Suasana pagi ini tidak seperti biasanya, mentari pun enggan menyapaku, cahayanya menyelinap diantara ranting tanaman hutan kampus. Entah ini perasaanku saja atau memang suasana sedang redup, aku merasa sekelilingku juga tidak ada yang menyapaku, termasuk teman kelasku yang sibuk memerhatikan ponsel. Aku benar-benar tidak menyukai perasaan ini. Ponselku berdering dan ternyata panggilan dari Martin, aku mengabaikannya dan mengembalikan ponsel dalam kantong celana.
Aku menghela nafas, mengingat kejadian kemarin yang menurutku kacau, Alsan pergi begitu saja dan hanya pamit dengan nenek. Martin masih betah berbincang denganku sampai sore, hingga Angel dan Putri yang sibuk di dapur bersama nenek akhirnya pamit pulang.
“Al…”. Putri memanggilku dan menghampiriku yang sedang berjalan.
“Kok lu kusut?”. Tanya Putri yang sapaannya belum aku balas.
“Aku gak enak sama kamu termasuk Angel, aku udah nyuruh Martin pulang tapi gak mau”.
“Jadi itu teman sekolah kamu yang membuatmu akhir-akhir ini lupa sama temen?”.
Aku hanya mengangguk.
“Al, gue gak suka dia, gue ngerasa dia terlalu pengatur, ada temen lu kan harusnya bisa menghargai setidaknya diajak berbincang, kemarin aja aku sama Angel malah dianggurin ya akhirnya kami ke dapur aja”
“Aku udah bilang sama dia kalau aku gak suka kami terlalu dekat, tapi dia masih kekeh”.
“Yo dah Al pelan-pelan saja”. Jawab Putri dengan senyum, lalu kami berjalan bersama menuju tempat penelitian kami masing-masing.
Pagi ini aku sudah ada janji dengan Pak Widodo. Aku menunggu sendiri di depan ruangan Pak Widodo dan beruntung ada kursi panjang di depan ruangannya, seperti biasa aku selalu memainkan sepatu ketsku.
Tak lama aku mendengar suara sepatu dari bawah tangga yang berjalan menuju atas. Suara sepatu perempuan, lebih tepatnya hak tinggi. Aku pikir itu penjaga ruangan administrasi jurusan dan ternyata itu Delia. Delia kemudian duduk disampingku sembari mengaca membenarkan dandanannya.
Pak Widodo kemudian datang dan menyuruh kami masuk. Aku dan Delia memiliki pembimbing yang sama, karena kami memiliki dua pembimbing dalam satu mahasiswa. Kami kemudian duduk setelah Pak Widodo duduk. Aku tidak tahu mengapa setiap bimbingan sendirian dengan Pak Widodo rasanya tegang, tetapi jika ada temannya Pak Widodo sangat akrab seperti teman sendiri, tapi tidak dengan Delia.
Hari ini aku bimbingan tentang olah data karena Ibu Sakinah bilang aku harus sudah menyicil data skripsi, sedangkan Delia baru akan memulai penelitian. Baru kali ini aku merasa akrab dengan Delia dan melihat senyumnya. Delia benar-benar cantik, wajar saja Rico bertahan walau Delia memiliki sifat kurang baik.
Setelah bimbingan, Pak Widodo meminta tolong pada kami untuk dicarikan tanaman lidah mertua untuk acara rapat bersama Gubernur. Delia menawarkan bahwa tempat temannya banyak tanaman lidah mertua dan akan diambilkan. Pak Widodo sangat senang dan meminta kami berdua mengambilnya. Aku hanya diam dan Delia mengiyakannya. Kami berdua berangkat dengan mobil Delia.
Lidah mertua memang tanaman yang cocok sebagai penyegar ruangan dan menyerap bau tidak enak. Apa juga cocok menyegarkan suasana hening aku dan Delia di dalam mobil seperti ini?
Delia lalu menyetel musik di mobilnya dengan lagu-lagu berirama cepat atau lebih tepatnya lagu beat berbahasa Inggris. Saat kami masuk di kompleks perumahannya, kami melewati Rumah Delia dan saat kami melewati Rumah Martin ternyata ada yang sedang berkelahi di depan rumah Martin dan mataku langsung tertuju kesana dan Martin sedang dipukuli.
“Delia hentikan mobilnya!!!”. Teriakku dan sontak Delia rem mendadak, aku tak peduli dan langsung keluar dari mobil.
“Alsan!!!”. Teriakku saat melihat Alsan memukuli Martin yang sudah tertidur di tanah. Alsan bahkan tetap memukuli Martin dan tiba-tiba Delia pergi meninggalkanku dengan mobilnya. Aku tidak peduli karena mungkin tanaman sudah dibutuhkan segera oleh Pak Widodo.
“Alsan berhenti!!!”. Teriakku kembali dan kepalan tangan Alsan yang akan melayang di wajah Martin berhenti. Alsan langsung melepaskan genggaman tangan kirinya di baju Martin dan menghampiriku.
“Gue gak mau liat loe sekarang”. Gertakku.
“Gue? Loe?”. Ujarnya dengan nada kesal.
“Iya!!!”.
“Dia cuma manfaatin loe Al”. Ujar Alsan melemah.
“Manfaatin buat apa? gue cantik aja enggak apalagi kaya!”
Alsan hanya diam kemudian pergi.
Selama ini aku tidak pernah menggunakan kata gue dan loe, tetapi kata-kata tadi untuk menunjukkan kekecewaanku pada Alsan. Alsan berhenti dari langkahnya. “Sekarang gue tahu rasanya”. Ucapnya dengan nada sedih dan kembali berlalu.
Aku tidak tahu apa yang dimaksud Alsan, tetapi sikapnya benar-benar membuatku marah. Jika marah seharusnya tidak sampai seperti itu. Aku membawa Martin masuk ke rumah dan mengobatinya.
¤¤¤¤
Lanjutan Bab 1…
Aku tidak pernah membayangkan bahwa pertemuanku dengan Alsan hari itu adalah yang terakhir sampai sekarang. Beberapa hari kemudian Alsan dan Angel wisuda bersama. Alsan pulang kampung tanpa pamit padaku, sedangkan Angel pulang ke Bali. Aku tidak menyangka bahwa kemarahanku membakar diriku sendiri. Aku bahkan tidak berani menanyakan keberadaan Alsan kepada siapapun karena rasa bersalahku dan semua orang juga tidak pernah membahas Alsan didepanku.
Kegiatanku semenjak pertengkaran hanyalah pergi pulang dari kampus untuk menunggu dosen untuk bimbingan. Jika dosen tidak ada palingan aku langsung pulang ke rumah dan membaca novel. Andi dan Putri pun sebentar lagi akan wisuda juga. Kini aku baru merasakan bahwa hidupku hanya ngebangkek.
Kisah kehidupanku yang mulai tidak biasa dimulai saat semester lima, saat dimana aku dan sahabatku masih berkumpul bersama dan menikmati waktu dengan catatan akhir kuliah begitu luar biasa. Semua hal baik dan bahagia itu tercipta diantara kami. Kini menulis adalah salah satu mengalihkan perhatianku dari kerinduan kebersamaan itu.