“Hai Genta..”. Sapaku saat datang ke Kafe Senja dan berdiri di sampingnya yang sedang membuat kopi.
“Hai Al”. Sapa balik Genta memberikan kopi pada pelanggan yang duduk depan kami.
Aku mengambil celemek coklat dan mengaitkan di pinggangku. Aku sekarang bekerja di Kafe Senja tidak lama setelah sidang. Aku sempat terpuruk beberapa saat, hingga akhirnya nenek memintaku melakukan sesuatu untuk melupakan peristiwa sidangku yang memalukan. Putri datang ke rumah saat tahu aku sedang malas mengurus skripsi, dia menawariku bekerja di Kafe Senja sebagai pengganti Alsan. Nenek pun setuju dengan persyaratan Pak Toto menjemputku setiap pulang malam.
Aku menikmati pekerjaanku yang sudah berjalan tiga bulan, aku dari dulu memang ingin bekerja dan menghasilkan uang sendiri, membeli apapun yang diinginkan, dan itu kebanggaan tersendiri. Aku juga banyak belajar bekerja di kafe, setiap hari mendengarkan obrolan terbaru, dan mendapatkan banyak ilmu tentang kehidupan dari setiap obrolan.
Penelitianku dinyatakan belum berhasil walau sebenarnya menurutku itu gagal, mungkin dosenku tak enak hati jika melihat pekerjaanku yang sudah bolak-balik di rumah kaca mempertahankan tanaman agar tetap hidup sehingga diputuskan untuk sidang, sedangkan teman-temanku sudah mulai menyandang gelar. Setidaknya tanamanku berhasil pendek, walau tidak berbunga. Setidaknya aku sempat dekat, walau tak pacaran. Aku malah jadinya curhat.
“Akhirnya Al, gue ngumpulin proposal skripsi”.
“Akhirnya Genta, loe niat wisuda juga”.
“Asem loe Al”. Jawabnya sembari tertawa kemudian menyerahkan proposal judul yang sudah diperiksa.
Aku membuka halaman pertama dan terkejut, “Ini skripsi apa meja sekolah? Kok di coret-coret?”.
Genta hanya tertawa dan menunjukkan beberapa halaman yang di silang besar.
“Kamu ini perhatiin format tulisan juga Gen, dosen biasanya malas kalau formatnya saja sudah berantakan”.
“Pembimbingku juga bilang begitu Al, makanya suruh nulis ulang dan kata-katanya jangan asal copas”.
“Yo dah cepat garap biar cepat seminar, nanti aku bantuin deh”. Jawabku sembari menyerahkan draft skripsinya.
Dia tampak senang dan mengucapkan terima kasih.
Kami kembali bekerja dan tiba-tiba hujan. Hujan di Kafe Senja selalu mengingatkanku tentang Alsan.
Hujan datang membawa air..
Suara rintikan bagai kenangan..
Kenangan yang tak terhitung jumlahnya..
Sama seperti rinduku..
Penikmat kopi pun tampak menikmati kopi sembari memandang ke arah luar, lantunan lagu akustik menambah suasana sendu sore ini. Aku berdiri di dekat jendela kaca yang menunjukkan pandangan luar balkon. Genta pun ikut berdiri di sampingku membawakanku kopi. Kami menikmati bersama sembari melihat pemandangan diluar.
“Al, gue boleh tanya sesuatu?”.
“Tanya aja Gen”.
“Loe ngapa sih stress banget habis sidang, kayaknya Alsan, Angel, dan Putri gak kayak loe”.
“Aku ditanyain pupuk gak ngerti apa-apa”.
“Wah parah, itu kan pelajaran dasar kok loe bisa gak tau”.
“Aku ngebleng Gen dan akhirnya lupa, jawabnya kemana-mana deh, jawabanku sendiri justru jebak dan pertanyaannya beruntun”.
“Kalau sidang itu, kalo gak tau ya jawab aja gak tau, justru kalo loe jawabnya muter-muter dan ngide akhirnya itu yang bunuh loe. Pesan Alsan sih gitu”.
“Saat sidang pun, pembimbing juga jadi penguji”.
“Angel juga bilang gitu Al, bahkan Putri bilang pertanyaan yang keluar gak sesuai dengan apa yang udah dipelajarin, rasanya percuma belajar”.
“Kayaknya Genta banyak dapat pelajaran dari teman-temannya yang sudah sidang”. Ledekku sembari menatapnya.
“Gue sengaja lama, mau ngeliatin kalian dulu HAHAHA”.
“Gayak sih Gen, udah gak usah belajar kalo sidang”.
“Weh tetep belajar, walau syarat doang HAHAHA”. Jawabnya dan kami kembali menikmati kopi.
“Apalagi ya Gen waktu udah kelar itu dosen bilang, ‘Kamu sepertinya harus ujian ulang karena kamu belum layak jadi sarjana’, haduuuh rasanya panas dingin dan aku cuma bisa pasrah sambil nahan nangis, kalau di tanya mau ujian ulang ya gak pingin”.
“Lah kenapa Al? Capek belajar ya?”.
“Yang mau gantiin duit kue, nasi bungkus dan parcel buah siapa???”. Jawabku dan kami tertawa bersama-sama, bahkan tawa kami mengalahkan suara hujan.
¤¤¤¤
Cah angon..cah angon..penekno blimbing kuwi…
“Pagi Mbak Al”. Sapa Pak Toto saat aku akan berangkat kuliah dari pintu belakang.
“Pagi juga Pak Toto, Pak Toto gak ngajar?”. Tanyaku saat Pak Toto sedang menyiram tanaman sembari menyanyikan Lagu Lir Ilir.
“Pak Toto nanti siang ngajarnya”. Sahutnya.
“Kalau gitu Al duluan, Assalamualaikum”. Ujarku sembari salim.
“Walaikumsalam, hati-hati Mbak Al”.
Pak Toto mengajar di sekolah anak jalanan yang dibangun oleh Putri dan Andi di daerah Semarang Bawah. Pak Toto mengajar sebagai guru seni karena Angel sudah kembali ke Bali dan ada Indra juga yang mengajar tentang wirausaha. Sedangkan aku tidak mengajar karena masih di kampus dan bekerja. Jangankan akan mengajar, berkunjung pun aku belum sempat. Pekerjaanku setiap hari, terutama sabtu dan minggu selalu ramai pengunjung.
Kini di kampus yang masih berjuang skripsi adalah aku, Genta, dan Indra, dan Delia. Delia kini sudah oke cetak, jadi tinggal ngejar pengurusan administrasi wisuda yang prosesnya lebih panjang lagi. Aku dan Delia sekarang menjadi akrab semenjak semua tentang Martin terbongkar.
Empat Bulan yang Lalu..
Setelah pertengkaran Alsan dan Martin. Hubunganku dengan Alsan menjadi rusak dan aku tidak pernah melihat dia di kampus dan lebih terkejutnya lagi saat hari wisudanya, Alsan sendiri tidak datang. Aku masih berusaha menelepon Alsan yang nomornya sudah tidak aktif, satu pesan pun tak ada yang terkirim untuknya. Aku ingin meminta maaf, pastinya sikapku sudah berlebihan.
Saat hari wisuda, aku hanya bertemu dengan Angel. Angel bilang terakhir mereka berkomunikasi pada saat mengisi acara bersama ulang tahun kampus, lalu Alsan tidak pernah ada kabar, bahkan rumah kontrakannya kata Andi sudah disewa orang lain saat aku mendengar percakapan Andi dan Rico. Aku bahkan sulit mencari tahu tentang Alsan karena dia juga tidak memiliki media sosial. Teman-teman hanya tahu rumah Alsan berada di Yogyakarta tetapi tidak tahu bagian mana.
Aku dan Martin masih berhubungan dengan baik setelah perkelahian itu, bahkan Martin sering mengantar jemputku di kampus. Siang ini aku sedang di toko buku untuk mencari bacaan baru. Ponselku berdering dan ternyata Genta menelepon. Genta memintaku untuk mengambil kopi hutan di kafe cabang dekat toko buku. Aku pun bergegas menuju kafe setelah membeli buku. Saat aku sudah sampai di kafe mengambil kopi hutan di gudang, Aku melihat Martin duduk depan meja barista sedang menikmati kopi. Saat aku akan menghampirinya, tiba-tiba Delia datang dan duduk di samping Martin dan memesan coklat panas.
Aku menghentikan langkahku dan duduk di salah satu meja memunggungi mereka. Aku mendengarkan percakapan mereka, awalnya mereka hanya membahas tentang kabar masing-masing, tapi lama-lama Delia menanyakan tentang tujuan Martin datang ke Indonesia. Martin bilang, dia ingin melihat Delia dan merindukannya, tapi ternyata Delia sudah berpacaran dengan orang lain bukan Alsan. Aku cukup terkejut dengan pernyataan Martin.
“Ngapa gue pacaran sama Alsan, gue aja nyesel pacaran sama loe. Enakan sahabatan kalau dari awal udah nyaman begitu”. Ujar Delia.
“Alsan kan suka sama loe?”.
“Kapan dia bilang suka sama gue?”.
“Saat gue mergoki kalian berdua ngobrol dan dia bilang kalau dia suka sama pacar gue”.
“Martin, loe harus inget bahwa gue bukan satu-satunya pacar loe waktu itu. Waktu Alsan mau jelasin semuanya loe main kabur gitu aja dan tiba-tiba udah berangkat ke Jerman duluan tanpa dengerin penjelasan kita”.
Aku tercengang mendengar perkataan Delia, jadi waktu Martin memintaku pacaran diam-diam bukan karena takut aku di ganggu, tapi dia juga pacaran dengan Delia. Obrolan Delia dan Martin pun tampak hening kemudian.
“Loe tiba-tiba berantem sama Alsan, loe bilang mau mainin Al dan ninggalin gitu aja, balas dendam soal gue dan bilang ke Alsan kalau dia doyan mantan loe. Halo Martin, asal loe tahu bahwa Alsan sudah cukup sabar ngeliat cewek yang dia sayang dari lama yang loe jadiin pacar kedua tapi dia selalu mentingin temen yaitu loe”.
“Jadi cewek yang diceritain Alsan itu Alamanda?”.
Sebelum aku mendengar jawaban Delia, tiba-tiba pekerja kafe memanggil namaku di meja kasir untuk mengambil kopi hutan. Sontak Martin dan Delia melihatku yang berdiri dan menghampiri meja kasir. Aku dapat merasakan bahwa Martin dan Delia menatapku.
Martin kemudian menghampiriku dan terus ingin menjelaskan semuanya, tetapi aku hanya diam mengabaikannya dan tetap mengambil pesanan dengan santainya. Martin masih mengikutiku, tapi aku langsung mendapatkan taksi segera.
Aku tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang, aku ingin menangis sekuat-kuatnya. Supir taksipun melirikku dari kaca spion dan hanya bertanya arah tujuanku. Aku hanya menjawab alamat tujuanku adalah rumah. Aku menelepon Genta dan baru bisa mengantarkan kopinya besok hari, aku bilang bahwa tiba-tiba aku sakit dan Genta percaya itu.
Malam pun tiba, pikiranku masih tidak tenang. Aku masih memikirkan mengenai peristiwa tadi siang, ponsel aku matikan dan pasti banyak panggilan masuk dari Martin. Martin pun pasti tak berani datang ke rumah setelah membuatku dua kali menangis. Bodohnya diriku saat percaya diajak pacaran diam-diam, saat percaya bahwa penyebab putusnya kami karena aku yang acuh, dan percaya bahwa Martin benar dan Alsan salah.
Aku tahu kenapa Alsan berkelahi, itu bukan karena rasa cemburu, melainkan sikap tidak terimanya atas tujuan Martin tentang diriku. Bagaimana bisa aku mengusir bahkan membentak Alsan waktu itu, jelas selama ini Alsan selalu memperlakukanku dengan baik.
Aku benar-benar ingin menelepon Alsan, atau bahkan berlari ke arahnya untuk memeluknya dan meminta maaf. Apa dayaku kini nasi sudah menjadi bubur, Alsan menghilang tanpa jejak dan mungkin dia juga sudah lupa tentang diriku. Aku tidak bisa menahan diriku, aku pun berlari keluar rumah setelah ijin dengan nenek tanpa menunggu persetujuannya. Aku mencari angkot dan menuju Rumah Delia.
Satpam dirumah Delia langsung membukakan pintu gerbang setelah mengobrol lewat layar kamera di pintu bel. Aku langsung disuruh untuk masuk ke rumah, sebelum masuk rumah tiba-tiba Delia muncul dari samping rumah kemudian menyuruhku untuk mengikutinya. Aku hanya berjalan mengikuti langkahnya menuju rumah belakang kemudian berhenti pada sebuah tempat seperti sebuah gudang. Delia membuka pintunya seukuran pintu garasi mobil dengan tombol di samping pintu garasi yang akan naik jika ditekan tombolnya. Saat pintu garasi sudah naik sepenuhnya, begitu terkejutnya aku dengan apa yang ada didalam, sebuah tempat bersantai layaknya basecamp dengan kursi busa menghadap pemandangan luar, sebuah bar di ujung ruangan seukuran 6mx6m, dan tentunya ada meja billiard di tengah ruangan ini.
Aku dipersilahkan duduk oleh Delia di kursi bar, aku merasa seperti sungguhan berada di tempat minum mewah. Botol-botol wine terpampang jelas di depan mataku yang diletakkan berbaris di lemari terbuka, gelas-gelas kaca di gantung tak jauh diatas kepalaku, dan ada banyak makanan ringan dihadapanku juga. Delia seperti menyeduh minuman di depanku. Mataku masih berlari kemana-mana, hingga pandanganku berhenti pada sebuah mading tertempel di sudut, banyak foto Alsan, Delia, dan Martin ketika bersama. Ada foto mengenakan pakaian seragam sekolah, bermain di pantai bahkan taman hiburan, foto saat di depan mobil mewah dan bahkan berada di luar negeri.
Pandanganku teralihkan saat Delia memberiku minuman dan ternyata itu adalah kopi.
“Loe ngapain kesini?”. Tanyanya acuh seperti biasa.
“Apa yang sebenarnya terjadi?”. Tanyaku acuh juga.
Delia menatap mataku dalam dan kemudian mulai bercerita sembari menatap foto-foto yang ada di mading.
Delia, Alsan, dan Martin adalah sahabat semenjak sekolah menengah pertama, tetapi Alsan berbeda sekolah saat menengah atas karena hanya dia yang diterima sekolah negeri. Delia seperti ibu bagi mereka karena apapun yang terjadi saat mereka berbuat kesalahan, Delia adalah orang yang dicari dan menjelaskan pada orang tua mereka jika mereka mendapat panggilan sekolah.
Alsan dan Martin sebenarnya bukan anak nakal, waktu mereka bertiga juga dihabiskan hanya belajar dan bermain, tetapi semenjak masuk sekolah menengah atas karena bertemu dengan pergaulan salah, yaitu balapan liar yang akhirnya membuat Alsan dan Martin sering bolos sekolah. Martin juga mulai mengajak pacaran Delia semenjak masuk sekolah menengah atas, awalnya hubungan Delia dan Martin baik-baik saja termasuk persahabatannya dengan Alsan, bahkan Alsan orang yang paling tahan tidak memiliki pacar walau Delia dan Martin sering pamer kemesraannya.
Semenjak naik kelas dua, Alsan jadi rajin sekolah tetapi Martin malah lebih sering bolos. Alsan sering menutupi kesalahan Martin di depan Delia karena hubungan Delia dan Martin juga mulai berantakan. Pada waktu kelas dua itu ternyata Martin memacariku dan yang lebih menyakitkan bukan karena aku nomor dua tetapi aku adalah bahan taruhan. Martin memang bilang untuk tidak publikasi hubungan kami karena kata Martin takut aku akan jadi bahan hinaan para perempuan yang mengaguminya. Delia bilang Martin taruhan dengan teman sekelasku yang juga anak klub mobil, kata teman sekelasku kalau aku ini terkenal diam dan tak pernah dekat dengan laki-laki jadinya jika Martin bisa memacariku, Martin akan mendapatkan traktir makan gratis di hotel milik ayahnya.
“Kamu gak marah diduakan Del?”. Tanyaku di sela ceritanya yang sebenarnya mulai kesal.
“Gue diduain tetep disenengin, nah loe Al?”.
Jedeeeeeer!!!!!!
Pertanyaan balik Delia membuatku menelan ludah, bahkan Martin juga ingin aku telan sekarang.
Aku memang orang yang acuh, apapun perkembangan di sekolah tidak pernah tahu. Aku dan temanku juga tidak hobi bergosip, tapi kini aku tahu bahwa bergosip ada manfaatnya, selama bukan kita yang menyebarkan gosip.
Dulu waktu berpacaran dengan Martin, sahabat dekatku pun sendiri tidak tahu. Selama berpacaran, aku tetap berangkat dan pulang naik angkot walau terkadang Martin tega lewat begitu saja dihadapanku, aku sama sekali tidak menaruh perasaan buruk apapun karena bagiku lelaki sempurna seperti Martin mau denganku saja cukup. Kami menjalani hubungan cukup baik, berkomunikasi lewat ponsel dan bertemu di rumahku. Seperti itu saja setiap harinya dan hanya berjalan beberapa bulan, hubungan kami berakhir ketika Martin berkata bahwa aku adalah pacar yang tidak bisa diajak pergi kemana-mana, apalagi saat malam karena nenek sangat melarang kami berpergian. Hubungan kami pun berakhir dan aku merasa bersalah tidak bisa menjadi kekasih yang sempurna untuk Martin.
Alsan terkejut ketika Martin bercerita tentang hubungannya dengan diriku, Alsan hanya terdiam tanpa menanggapi cerita Martin. Alsan menjadi sering bernyanyi sendiri dengan petikan gitar di balkon rumah, jarang sekali untuk berkumpul. Awalnya Delia menduga karena kakaknya Alsan menjadi polisi, sedangkan polisi adalah mimpi Alsan selama ini. Alsan tidak mungkin bisa menjadi polisi juga, karena salah satu dari mereka harus ada yang meneruskan usaha keluarga.
Suatu hari Alsan melihat foto buku tahunan kami dan kebetulan saat kelas satu, aku sekelas dengan Delia. Alsan tidak bilang apa-apa karena memerhatikan foto tanpa menunjukkan album foto depan Delia. Delia mengetahuinya semenjak Alsan hobi sering datang ke sekolah dan memarkirkan mobil depan halte sekolah, Delia tiba-tiba saja masuk ke dalam mobil Alsan dan sadar sedang memerhatikanku yang berdua di halte bersama temanku, Alsan meminta pada Delia untuk dirahasiakan dari Martin.
“Memang
bagaimana Alsan bisa tahu aku?”.
“Alsan tidak cerita tentang
hal itu”.
Pada suatu hari ketika Delia datang ke Rumah Alsan dan menghampirinya yang sedang duduk di taman belakang sembari bermain gitar. “Gue suka sama pacar sahabat gue sendiri dan gue gak tahan sebenarnya dia tersakiti”.
“Bener kata orang, bahkan sahabat sendiri bisa jadi pisau suatu hari”. Ujar Martin yang ternyata berdiri di belakang Alsan dan Delia. Alsan pun mengejar Martin untuk menjelaskan, tetapi emosi Martin sudah menyelimutinya dan memukul Alsan, saat Martin akan memukul Alsan kembali, Delia mencegah dengan tubuhnya tetapi tangan Martin mendorong Delia hingga terpantil ke tanah, akhirnya Martin menyerah dan pergi dengan salah paham.
Alsan pun berdiri dengan keadaan berdarah dan membantu Delia berdiri. Delia yang harusnya kesal dengan Martin. Delia meminta agar Alsan membiarkan Martin pergi dengan emosi tanpa penjelasan, Delia sudah tidak tahan dengan sikap Martin.
Martin pergi ke Jerman tanpa pamit, bahkan hubungan Delia dan Martin berakhir tanpa ada kata putus. Setelah masuk kuliah, Alsan memperkenalkan Rico dan tak lama mereka berpacaran sampai sekarang.
“Berarti kamu tau rumah Alsan dimana?”.
“Rumahnya dijual Al semenjak masuk kuliah, kebetulan samping rumah”.
“Apa?”.
“Semua keluarganya pindah Jogja kecuali dia yang masih kuliah di Semarang”.
Aku terdiam dan tak percaya berarti selama ini dia bohong kalau mengontrak, tapi kenapa?
Delia yang duduk didepanku kemudian meminum kopinya sejenak. “Hidup jangan introvert Al, padahal kita satu sekolah sampek gak tau gue sama Martin pacaran”.
“Aku juga menyesal hidupku yang seperti itu saja, andai hidupku lebih aktif berteman”.
“Ciee nyesel”. Ledeknya sembari tersenyum menunjukkan barisan giginya.
“Rico juga tahu kalau rumah Alsan sebelahmu?”.
“Ya jelas.., kenapa emang Al?”.
“Tidak ada-ada”. Jawabku menutupi kebingunganku.
Kini aku tahu mengapa Rico begitu mencintai Delia. Sisi lain Delia yang suka meledek, cara senyum dan tawanya sungguh cantik. Aku terkesan dengan cara pandang Delia. Delia adalah orang yang paling tersakiti, tetapi dia tetap tenang dan bahkan masih bisa membuka hatinya pada Rico, jadi wajar jika Delia terlihat tegas dengan Rico karena takut kisah percintaannya yang buruk terulang kembali. Delia bukan tipe orang yang suka memamerkan kebaikan, aku ingat bagaimana dia meminjamkan jaket dan membantu Rico membeli kado untukku. Kini aku tahu saat Delia memberikan nasi bungkus setelah merawat Martin sakit itu sebenarnya atas suruhan Alsan. Alsan adalah orang yang menunggu di warung dekat pangkalan ojek untuk menjagaku jika aku pulang malam, Alsan melihatku datang ke Rumah Martin saat sedang keluar dari Rumah Delia untuk mengambil jaketnya yang tertinggal dipinjam Rico di Rumah Delia.
“Kopi pahit itu seperti memandang alamanda pada senja, nikmat dunia dan surga menjadi satu”. Ujar Delia saat aku ikut meminum kopi.
“Kamu bisa aja Del”. Ledekku.
“Alsan yang sering ngomong gitu kalo ngumpul”.
Aku langsung tersedak mendengarnya. Aku tidak tahu kenapa Delia terus bercerita bagaimana Alsan mengagumiku. Entahlah masih tidak percaya.
“Aku balik dulu Del, ini udah malem”. Ujarku sembari berdiri.
“Yo dah gue anterin..”.
Delia mengantarkanku pulang tepat sebelum jam 10 malam. Selama di mobil, Delia bercerita bagaimana mendekati Delia, ia sempat menilai Rico seperti bocah dan licik namun karena perjuangannya akhirnya Delia luluh.
Kami sampai depan rumahku, Delia ikut turun dan mengikutiku hingga pintu gerbang dan saat dibukakan pintu gerbang oleh Pak Toto, aku merasa aneh seperti Pak Toto terkejut melihat Delia dari matanya.
“Biasa aja pak liat cewek cantik”. Ledekku memecahkan suasana dan Pak Toto hanya meringis.
Delia mengikutiku berjalan hingga teras depan rumah dan nenek keluar. “Ini siapa?”. Tanya nenek dan Delia memperkenalkan diri begitu sopan.
Aku tidak tahu bahwa Delia memiliki sisi ini, bahkan Delia berkata dia adalah temanku dari sekolah dan meminta maaf baru main sekarang. Delia mengobrol dengan nenek begitu manisnya. Delia kemudian pamit pulang karena sudah malam dan aku gantian mengantarkan hingga depan pintu gerbang.
“Del…”. Panggilku lirih dan Delia membalikkan tubuhnya.
“Iya Al?”
“Apakah kau benar-benar tidak tahu dimana Alsan sekarang?”.
“Aku hanya tahu rumahnya di Jogja selebihnya entah, dia memutuskan komunikasi begitu saja”.
Aku hanya mengangguk mengerti, kemudian Delia pulang. Aku langsung menutup pintu gerbang dan berjalan menuju kamarku. Aku bergegas untuk mandi tapi sampai kamar mandi aku lupa bawa sikat gigiku sudah rusak, akhirnya aku kembali ke kamar untuk mengambil sikat gigi yang baru. Saat aku mengambil sikat gigi yang aku berdirikan di gelas meja belajar tiba-tiba handukku yang aku selempangkan mengenai pot bunga di meja belajar hingga jatuh, aku pun membenahi pot bunga alamanda yang terbuat dari kain flanel dan aku tak sengaja melihat kertas terlipat dibawah meja, aku langsung mengambilnya dan aku baru sadar bahwa itu surat pemberian Alsan saat sidang yang belum sempat aku baca. Aku pun melipatkan kakiku untuk membaca.
Halo Alamanda Katartika yang sensi.. (“Suruh siapa ngeselin”, gumamku)
Kau adalah imajinasi..
Awalnya hidup sebagai ilusi..
Kemudian menetap dihatiku bagai permaisuri.. (Aku tertegun membacanya)
Duniaku seperti fantasi..
Bayanganmu menghantuiku setiap hari..
Senyumanmu tertanam di hati..
Dan aku bahagia kini kau bukan ilusi..
Hai teman terima kasih..
Pelipur lara ketika sedih..
Tetap berseri..
Karena mentari akan selalu menyertai senyummu yang jelek..
Tertanda untukmu, Sunshine..
Dari aku teman setiamu, Alsan..
“Tuh kan akhirnya Alsan tetep ngeselin”. Keluhku dan entah mengapa aku jadi ingin menangis, sangat sakit tertahan di tenggorokan. Aku ingat saat semua masa bersama Alsan. Saat semua tentangnya selalu baik dan memberikan pelajaran. Sekarang, aku belajar untuk lebih percaya pada sosok yang selama ini lebih peduli padaku dan aku belajar untuk mendengarkan daripada hanya sekedar melihat situasi.
¤¤¤¤
Aku sedang menunggu dosen di kampus sembari membaca novel. Aku masih aktif bertemu dengan Bu Sakinah dan beliau selalu menyemangatiku untuk bersabar bimbingan dengan Pak Widodo. Pak Widodo sebenarnya selalu berada dikampus tapi sibuk dengan akreditasi kampus. Aku datang ke kampus saat Pak Widodo dapat ditemui karena revisi dengan Bu Sakinah hari ini yang terakhir, kemarin hanya butuh pembenaran sedikit baru tanda tangan oke cetak.
Setelah mendapat oke cetak dari Bu Sakinah, aku langsung mengirim pesan kepada Pak Widodo untuk meminta waktu agar dapat ditemui. Pak Widodo memang sibuk, tapi setidaknya tidak pernah memberikan harapan palsu tentang bimbingan karena pesan pasti langsung dibalas. Aku berjalan menuju ruangan Pak Widodo setelah mengirim pesan tetapi Pak Widodo membalas pesan bahwa ada rapat mendadak. Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku sekarang. Aku memutar arahku menuju pulang.
“Assalamualaikum”. Teriakku masuk rumah dan tidak ada tanggapan, padahal semua pintu rumah terbuka. Langkahku terhenti saat aku dapati Pak Toto sedang menerima telepon di teras belakang.
Pak Toto : Bapak tidak bisa pulang liburan ini, bapak sudah mengajar di Semarang.
Penelepon : …..
Pak Toto : Nanti bapak kirim uang untuk kamu, gunakan bermain bersama teman-teman baru saat liburan.
Penelepon : ….
Pak Toto : Baik, ajari mereka yang benar. Bapak akhiri teleponnya, Assalamualaikum.
Pak Toto terkejut saat membalikkan tubuh melihatku di pintu dapur. “Mbak Al sudah pulang dari tadi?”.
“Iya pak, Pak Toto kali ini tidak pulang?”.
“Tidak mbak sudah mengajar disini”.
“Emang rutin ya pak selalu hadir acara liburan di desa bapak?”.
“Setiap tahun mbak untuk meningkatkan minat orang luar dalam budaya Indonesia makanya dibuat program tersebut karena menguntungkan, kami warga desa mendapatkan uang, sedangkan orang luar mendapatkan ilmu”.
Aku hanya mengangguk.
“Mbak Al juga bisa nyari uang disana, disana ada tempat minum kopi tradisional nanti Pak Toto minta Ajeng untuk menemani Mbak Al bekerja disana sembari belajar seni dan budaya”. Lanjut Pak Toto.
”Rasanya tidak mungkin, jangankan mau keluar kota, pulang malam saja kena marah”. Keluhku.
“Jika kamu tertarik, main saja kesana”. Ujar nenek tiba-tiba muncul dari samping rumah.
“Seriusan nek?”. Tanyaku antusias mendekati nenek.
“Bukankah kamu mulai menyukan ilmu budaya? berangkat ke Jogja, disana ada anaknya Pak Toto, nenek sudah pernah bertemu dan sangat baik pasti bisa menjagamu”.
Aku memeluk nenek. ”Makasih nek”.
Nenek mengangguk sembari menepuk pundakku.
Aku langsung bersiap-siap berangkat bekerja. Aku datang dalam keadaan sangat senang, bahkan Genta meledekku seperti biasa.
“Oke cetak ya?”.
“Bukan”. Jawabku datar.
Genta kemudian meminta maaf dan aku kembali meledeknya. “Ya enggaklah canda”.
Kami pun tertawa.
“Eh seriusan udah oke cetak?”.
“Bukan Gen, aku seneng karena mau liburan”.
“Liburan kemana? Resign dong berarti?”.
“Ke desa Pak Toto”.
Genta tampak diam kemudian tersenyum tipis.
“Kamu seneng aku gak disini?”. Tanyaku sembari menunjuknya.
“Bukannya gitu Al, loe butuh refresh dari penantian yang tak jelas ini dan akhirnya loe dapet ijin dari nenek yang susah banget”.
“Nenek itu kayak gitu karena sayang banget sama cucunya yang manis sekali”.
Genta hanya tertawa kemudian melanjutkan pekerjaannya.
“Gen…”. Panggilku lirih tanpa memandangnya.
“Kenapa Al?”. Sahut Genta memandangku yang sedang menggiling kopi.
“Aku baru kerja bentar disini, kalau aku keluar dapat pesangon berapa ya?”.
“Loe butuh duit Al?”.
“Liburan kan butuh duit Gen”.
“Tergantung bos, tapi sepertinya loe dapet pesangon gedek”.
”Kok gitu?”.
”Kan loe rajin kerja”. Jawab Genta kemudian tertawa dan aku hanya memanyunkan bibir.
“Akhirnya loe keluar kandang ya Al”.
“Sayur asem tenan”.
“Enggak pake kata sayur juga gak apa-apa Al HAHAHA”.