Suara pintu kafe terdengar terbuka. Aku dan Genta sontak membalikkan tubuh, ternyata Martin datang di tengah hujan. Dia tampak terlihat seperti bersalah kemudian menghampiriku. “Hai Al”. Sapanya tenang.
Aku mengajaknya duduk dan Genta meninggalkan kami.
“Mau kopi apa?”. Tanyaku melepaskan kecanggungan.
“Espresso saja”.
Aku berdiri dan membuatkan kopi. Aku kembali duduk sembari memberikan kopi pada Martin. Martin meminumnya dengan sedikit gemetar, aku tidak pernah melihat Martin seperti ini sebelumnya.
“Aku mau minta maaf Al, sekalian pamit balik ke Jerman”. Ujarnya sembari meletakkan secangkir kopi.
”Hati-hati Martin”. Jawabku tenang.
”Kamu enggak marah sama aku?”.
“Aku marah, tapi disini yang paling marah adalah Alsan. Dia selalu mementingkan teman, Martin”.
Martin menghela nafas. “Aku telah menjadi buruk dengan marah padanya, aku tidak tau bahwa orang yang dia sukai adalah kamu. Aku juga sudah minta maaf sama Alsan”.
“Kamu bertemu Alsan?”. Tanyaku semangat.
“Iya Al..”.
“Dimana?!”.
“Aku bertemu di Jogja, kamu tidak tau dia ada dimana?”.
”Tidak..”. Jawabku lemah.
”Teman-temanmu?”.
Aku hanya menggeleng.
”Aku hanya tidak sengaja bertemu dia di Malioboro, biasanya malam minggu dia main musik disana”.
”Apakah dia baik-baik saja?”.
”Dia semakin tampan”.
Seketika wajahku memerah.
”Pergilah ke Jogja..”. Ujar Martin yang tak aku beri tanggapan.
Kami diam memandang arah luar, setelah reda Martin pamit pulang. Hal paling susah dari segala hal adalah memaafkan, aku tidak pernah marah karena menjadi pacar kedua, tapi aku marah karena aku sudah marah dengan orang yang salah.
¤¤¤¤
”Semuanya udah siap Al?”. Tanya Delia membantuku berkemas.
”Udah Del..”.
”Kok cuma bawa ransel sama tas jinjing, kenapa gak koper sekalian?”.
”Aku cuma pergi sebulan”.
”Sebulan cukup lama Al”.
”Kan bisa cuci baju”.
”Ya deh”. Jawab lemas Delia.
”Ayok semua makan..”. Perintah nenek memanggilku, Delia, dan Rico yang sedang berbincang dengan Pak Toto di kebun. Kami semua langsung berjalan menuju dapur.
”Cie Al keluar kandang..”. Ledek Rico ketika kami baru duduk.
”Apaan sih Co..”. Ledekku balik.
”Ya enggaklah canda..”. Ujar Genta datang dari pintu belakang dapur yang membuat kami semua terkejut.
“Genta!!!!!….”
”Ayok Nak Genta makan..”. Ajak nenek.
”Siap nek”. Sahut Genta yang langsung mengambil piring.
Hari ini semua orang berkumpul, mereka akan mengantarkanku ke Jogja, padahal hanya sekedar menuju bis arah Jogja, namun ini pertama kalinya aku pergi jauh dan begitu antusiasnya mereka. Hari ini aku benar-benar merindukan Putri, Angel, Andi dan tentunya Alsan, mereka semua sudah menemukan pekerjaan mereka masing-masing.
Aku bersyukur dikelilingi orang-orang yang begitu baik, ada nenek yang pemarah namun sangat perhatian, ada Pak Toto yang candaannya kadang garing kadang lucu, ada Rico dan Delia yang sekarang menemaniku pergi kemanapun, hal yang tak pernah terbayangkan berteman dengan Delia, sesosok yang tak mungkin menjadi temanku dan tentunya ada Genta yang selalu menghibur dengan gaya khasnya.
”Al kenapa senyum-senyum sendiri?”. Tanya Rico.
”Aku senang punya kalian”.
”Uluh-uluh…”. Ledek mereka semua.
Aku hanya memanyunkan bibir menunjukkan kekesalan.
”Al nanti bagi foto-foto selama disana, bila perlu buat tulisan terus diposting buat berbagi pengalaman, lu harus bergerak untuk maju..” Ujar Rico.
”Lu pikir Si Al lagi kampanye apa pake maju segala..”. Sahut Genta.
”Setidaknya dia harus merasakan bagaimana ketika dia melakukan sesuatu lalu mendapatkan penghargaan”.
”Udah, udah.. kita doakan Al sehat selalu itu yang penting”. Sanggah Delia.
”Yang penting sekarang itu kita siap-siap berangkat soalnya sebentar lagi mau jam 2 nih..”. Jawabku.
”Ya udah kita siap-siap, semua tas masukkin mobil gue”. Ujar Rico.
Sontak kami semua berdiri.
Nenek tampak sendu, sedari pagi tidak banyak bicara. Kami semua sudah siap dan masuk mobil Rico, kali ini Rico bawa mobil besar sehingga cukup untuk semua orang masuk. Nenek dan Rico duduk depan. Aku dan Delia duduk tengah, sedangkan Genta dan Pak Toto duduk di belakang. Selama perjalanan, kami menikmati Lagu-Lagu Chrisye seperti Lagu Kala Cinta Menggoda.
Kami sampai dengan tempuh perjalanan sekitar 15 menit.
”Kamu hati-hati ya Al..”. Ucap nenek sembari memelukku.
”Nenek jaga kesehatan”. Ucapku berat.
Aku melepaskan pelukan dan melangkah pergi meninggalkan mereka untuk masuk bis, mereka menatapku sendu.
”Kabari Al kalau udah sampek”. Teriak Delia.
Aku hanya melambaikan tangan yang disambut juga oleh mereka.
Kini aku sudah dalam bis, tak lama bis melaju akhirnya mereka juga pergi. Perlahan-lahan bis meninggalkan Kota Semarang dan aku terus melihat pemandangan persawahan tanpa henti.
Senja di balik layar..
Layar kaca tempatku berlayar..
Layaranku diatas roda putar..
Menuju desa katanya penuh bunga mekar..
Bis sampai di Terminal Jombor dengan waktu tempuh 2,5 jam. Aku turun dengan tas ransel dan tas jinjing. Aku berjalan melewati orang-orang sekitar, ada yang sedang menggandeng anaknya, ada yang sedang duduk di pojokan bermain ponsel, dan ada juga sepasang kekasih yang sedang memadu kasih sembari menatap senja. Aku berjalan menuju ruang tunggu karena Ajeng akan menjemputku disini. Ajeng adalah anak Pak Toto. Sembari aku menunggu, aku membaca buku Karya Jostein Gaarder yang berjudul Orange Girl.
“Mbak Alamanda?”. Tanya seorang gadis yang mengenakan kaos berwarna putih bertuliskan ‘Jogja Istimewa’ dengan celana jarik. Nafasnya terengah-engah seperti habis lari.
“Iya?”. Jawabku lirih dan bingung.
Sontak gadis itu memelukku dengan girang dengan aku masih duduk. “Mbak Alamanda niki phanin tenan, amit njeh kulo kesuwen”.
Jadi ini yang namanya Ajeng, wajahnya mirip dengan Pak Toto.
“Jeng?”. Ujarku sembari melepaskan pelukan. “Phanin itu opo?”.
Ajeng tertawa. “Phanin itu cantik mbak, yowes sekarang kita pulang sudah mau maghrib”.
Aku dan Ajeng beranjak pulang, ia membawakan tas jinjingku padahal aku sudah mencegah, tetapi kekuatan tangannya di luar dugaan. Kami berjalan dengan Ajeng melingkarkan lengannya di lenganku. Benar kata Pak Toto, Ajeng itu ramah sekali, baru kenal saja dia sudah banyak bicara bahkan sudah membanggakan desanya.
“Anak Ndoro Putri juga ganteng mbak”. Ujarnya sembari cekikikan dan aku hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalaku.
Kami naik angkot menuju desa, Ajeng kali ini berbincang dengan ibu-ibu yang ada dalam angkot yang baru pulang berdagang di terminal bis. Mereka berbicara dengan Bahasa Jawa, walau aku tidak bisa cara bicaranya setidaknya mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Aku tersenyum sendiri melihat mereka yang begitu hebohnya bahkan diledekin oleh supir angkot.
“Walah opo iyo toh”. Ujar pak sopir ikut heboh untuk menambah suasana dramatis.
”Iyo noh pak”. Jawab salah satu Ibu dan kami semua menjadi tertawa bersama.
Kami turun dari angkot setelah sampai pada sebuah gapura kecamatan. Untuk menuju desa, kami harus naik andes atau angkutan desa yang terparkir pada sekitar gapura. Disini banyak andong terparkir, tetapi Ajeng tiba-tiba memanggil seseorang yang lewat dengan keras, “Joko!!!”. Begitu Ajeng memanggil namanya. Lelaki yang sedang mengenakan kaos putih polos itu menengok ke arah kami, ia sedang menunggang diatas gerobak tanpa atap dengan kuda sebagai penarik. Dari wajahnya sepertinya seumuranku. Ajeng menghampirinya dan aku diam di tempat, Ajeng berbicara dengannya dan sekilas menunjuk kearahku. Sontak aku dan laki-laki tersebut saling melihat. Setelah bicara beberapa menit, Ajeng memanggilku dan aku menghampiri mereka.
“Halo Mbak Al, nama saya Jaka”. Sapanya sembari tersenyum mengulurkan tangan kanan dan aku ikut menyalami sembari tersenyum.
“Halah.. halah.. biasanya juga dipanggil Joko kok kebagusan dadi Jaka”. Celetuk Ajeng.
”Ya ngapa sih Jeng, mumpung enek cewek manis”.
Ajeng kemudian menyuruhku duduk berlipat diatas gerobak sama sepertinya.
Selama perjalanan, Ajeng dan Joko membicarakan tentang acara desa yang diadakan setiap tahun saat liburan dan Joko selalu menjadi ketua pelaksana. Aku menikmati pemandangan persawahan sembari mendengarkan mereka. Senja memperlihatkan burung kuntul yang sibuk memakan tanaman padi yang baru masak susu lalu bertebangan ke tanaman yang lain, ini cantik sekali, tapi sayangnya burung seperti ini jika didekati manusia pasti langsung kabur.
“Mbak Alamanda”. Aku langsung menengok ke arah Ajeng karena ternyata sedari tadi Ajeng memanggilku tetapi tidak terdengar.
“Mbak ini kok malah ngelamun toh”. Ledek Joko.
“Bapak bilang, Mbak Al suka ngelamun, itu gak baik mbak”. Sanggah Ajeng.
“Maaf, Joko tadi dari mana?”. Tanyaku mengalihkan perhatian.
“Kulo teko kota mbak, biasa nganterin pesanan batik”.
”Mau dong diajak jalan-jalan ke kota”.
”Ya mbak nanti ya pas nganterin batik, bagusnya malem hari”.
”Jangan mau Mbak Al nanti enggak pulang..”. Hasut Ajeng.
Aku hanya tersenyum.
Kami sudah memasuki gapura desa. Rumah-Rumah Joglo adalah pemandanganku saat ini, ada anak-anak sedang bermain di depan rumah yang kemudian menyapa kami ramah. Diantara Rumah Joglo terlihat pendopo besar seperti tempat berkumpul, bahkan aku melihat anak-anak sedang belajar menari dan bermain musik gamelan. Joko menghentikan kudanya dan mempertontonkanku anak-anak sedang melatih menari jaranan.
”Tari Jaranan adalah tari tradisional yang menjadi ikon di Kediri, tarian ini merupakan tarian pengantar pengantin, karena itu pakaiannya seragam layaknya prajurit mengantarkan pengantin. Tari jaranan mengenekan kuda tiruan dari ayaman bambu dengan diiringi musik gamelan yang khas dengan suara terompet”. Ujar Joko.
”Indah bukan?”. Tanya Ajeng yang membuatku terdiam.
Aku hanya mengangguk membalas raut wajah Ajeng yang begitu ceria.
Kami melanjutkan perjalanan setelah Tari Jaranan selesai. Aku senang sekali mendapatkan suasana seperti ini yang sudah tidak didapatkan di kota. Ajeng sedari tadi memamerkanku bagaimana seni dan budaya disini masih lekat. Laki-laki disini rata-rata mengenakan blangkon. Kendaraan bermotor seperti mobil hanya boleh masuk dari jalan arah lain. Orang-orang disini belum tentu memiliki motor, jadinya aman ingin berlarian disini dan tidak mengganggu anak-anak sedang bermain, hanya sepeda dan becak yang diizinkan berkeliaran. Aku juga mendapati anak-anak dilapangan sedang bermain congklak dan ingkling. Desa yang tak hanya masih lekat dengan suasana tradisionalnya, tetapi warganya juga ramah dan lingkungan yang indah dipenuhi tanaman hias seperti melati, kantil, mawar, melati bahkan tanaman kertas. Aku juga melihat sebagian tanaman kana tumbuh di rumah yang tak memiliki pohon, ini bertujuan untuk menyerap panas.
Kami berhenti tepat di sebuah Rumah Joglo besar bertingkat dua. Rumah bercat coklat kayu dengan taman bunga dan air mancur ditengahnya, pohon palem menjulang tinggi di kedua sisi rumah besar ini. Aku turun dari gerobak dengan terpana, aku dan Ajeng kemudian mengucapkan terima kasih dan Joko langsung pamit pulang.
“Joko baik dan ramah”. Ujarku saat berjalan mengikuti Ajeng yang lewat samping rumah.
”Dia emang gitu mbak, hati-hati baper”.
”Aku tidak baper hanya kagum saja. Kamu gak suka sama Joko?”.
“Loh kok jadi aku?”. Jawabnya malu dan aku menggeser-geser pundaknya dengan pundakku untuk menggodanya.
Tiba-tiba Ajeng berhenti saat kami berjalan dan ia menundukkan kepala. “Sugeng sonten Ndoro”. Ujarnya sembari mengatupkan kedua tangannya di depan bibir. Aku mengikutinya dengan melangkahkan kakiku berdiri disampingnya, karena kata nenek kita harus menjaga kesopanan dimanapun berada karena itu hal pertama yang dinilai masyarakat.
Aku melihat seorang wanita dengan rambut diikat konde sedang menyiram tanaman di taman belakang. Wanita ini sekitar berusia tiga puluhan. Aku hanya diam memerhatikan mereka berdua. Aku pikir wanita ini adalah pemilik rumah sekaligus kepala desa disini.
“Nama saya Alamanda bu”. Celetukku karena belum mendapatkan tanggapan dari sapaan kami. Wanita tersebut langsung menatapku menghentikan aktivitasnya.
“Sugeng rawuh Alamanda di desa kami. Ajeng sudah bercerita tentang kamu. Semoga kamu betah”. Ujarnya tersenyum.
Senyumnya manis sekali, mirip seseorang..
“Matur nuwun Ndoro Putri”. Jawabku yang terlihat sekali mengucapkan Bahasa Jawa dengan kaku.
“Yowes kamu siram dulu, terus siap-siap makan malam”.
Aku berjalan mendekati Ndoro Putri, kemudian membasuh wajahku dengan air yang memancur dari selang di tangan Ndoro Putri.
“Kamu sedang apa?”.
“Siram Ndoro Putri”.
Ndoro Putri tersenyum dan Ajeng tampak menahan tawa.
Ndoro Putri memegang pundakku. “Siram itu maksudnya mandi”.
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Aku pun permisi untuk menuju kamar peristirahatan bersama Ajeng.
Ajeng tertawa saat kami menuruni anak tangga menuju rumah peristirahatan. Aku hanya mengerucutkan bibir. Ajeng bahkan menawariku siram di kran dekat kamar. Aku hanya mengabaikannya dan masuk kamar yang ditunjuk Ajeng.
Tempat tidur kayu dengan kasur beralas kain berwarna putih dan nakas diantara kedua sisi tempat tidur dengan pot bunga diatasnya. Kamar tanpa plafon dengan rangka atap dari kayu merbo tanpa sawang, benar-benar bersih. Sebuah jendela dengan dua daun penutup, aku mendekati jendela dan dapat melihat langsung pemandangan orang-orang sedang berlatih gamelan di saung tengah persawahan. Mereka berhenti setelah senja mulai hilang.
“Mbak Al suka kamarnya?”.
”Iya”. Jawabku tersenyum kepada Ajeng.
Ini adalah kamar Ajeng. Ajeng sudah diberitahu nenek bahwa aku tidak berani tidur sendirian di tempat asing. Ajeng bilang sebelum berangkat sekolah, dia membantu beres-beres rumah dan saat sore hari berlatih menari, jadinya Ajeng tak banyak bisa menemaniku, tapi jangan khawatir dan merasa sendirian katanya, karena di desa ini warganya sangat ramah dan cepat akrab.
“Ajeng kapan ke kota? Aku ingin ke Malioboro”. Tanyaku sebelum bergegas mandi.
“Kurang tau kapan mbak, saya hampir tidak setiap bulan pergi ke kota, kalau mau pergi ke kota sama Joko aja mbak”.
Aku hanya menunduk kemudian melanjutkan langkahku untuk mandi.
Aku harus ke kota bagaimana caranya dan bertemu Alsan.
¤¤¤¤
Pagi ini Ajeng sudah berjanji akan mengajakku berkeliling desa sembari berkenalan dengan warga desa. Kami berjalan sembari berbincang mengenai bagaimana tertariknya Ajeng sekolah di Semarang.
“Itu loh mbak, kalo pas si Aden ngajakin aku ke Semarang, aku iki dijek’i muter-muter, apik tenan caaah”.
“Emang ngapain Aden ke Semarang?”.
“Loh anaknya Ndoro kan kuliah disana mbak”.
Aku hanya mengangguk mengerti.
Ajeng menuntunku berhenti pada sebuah sanggar. Kami menuruni tiga anak tangga menuju pendopo sanggar. Sebuah sanggar dengan ketinggian tiang menjulang sekitar 10 meter. Ajeng memperkenalkanku pada wanita pemilik sanggar. Ibu Ruki namanya, orangnya ramah dan usianya sekitar empat puluhan. Ibu Ruki mempersilahkan kami duduk dan beliau langsung menyuruh pelayan untuk membuatkan kami teh. Ajeng memperkenalkanku kepada Ibu Ruki, beliau menyambutku begitu hangat.
”Nak Al bisa Bahasa Jawa?”.
”Sedikit Bude”.
”Bagaimana tentang desa ini?”.
”Sejuk dan ramah”. Jawabku semangat.
Bude Rol menggenggam tanganku. ”Bude selalu punya harapan anak muda negeri sendiri selalu punya semangat untuk belajar budaya sendiri, sedih rasanya kalau ternyata anak muda negeri lain yang lebih bersemangat”.
”Al bakal belajar yang bener terus dipamerin biar temen-temen pada pingin”.
Ibu Ruki tersenyum, aku dan Ajeng lalu pamit untuk melanjutkan perjalanan.
”Bude Ruki tuh baik banget, menari itu gak sekedar gerak tapi juga olahraga”.
”Sepertinya akan jadi menyenangkan”. Sahutku dan kemuadian kami tertawa.
Perjalanan kami berlanjut menuju rumah Pak Ananto. Pak Ananto adalah ketua musik gamelan di desa ini. Pak Ananto sama ramahnya dengan Ibu Ruki, Pak Ananto juga menyediakan kami teh hangat. Pak Ananto sangat antusias sekali memperkenalkan gamelan, bahkan kami diajak duduk di pendopo dan menyuruhku untuk mencoba bermain gamelan bersama Ajeng. Pak Ananto bilang kalau aku cepat tanggap belajar gamelan. Aku bilang bahwa aku sudah sempat belajar sedikit waktu kuliah dan yang mengajariku adalah Alsan, tapi aku tidak mungkin menyebutkan nama Alsan, jadi sebut saja dia teman.
Aku mencoba bermain gambang, mengetuknya berkali kali entah nada apa yang sedang aku mainkan tapi menurutku ini bagus untuk di dengar. Ajeng kemudian mengajariku cara memainkannya berdasarkan not, aku mencoba memainkan instrumen gundul-gundul pacul dan ini menarik sekali, bahkan Ajeng yang sibuk latihan menari saja tau bagaimana cara bermain gamelan. Wajah Pak Ananto tampak senang melihat kami.
“Mbak, ayok lanjut ke rumah yang lain”. Ajak Ajeng saat aku sedang asik bermain.
“Yaah Ajeng seru nih”.
“Iya mbak, tapi kan kita gak boleh pulang terlalu sore”.
“Yo dah deh”. Aku kemudian meletakkan alat pemukul gambang dan berdiri bersama Ajeng untuk pamit dengan Pak Ananto.
”Buru-buru sekali..”.
”Biar gak pulang sore pakde”. Jawab Ajeng sembari salim kemudian diikuti aku.
Kami kembali berjalan dan aku masih menyanyikan Lagu Gundul-Gundul Pacul, aku menceritakan makna lagu tersebut dan Ajeng menebak bahwa bapaknya sendiri yang memberitahu hal ini padaku, siapa lagi kalau bukan Pak Toto. Aku kembali menyanyikan lagu sembari menari. Para warga yang lewat tampak geleng-geleng kepala. Ada yang baru akan berangkat ke sawah, ada yang baru mencari kayu dengan alat pikul dari bambu, dan ada juga wisatawan dosmetik yang sedang berkeliling sembari mengambil gambar.
“Ajeng, kalau aku minum teh sekali lagi kayaknya aku gak makan siang”. Keluhku saat kami berjalan menuju rumah Ibu Rol, ibunya Joko.
“Bener ya mbak? Tapi kalo misalnya bukan teh bagaimana?”.
“Enggak gimana-gimana”. Jawabku.
Kami sampai pada sebuah Rumah Joglo lagi dengan kain batik berjajar sedang dijemur depan rumah. Pemandangan yang luar biasa, aku selalu ingin berdiri diantara kain-kain batik yang dijemur seperti video bertema kebangsaan kemudian berlari diantaranya, pasti menyenangkan jika ada yang memfoto juga.
Kami berjalan melewati kain batik dan menuju ruang tamu terbuka. Seorang ibu dengan pakaian khas jawa beserta rambut konde keluar menyapa kami. Ibu Rol mengajakku mengobrol tentang desa ini dan bagaimana beliau berusaha keras untuk menjaga tradisi yang ada mengingat jaman semakin canggih. Minuman pun keluar dibawa oleh seorang gadis muda.
“Kayaknya aku beneran gak makan siang”. Gumamku dan Ajeng hanya tersenyum menatapku.
Ibu Rol mempersilahkan kami untuk minum. Aku mengangkat cangkir di meja dan terkejutnya aku ini adalah kopi. Aku menatap Ajeng, tetapi minuman Ajeng adalah secangkir susu. Aku mencium aromanya yang wangi sekali dan kemudian aku meminumnya.
“Ada apa Nak Al?”. Tanya Ibu Rol saat aku terpaku ketika merasakan kopinya. “Kopinya tidak enak?”. Lanjutnya.
“Kopinya enak sekali bu, ampasnya rasanya renyah, dan rasa pahitnya pas”.
Bude Rol lalu memanggil Joko. “Joko..”.
Tak ada jawaban lalu dipanggil, ”Jaka…”.
Joko keluar dari rumah samping dan berjalan menghampiri kami.
“Kamu bagaimana toh? Masak tamu, kamu kasih kopi pahit?”. Keluh Bude Rol yang baru meminum kopinya.
“Gulanya habis mak”.
Aku tersenyum mendengarkan jawaban Joko, mengingatkanku pada nenek saat Alsan pertama kali ke rumah, saat gulanya habis.
“Emang warung gak ada yang buka opo?”.
“Aku bercanda loh mak, katanya Mbak Al suka kopi pahit, ya kan Jeng?”.
“Hah? Iya”. Jawab Ajeng seperti orang bingung.
”Bapak bilang sama Ajeng kalau Mbak Al suka kopi pahit”. Sahut cepat Ajeng.
Joko kemudian permisi untuk kembali ke kedai karena banyak orang datang berkunjung saat hari minggu. Jadi rumah samping Bude Rol ini adalah sebuah kedai kopi. Bentuk kedai kopi tidak besar, nuansanya seperti rumah, hanya saja banyak mesin kopi canggih disini.
“Aden yang buat kedai kopi disini Mbak Al, kebetulan ada kebun kopi di gunung sana. Jadinya kan saling memanfaatkan kata Aden”. Gumam Ajeng dan kembali meminum minumannya.
”Oh ya, aden kapan pulang?”. Tanya Bude Rol dan Ajeng hanya menggelengkan kepala dengan wajah sendu. Bude Rol sudah paham dengan raut wajah Ajeng.
”Bude harap liburan tahun ini Aden pulang, Bude rindu sama candanya”. Keluh Bude Rol.
”Ajeng pikir pasti tahun ini pulang ke desa”.
”Tenanan Jeng?”. Tanya balik Bude Rol dengan semangat.
Ajeng hanya tersenyum.
Kami melanjutkan mengobrol tentang acara liburan tahunan desa. Aku akan belajar membatik, pertama aku akan belajar membuat motif buatanku sendiri, kemudian baru mewarnainya. Biasanya pada acara liburan tahunan, setiap rumah pasti akan membatik dan dijual saat bazar. Aku juga ingin menjualnya sebagai hasil buatan tanganku sendiri.
Tak sadar adzan berkumandang, kami sholat dzuhur berjamaah kemudian makan siang bersama. Kami menikmati makanan sayur lodeh, sambal ikan asin, sambel terasi, dan lalapan seperti daun singkong, kemangi, dan selada. Makanan sederhana tapi rasanya mewah. Kami tidak hanya makan bertiga, tapi juga makan bersama para pembatik disini. Aku diperkenalkan disini, mereka sangat ramah dan langsung memperlakukanku seperti sudah lama disini.
“Alhamdulillah Mbak Al makan siang”. Ledek Ajeng dan aku hanya tersenyum malu kemudian melanjutkan makan.
“Memangnya ada apa?”. Tanya Bude Rol.
Aku dan Ajeng hanya tersenyum. Bude Rol tampak bingung kemudian beliau menyuruh kami melanjutkan makan. Kami makan dengan tenang tanpa pembicaraan hingga makan selesai, aku dan Ajeng membantu mencuci piring kemudian pamit pulang.
“Eh SMP”. Teriak Joko duduk di teras kedai.
“Emang aku SMP”. Ledek Ajeng dan menarik lenganku untuk berjalan pulang. Aku dan Joko hanya menyapa senyum. Kami memang SMP yaitu sudah makan pulang HAHAHA.
Ini sudah tengah hari tetapi tidak merasa panas sekali karena pepohonan tumbuh dengan rindang selama perjalanan. Andaikan di kota, pasti aku sudah mengeluh ingin naik angkot segera karena jalanan trotoar hampir tidak ada pohonnya lagi.
“Ajeng, Ndoro punya anak sudah besar?”. Tanyaku memecahkkan keheningan perjalanan kami.
“Punya Mbak Al, kurang lebih seumuran Mbak Al”.
“Ndoro kelihatan masih muda sekali untuk memiliki anak sudah seumuranku”.
“Ndoro itu rajin minum lemon setiap pagi sebelum makan Mbak Al, jadinya awet muda”.
“Wah boleh dicoba”.
“Mbak Al kenapa tanya-tanya? Cari bujang desa ya?”. Ledeknya sembari menunjuk-nunjukku.
“Tanya aja, tapi kalau pulang bawa bujang desa juga boleh”.
Aku dan Ajeng tertawa keras hingga semua orang melihat kami.
Kami mulai membicarakan tentang sekolah Ajeng. Ajeng sekarang sudah kelas tiga SMP, inginnya sekolah di Semarang karena ingin sama Pak Toto, tapi Ajeng sudah dekat dengan masyarakat desa takut nanti pindah justru tidak betah, apalagi Ndoro Putri tidak ada yang menjaga.
”Kan ada si Aden?”.
”Aden kerja Mbak..”. Jawab sendu Ajeng.
”Emangnya kerja dimana? enggak pulang opo?”.
”Kerja di kota mbak, terus tinggal disana karena memang ada rumah disana”.
”Yaelah, desa ke kota kan enggak jauh, ngapa gak tinggal disini”.
Ajeng hanya tersenyum seperti menutupi sesuatu, aku terdiam kemudian menepuk pundaknya sebagai tanda pemberi semangat.
Kami sampai di depan rumah Ndoro Putri tapi langkahku berhenti, Ajeng kemudian menatapku sekilas lalu sama-sama memerhatikan mobil di depan kami yang warnanya putih seperti mobil Alsan.
Ajeng langsung masuk rumah dan berteriak, “Aden pulang!!!”. Aku hanya terdiam menatap Ajeng berlari karena aku tak boleh masuk rumah utama. Aku kembali melanjutkan berjalan lewat samping rumah menuju kamar dan bergegas mandi karena setelah itu aku harus siap-siap menyiapkan makan malam.
Suasana dapur begitu sibuk tidak seperti biasanya, ternyata kata Kepala pelayan jika anak Ndoro Putri pulang pasti menyuruh semua pelayan untuk memasak apa yang ada. Aku pun kemudian mengangkut makanan yang sudah siap menuju meja makan kemudian menyusunnya. Setelah makanan siap, Ajeng langsung memanggil Ndoro Putri beserta anaknya. Aku pun langsung berdiri di sudut sembari menunduk, takut tiba-tiba Ndoro Putri butuh sesuatu karena kata Ajeng jika ada anaknya harus ada dua pelayan menunggu mereka.
“Alamanda?”. Panggil seseorang lirih.
Aku menaikkan kepalaku untuk menatap ke arahnya yang berdiri di depanku. Suara seorang laki-laki, bertubuh tinggi dengan senyum begitu manis seperti bulan sabit.