata-kata Putri jangan diambil, termasuk dia dari hati gue”.
“Apasih”. Gumam Putri dan Andi hanya mengedipkan mata dan sontak Putri berujar. “Just so so”.

“Nenek senang sekali melihat kalian akrab seperti ini, pokoknya pertemanannya dipertahankan”.
“Kami juga seneng nek, sayuran hasil panen nenek bener-bener enak”. Ujar Putri.
“Nenek disaranin sama Nak Al buat nanem”.
“Al yang mana nih?”. Tanya Genta.
“Nak Alsan, kalau Nak Alamanda taunya makan aja HAHAHA”.
“Hish nenek mah”. Gumamku kesal.

“Ini buat kesel Al masih berlanjut?”. Tanya Andi.
“Oh… jadi kemarin sengaja”. Jawabku dan semua malah kembali makan mengabaikanku. Aku hanya berdecak dan kembali menikmati makananku.
“Kalian tetep kompak dan mempertahankan pertemanan ini”. Lanjut nenek.
“Kami akan mempertahankan pertemanan kami nek, termasuk aku ke Putri yang akan jadi teman hidup”.
“Apaan sih Ndi”. Tolak Putri.
Nenek tertawa dengan senangnya. “Jadilah laki-laki yang bertanggung jawab”.
“Siap bos”. Jawab Andi sekilas memberi hormat pada nenek, nenek kemudian masuk dalam rumah karena akan pergi pengajian.
“Yo dah Pak Toto juga sudah makan mau nganterin Ndoro”. Ujar Pak Toto lalu berdiri.

Ini nenek sama Pak Toto gak mau ngucapin ultah dulu sama aku?.. ucap benakku.

“Hati-hati Pak Toto”. Teriak Anak-anak.
“Pak Toto!!!”. Panggil Genta.
“Kenapa Mas Genta?”. Jawab Pak Toto membalikkan tubuhnya.
“Kalau ada semut minggir”.
“Apaan sih Gen”. Sanggah Angel dan Pak Toto hanya tersenyum menunjukkan barisan giginya kemudian masuk dalam rumah.

Kami melanjutkan makan tepatnya untuk menghabiskan makanan yang tersisa. Canda dan tawa pecah saat semua berebutan ikan dengan sambal. Kepecahan itu berhenti tepat pada perkataanku tiba-tiba. “Rico jangan marah, Al minta maaf”.
Semua orang tertawa dengan girangnya termasuk Alsan.
“Duh Al polos apa gimana sih”. Ujar Angel.
“Al, kami ini ngerjain loe aja”. Sanggah Putri.
“Gue yang harusnya minta maaf sama loe Al, udah buat pakaian loe kotor dan meluk loe”.
“Gak apa-apa Co cuma kaget aja”.
“Mungkin loe cuma kaget aja, tapi orang lain pingin nonjok gue rasanya”. Perkataan Rico membuatku terdiam. “Delia maksudnya”. Lanjutnya.
“Tegang amat woi”. Ujarnya memperhatikan kami dan semua orang tertawa. Aku pikir ada seseorang sedang menyukaiku sebelumnya. Genta mengambil kue diatas meja dan menghidupkan lilin warna warni. “Oke acara inti mari kita mainkan”
“Selamat ulang tahun, kami ucapkan….”. Suara nyanyian dan tepuk tangan mereka membuatku terharu. Apa yang lebih indah dari hidupmu kecuali memiliki teman-teman disampingmu. Aku kemudian meniup semua lilinnya.
“Ayok Al kue pertama buat siapa?”. Tanya Andi.
“Buat kalian saja”.
“Yo dah gue makan”.
“Genta!!!”. Teriak Angel karena Genta dengan polosnya mengambil menggunakan telunjuk.
“Enaknya”. Ujar Rico yang juga melahapnya.
“Ini yang ulang tahun siapa sebenarnya”. Ujar Andi dan kami semua tertawa.
“Makasih ya”. Ujarku kepada Angel dan Putri kemudian memeluk mereka. “Selamat ulang tahun yaa”.
“Ahhh gak kerasa bentar lagi kita bakal pisah”. Ujar Putri.
Pelukan kami berhenti melihat Rico mengejar Alsan, Andi, dan Genta memainkan krim kue di kebun samping rumah untuk balas dendam. Aku senang sekali melihat suasana akrab ini, kesalku terbalas dengan canda yang mulai mekar kembali.

“Yo dah yok beres-beres”. Ujar Putri. Kami membereskan peralatan makan dan mencucinya. Angel menyapu teras saat aku dan Putri mengelap peralatan makan dan mengembalikan di rak piring.
“Kamu gak marah Al?”. Tanya Putri.
“Aku cuma takut kalau persahabatan kita berantakan”. Jawabku tersenyum pada Putri. Angel menyusul kami setelah semua beres dan kami berjalan bersama menuju kebun samping rumah.

“Ya Allah, kenapa kalian jadi basah gini?!”. Teriak Putri melihat anak laki-laki sudah pada basah dan Alsan sedang memegang selang air.
“Sekalian mandi”. Jawab Andi.
“Perlu sabun gak?”. Tanyaku.
“Gak perlu Al”. Jawab Rico.
“Ngel kata Indra, kalian mulai penelitian ya?”. Tanya Genta.
“Iya nih, kami juga nyari orang buat bantu nyangkul di lahan”.
“Kok Angel gak bilang sama aku?”. Tanyaku kesal.
“Ini gara-gara Alsan buat rencana ini. Jadi gue gak berani cerita sama loe”.

Jadi? Semua rencana Alsan..

“Eh tapi kok Alsan tau kalo Al ulang tahun?”. Tanya Angel.
“Gue yang curhat sama Alsan bantu ngasih ide ultah Al, soalnya Al susah dibuat kesel”. Sanggah Putri.
Angel hanya mengangguk.
“Loe bayar orang cangkul berapa Ngel?”. Tanya Genta.
“500 ribu”.
“Mendingan sama kita aja bayar 200 ribu aja”.
“Tapi kayaknya Rico gak ikutan”. Ujar Angel.
“Ikut kok gue”. Jawab Rico menutupi kelemahannya tak tahan panas.
“Yo dah, makasih ya”.
“Sama-sama Ngel”. Teriak mereka.

Anak laki-laki kembali bermain, bahkan Genta keasikan disiram. Aku duduk di bangku taman, sedangkan Angel dan Putri pergi ke depan. Aku menikmati anak laki-laki bermain terutama Alsan.

Angel dan Putri lama sekali, sesaat kemudian mereka datang dengan plastik hitam besar ditangannya dan memberikan padaku. Semua anak-anak langsung menghampiriku.
“Ayok Al buka”. Ujar Angel dengan semangat. Wajah mereka pun penuh pengharapan. Aku membuka plastik besar ini.

Aku tersenyum merekah saat aku dapati kado didalamnya. Aku mengambil satu-satu, pertama kado dari Angel yang berisi novel tentang petualangan, kemudian kado kedua dari Putri berisi boneka baymax yang super maksimal lucunya, terakhir aku membuka kado dari Rico, yaitu sebuah gaun santai.
“Wooo”. Ledek Andi dan Genta.
“Itu dari gue sama Delia”. Ujar Rico.
“Delia?”. Teriakku, Angel, dan Putri.
“Eh gitu-gitu cewek gue baik tauk”.
“Emang yang bilang cewek loe gak baik siapa?”. Tanya Angel sinis dan Rico hanya diam.
“Yo dah, makasih yaa buat kejutannya, kadonya juga aku suka banget dan titip salam makasih buat Delia ya Co. Kalian sukses buat aku kesel!!!”. Teriakku menekan kata kesal dan mereka bertepuk tangan dengan hebohnya karena sudah berhasil mengerjaiku.
“Eh kita juga ada hadiah loh”. Ujar Andi dan Genta mengambil sesuatu di samping rumah. Genta kembali membawa seikat bunga edelweis dan diberikan kepadaku. Sontak kami semua diam dan Rico mulai berteriak sebagai duta lingkungan. “Andi! Genta!”. Teriaknya dengan wajah garang.
“Kenapa sih loe teriak-teriak?”. Balas teriak Andi.
“Kali ini gue beneran kesel sama kalian, ini bunga abadi yang harusnya abadi di alam, kenapa kalian ambil?. Apa bedanya kalian sama yang suka bunuh binatang di hutan?! Itu sama saja kalian salah satu perusak!”.
Destroyer!!!”. Teriak Angel.
“Kalian metik kemarin waktu naik gunung?”. Tanya Alsan dengan nada pelan. Andi dan Genta hanya mengangguk.

Andi dan Genta baru naik Gunung Dieng beberapa hari yang lalu, kata mereka naik gunung karena kesal dengan Rico dan ingin menghibur diri, padahal rencana naik gunung mereka sudah diatur oleh teman-temannya sejak lama. Hal ini aku ketahui dari temanku yang lain saat mengobrol di kelas.

“Ini kami beli dari petani budidaya disana, liat aja lebih gemuk dan berwarna coklat”. Bela Genta.
“Gak cuma kami yang ambil kok”. Bela Andi.
“Andi ngomong gitu karena kemarin yang dikasih Putri hasil petik kan? Aku juga baru tau tadi pagi waktu main ke kamar Putri, Dasar Destroyer!!!”. Teriak Angel melipatkan kedua tangannya pada Andi.
Andi menatap Putri dan Putri hanya terdiam sembari berujar. “Gue lupa ngasih tau loe”.
“Ini bukan hanya bunga yang dilarang dipetik, bunga ini mekar selama 10 tahun dengan ketinggian atas 2000 mpdl, jika dipetik bunga ini akan sulit berkembang lagi karena berasal dari biji bunganya, apalagi saat turun ke bawah pastinya bunga ini kering”. Ujar Alsan.
“Bunga ini memiliki nilai ekologis yang tinggi bagi tumbuhan dan hewan sekitarnya. Bunga-bunga sebagai tempat makanan serangga yang sekaligus membantu penyerbukan, batang tanaman yang bercelah mengandung air sebagai tempat hidup lumut, ranting-ranting bunganya sebagai sarang burung murai, dan akarnya yang muncul sebagai tempat hidup jamur”. Ujar Rico.
“Jadi kami bukan hanya sekedar membunuh sang bunga abadi, tapi merusak ekosistem yang lain juga”. Ujar Genta.
“Kalau kalian paham, jangan dilakukan ketika naik gunung lagi”. Ujar Angel.

“Sedih juga ya dengernya, aku mungkin belum pernah melihat bunga edelwis di lingkungannya langsung, tapi saat aku melihat foto terakhir Andi dan Genta waktu naik gunung, itu bunga edelwis indah banget. Kalau gak ada edelwis, sebenarnya pemandangan gunung tak seindah dulu, seperti rumah mewah tanpa tanaman, tetap saja jelek bagiku melihatnya”. Keluhku dan kami semua menjadi hening.

“AAAGRHHHH!!!!!!”.
Teriak kami dari siraman air oleh nenek menggunakan selang. Nenek hanya menyiram kami sekilas.
“Kalau gitu mari jaga lingkungan dimulai dari diri sendiri, daaaaaaaan sekarang waktunya burjo!!!”. Teriak nenek dan kami sangat senang.

Pak Toto keluar dari dapur membawa bubur kacang ijo. Setiap aku ulang tahun, nenek pasti membuatkanku bubur kacang ijo. Kami pun langsung memakannya karena merasa kedinginan. Nenek pun memelukku dan mengucapkan selamat ulang tahun dan Pak Toto menyalamiku. Nenek bohong untuk pergi ke pengajian, ternyata nenek hanya mengambil bubur kacang ijo yang dibuatnya di tempat tetangga.

“Ini buat loe”. Ujar Alsan memberikanku sebuah hadiah saat kami makan. Alsan mengambilnya dari atas pohon mangga depan rumah. Aku pikir dia menyelipkan disana saat kami berangkat tadi. Aku membuka kado dari Alsan, ternyata sebuah buku dengan kertas coklat polos beserta pena tinta hitam berbahan metalik.
“Wah ini gara-gara loe Ndi”. Keluh Genta.
“Kok gue?”. Ujar Andi tak terima menatap Genta
“Loe kan pernah bilang ngasih kado alat tulis waktu itu”.
“Oh ya juga”. Jawab Andi lalu menatap Rico.

Andi dan Genta menyalahkan Rico yang tak memberikan saran baik pada Alsan. Keributan pun kembali terjadi antara, Rico, Andi, dan Genta. Nenek kembali menyirami mereka, membuatku, Angel, Putri, dan Alsan tertawa terbahak karena mereka malah keenakan. Begitu lelaki, kadang mereka hanya memang kesal bukan marah, mereka tahu kapan harus serius dan bercanda. Aku bersyukur memiliki kalian.

Aku senang sekali hari ini, ulang tahun ke 21 adalah ulang tahun terbaikku selama ini. Kata orang ulang tahun ke 17 adalah yang tebaik, tapi bagiku ini adalah yang terhebat.

Matahari masih diam ditempatnya..
Lincah menggoda lotusnya..
Bersinar memikatnya..
Untuk tetap disisinya..
Selamat Ulang Tahun Alamanda Katartika..

Tulisan sekilas yang sempat aku baca dari halaman terakhir buku yang diberikan oleh Alsan dan ada tulisan juga di halaman depan juga.
“Tulis apapun yang ingin kamu tulis, mungkin duniamu akan dimulai dari sana”.

Apa karena Alsan suka melihatku menulis kata-kata yang menurutku bagus dari mulutku dan langsung aku tulis di ponsel karena itu ia memberikanku buku catatan, seperti terakhir aku mengirim surat padanya? Entahlah..