Makasih ya Al, semalam udah dibikinin sop kentang kesukaanku..
Begitu bunyi pesan Martin saat aku sedang ada di toko jam tangan siang ini, aku menghela nafas lalu menyimpan ponsel didalam tas kembali. Aku sedang memasang batu baterai baru di jam tanganku yang usianya sudah tua, ini jam milik ibuku namun tetap aku pakai.
Pandanganku teralihkan pada sebuah jam tangan, yaitu jam tangan pria. Aku baru ingat belum memberikan hadiah untuk Alsan. Aku sudah membongkar celengan ayamku yang uangnya khusus untuk membelikan hadiah untuk Alsan. Aku membeli satu dan pilihanku jatuh pada jam tangan dengan kalep berwarna coklat.
Aku berjalan meninggalkan toko dan naik angkot menuju kampus. Pikiranku benar-benar terbebani dengan Martin, sejujurnya aku merasa tak nyaman namun kasihan. Aku tidak tahu kenapa menjadi setia dengan perasaanku sendiri, perasaan yang sebenarnya belum dimiliki oleh sang pemilik.
Aku turun dari angkot dan melihat Alsan sedang di parkiran motor kampus yang terlihat baru sampai juga.
“Alsan!”. Teriakku dan Alsan langsung menengok.
Tatapannya aneh, ia tersenyum namun terpaksa. Ia menghampiriku dan menyapa namaku. “Hey, Al”.
“Ini buat kamu”. Ujarku sembari menyodorkan kotak kado.
“Ini apa?”. Tanyanya bingung sembari menerimanya.
“Hadiah buat kamu, selamat atas gelar barunya, semoga berkah”.
Alsan langsung membukanya.
“Eh, kan bisa buka di rumah sih”.
“Gak sabar”. Ujarnya buru-buru membuka. “Wow, makasih ya Al”.
Alsan melepaskan jam tangannya dan mengenakan yang baru dariku.
“Langsung ditinggalin yang lama”.
“Mahal nih, uang darimana? minta sama nenek pasti”. Ledek Alsan.
“Enak aja, aku bongkar si ayam”.
“Kok gitu? itu kan tabunganmu”.
“Enggak apa-apa, ya udah aku duluan mau ke lab”. Jawabku meninggalkannya.
“Makasih yaa Al!”.
Aku hanya melambaikan tangan tanpa melihatnya lalu berjalan menuju lab.
“Semangat Al!!!!”. Teriak Alsan kembali yang terdengar orang-orang disekitar kami termasuk adik-adik tingkat menyoraki kami, rasanya benar-benar malu, malu yang buat senang.
Kadang lelah penelitian itu menghampiri, setiap hari datang hanya sekedar menyiram atau melakukan pengamatan, harapannya segera usai namun sesuatu yang instan hanya berlaku untuk mie. Kadang juga menikmati angin di rumah kaca, kebetulan rumah kaca penelitianku di lantai empat. Di lantai ini, aku bisa melihat berbagai aktifitas orang-orang berlalu lalang, sesekali sekumpulan burung lewat hanya sekedar menunjukkan betapa akrabnya mereka. Aku juga ingin menjadi burung, terbang bebas menuju bagian dunia paling terindah.
“Jangan melamun, Al”. Aku langsung menoleh dan melihat Angel.
“Ngapain disini Ngel?”.
“Aku tadi liat kamu dari bawah terus melamun gitu jadi aku kesini, lagipula aku tidak pernah menemanimu menyiram”.
“Hiperbola”. Ledekku pada Angel dan Angel tertawa.
Aku membereskan peralatan menyiram pada tempatnya. Angel sibuk menatap koleksi tanaman anggek Ibu Sakinah yang terpasang di pagar kawat.
“Indah bukan?”. Tanyaku sembari mengingat Alsan.
“Ya indah”. Jawab Angel penuh kagum.
Aku dan Angel pergi ke Lab Kultur Jaringan tempat Putri berada. Kami sudah lama tidak makan siang bersama semenjak penelitian, ini rasanya menyenangkan seperti kami baru mengenal di semester awal.
“Gak nyangka ya sekarang kita udah mau lulus, gue bersyukur ngejalanin masa kuliah bareng kalian”. Ujar Angel dengan mata berbinar.
“Aku juga beruntung punya kalian”.
“Cie”.
Kami lalu tertawa bersama.
“Assalamualaikum,,”. Teriakku dan Angel masuk dalam lab.
“Walaikumsalam…”. Jawab Putri dan Rico.
“Disaster is coming”. Ledek Rico”.
“Loe itu”. Jawab Angel Ketus.
Kami berempat pergi makan bersama di Kantin Kejujuran, ada hal yang aku ingat tentang Kantir Kejujuran, dimana saat pertama kali aku dan Alsan saling mengenal.
“Loe sakit kepala Al?”.
“Enggak Ngel”.
“Kok ditarik-tarik rambutnya?”.
“Banyak nyamuk”. Jawabku sembari membenarkan rambut.
“Apa hubungannya?”.
“Ya udah kantin yuk”.
“Kayaknya loe beneran sakit deh”.
“Udah ayuk kantin”. Aku kemudian menarik lengan Angel dan meninggalkan Putri dan Rico di belakang kami.
“Oke..oke..sabar”. Ujar Angel sembari mengikuti langkah kakiku.
Lalu tak lama kami tertawa bersama mengingat kejadian waktu itu.
“Gilak ya kalian”. Keluh Rico.
“Loe itu”. Jawab Angel.
Kami sampai kantin dan langsung duduk, salah satu pegawai menghampiri kami dan bertanya ingin memesan apa, kami kompak langsung memesan mie ayam dan es teh. Mas Angga sudah hafal dengan kami yang suka menertawai diri sendiri, ia pun pergi meninggalkan kami.
“Kenapa ini ketawa-ketawa?”. Tanya Alsan baru datang dan duduk di samping Rico yang berada di depanku.
“Biasa Al efek penelitian, lu mah enak udah kelar tinggal ngurus wisuda”. Ledek Rico.
“Tak semudah yang terlihat”. Jawab Alsan lemas melepaskan topi.
“Jam baru nih”. Ledek Angel.
“Dari temen loe nih”. Jawab Alsan menunjukku dengan dagu.
“Asiiiiik, mana jam mahal lagi, kalau ada main ya?”. Ledek Rico.
“Enggak lah!”. Jawabku cepat membuat semua menatapku.
“Santai Al”. Tegur Putri dan aku hanya meringis.
Alsan menatapku bingung, aku berkata seperti itu karena khawatir akan ditolak duluan oleh Alsan. Makanan kami pun datang, dan semua menyambut gembira tidak dengan Alsan yang belum memesan. Alsan sedang tidak ingin makan katanya karena masih kenyang, ia hanya memesan es teh saja sebagai teman ngobrol.
“Semoga persaudaraan ini langgeng ya..”. Celetukku.
Semua orang menatapku penuh senyum.
“Walau nanti gue jauh, tetep jaga komunikasi”. Sahut Angel.
“Aamiin..”. Jawab kami semua.
Setelah selesai makan, Angel dan Putri memutuskan pergi ke rumahku karena rindu cemilan buatan nenek dan Rico pergi ke sekret untuk nongkrong. Angel dan Putri naik motor, sedangkan aku juga naik motor namun dibonceng Alsan. Teriknya panas siang ini yang kami lalui tak seterik perjuangan kami mendapatkan gelar. Tak ada yang bisa menebak penyakit pada tanaman saat sedang sakit, bagaimana gagalnya perlakuan yang diberikan, dan bagaimana draft skripsi yang dinilai beberapa kali salah.
Lamunanku pecah saat tanpa sadar Alsan memanggil namaku setelah sampai depan rumah. Aku terkejut dan mencoba menata diriku dalam keadaan stabil lalu turun dari motor.
“AL jangan suka melamun”. Ujar Putri dan aku hanya tersenyum.
“Mobil siapa nih?”. Tanya Putri dan ternyata itu Mobil Martin.
“Temen-temen kayaknya kalian enggak bisa mampir deh, ini ada mobil temennya nenek”. Alasanku.
“Masak ibu-ibu mobilnya kayak anak muda”. Sahut Angel.
“Alamanda..”. Tegur seseorang yang membuat kami langsung menatap arah suara dan ternyata itu Martin, Martin keluar rumah dengan nenek.
Mataku langsung tertuju pada Alsan, Alsan menatapku penuh tanya atau penuh misteri, entahlah namun seperti tidak suka.
“Siapa itu Al?”. Tanya Putri mendekat padaku.
Aku hanya diam dan berharap sekarang menghilang.