“Mbak Al pasti cuci muka pakek air cucian beras ya?”. Tanya Ajeng saat aku sedang mencuci muka di belakang dapur dengan kawanan ayam menatapku heran.
“Iya jeng”. Jawabku kemudian masuk dapur tanpa mengelap wajah.
”Pingin kayak Mbak Al, tapi enakan pakek sabun muka, ada sabun muka yang aku pingin, temenku bersih banget pake itu”.
“Kebiasaan anak sekolah itu gitu, liat temennya pake apa terus cantik jadi ikutan, nanti liat temen pake apa lagi jadi ikutan lagi, kalau kamu sering gonti-ganti skincare tanpa berfikir, nantinya muncul jerawat dan pastinya nyesel”. Ujarku sembari memasak nasi di atas perapian.
“Mbak Al paham gitu”.
“Karena mbak pernah berada diusiamu”.
“Iya mbak, Ajeng gak pake apa-apa kecuali bedak tabur”.
“Yang penting kalau sudah cocok dengan satu hal jangan coba-coba yang lain”.
“Siap mbak”. Jawabnya sembari mengancungkan jempol.
Seperti biasa setiap pagi selama disini aku membantu memasak, sedangkan Ajeng beres-beres rumah. Aku biasanya selalu menyempatkan diri untuk sarapan walau hanya minum teh hangat atau dengan ubi rebus. Pagi ini aku mengantarkan Ajeng sekolah dengan sepeda yang baru dipinjamkan Joko, kami menyelusuri pedesaan dengan pemandangan ibu-ibu sedang menyapu halaman, bahkan anak-anak sekolah yang sedang berjalan menggoda orang asing, anak-anak disini juga pandai berbahasa inggris mengalahi aku saja, tapi memang lingkungan pasti menentukan seseorang berkembang.
Kicau burung bersembunyi di atas pohon seperti ikut menyambut perjalanan kami. Kami berbincang sepanjang perjalanan sembari menyapa warga desa hingga sampai di sekolah Ajeng.
”Mbak Al..”. Sapa teman-teman Ajeng yang aku balas dengan sapaan hangat. ”Iya..”.
Sebuah sekolah yang berada di pedesaan tak semewah seperti di kota, lahannya benar-benar masih tanah, temboknya juga bercampur cat tanah akibat terkena rintikan hujan, namun yang membuat sekolah ini tampak sejuk karena pepohonan tumbuh rindang di sekitar area sekolah.
”Mbak Al hati-hati pulangnya”. Ujar Ajeng lalu mencium tanganku.
”Kamu sekolah yang bener”.
Ajeng mengangguk lalu berlari dengan senangnya mengikuti teman-temannya. Aku menggelengkan kepalaku kemudian bersepeda kembali menuju rumah Bude Rol.
“Selamat pagi Mbak Al”. Sapa Joko saat aku menikung menuju rumah Bude Rol.
“Pagi juga Joko”.
“Jaka loh Mbak”.
Aku hanya tertawa mendengarnya. “Jangan panggil mbak, kan kita seumuran”.
“Biar lebih sopan aja mbak”.
“Hai Alamanda”. Sapa seorang laki-laki didepanku saat sedang memakirkan sepeda dekat pendopo.
“Iya Aden”. Jawabku sedikit menunduk.
“Jangan panggil Aden, panggil saja kakak”.
Aku hanya tersenyum kemudian permisi melanjutkan perjalanan menuju pendopo.
Dia adalah anak Ndoro Putri namanya Adrian yang semalam juga menyapaku, wajahnya tampan dengan tubuh tegap tinggi. Adrian mengetahui namaku dari Ajeng saat menanyakan tentangku ketika mempersiapkan makan malam semalam. Aku sangat terkejut sebelumnya, tapi kata Ajeng memang begitu karakter Adrian. Ia sedang libur jadinya pulang.
“Halo Mbak Al”. Sapa Anak-anak saat aku baru sampai di pendopo bersama Joko.
“Halo juga”. Jawabku sembari tersenyum melepaskan sandal dan meletakkan tas.
Aku duduk berlipat di depan gawangan dan menyiapkan alat membatik.
“Aden memang suka gitu, suka godain perempuan, tapi sebenarnya baik kok”. Ujar Trisna duduk disampingku membantu menyiapkan alat dan bahan.
“Apa dia juga seperti itu sama kamu?”.
“Dia gak hanya seperti itu kepada kita, tapi juga sama ibu-ibu”. Jawab Trisna sembari tersenyum.
Sejenak aku menatap Adrian, mungkin karakternya sama dengan Andi dan Genta, ramah dengan siapa saja.
Aku menyiapkan peralatan membatik seperti kain, canting, lilin malam, pemanas, dan pewarna batik, tentunya ada gawangan di depanku sebagai penyangga kain. Bude Rol datang dan duduk disampingku mengajariku membatik, beliau menyuruhku mencairkan lilin malam dulu sebagai bahan untuk menahan warna batik masuk ke dalam serat kain. Pewarna batik sendiri berasal dari akar, kulit, dan daun tanaman, seperti serabut kelapa yang menghasilkan warna coklat.
Bude Rol mengajariku dengan sabar, mengingat jemariku yang panjang tapi tidak lentik, ini cukup membuat lukisan batikku sedikit kacau, tapi Bude Rol tidak marah sama sekali justru tertawa terutama anak-anak yang suka menggodaku. Bapak-bapak disini juga suka bercanda sembari mengangkut dan menjemur kain batik.
Aku baru lima hari disini, tetapi banyak hal yang sudah aku pelajari. Orang Indonesia itu memang terkenal ramah dan hangat, jika kau temui beberapa culas mungkin orang itu kurang piknik atau lebih tepatnya kurang teman. Kehidupan disini tak kalah dengan di rumah, cuma bedanya disini lebih ramai. Kami juga tidak bekerja terlalu keras, sekitar jam sepuluhan pasti kami menikmati gorengan dan jajanan pasar. Setiap sudah menjelang siang pasti nenek menelepon. Saling bertukar kabar dan nenek ingin mendengar ceritaku selama liburan.
Orang-orang sedang membicarakan tentang pagelaran seni akhir bulan nanti sebagai salah satu kegiatan acara liburan tahunan yang sudah berlangsung dua bulan ini. Kegiatan ini diharapkan mampu membuat para pemuda desa tetap mencintai seni dan budaya ditengah hiruk piruk budaya asing masuk. Kegiatan ini juga mampu menjalin silaturahmi antar warga desa dengan orang pendatang.
“Al mau buat apa?”. Tanya Bude Rol.
“Al pingin buat selendang dengan gambar bunga alamanda”.
“Mentang-mentang namanya alamanda jadi gambar bunga alamanda, yo dah nanti dipamerin ya”.
“Baru belajar pola bude”.
“Pasti bisa”. Bude Rol menepuk sekilas pundakku kemudian pergi.
Aku kembali melanjutkan belajar membatik. Sebenarnya selendang ini nantinya untuk kenang-kenanganku sebagai kain batik pertamaku tapi karena Bude Rol yang meminta jadi tidak enak hati.
“Al”. Panggil Bude Rol kembali.
“Kenapa bude?”. Jawabku menghentikan membatik dan menghampiri beliau yang berdiri di pinggiran pendopo.
“Kamu acara nanti, main gamelan ya?”.
“Iya bude”.
“Kamu bantuin beres-beres stan batik ya sebelumnya”.
“Njeh Bude”.
Aku kembali duduk dan melanjutkan membatik, Sanggar Bude Rol sedang mengejar waktu untuk mempersembahkan kain batik sebaik mungkin demi membanggakan seni dan budaya negeri sendiri. Tidak hanya di Sanggar Bude Rol, sanggar lainnya juga ikut sibuk bahkan para warga yang hanya bekerja sebagai petani sibuk mempercantik pekarangan depan rumah dengan tanaman hias dan berbagai kerajinan tangan yang terbuat dari pewarna dicampur air kemudian dimasukkan dalam ukuran plastik es balon kemudian digantung di pohon. Sungguh cantik sekali, tanpa permintaan pasti warga disini selalu antusias dalam menyambut acara apapun di desa.
Waktu yang dihabiskan untuk hal yang bermanfaat selalu tak terasa, senja mulai menampakkan diri seakan sudah menyuruhku pulang. Aku beres-beres dan pamit pulang.
”Duluan ya semuanya, terima kasih untuk hari ini”.
”Hati-hati Al, terima kasih juga atas kerja kerasanya”. Sahut Bude Rol.
Saat aku sedang jalan keluar, aku berpapasan dengan Joko. “Mbak Al hati-hati, kalau ada semut minggir”. Ujarnya sembari tertawa.
Aku hanya membalas dengan senyuman lalu melajukan sepeda.
Saat aku sedang bersepeda, tiba-tiba suara bel sepeda dari belakang berbunyi.
Kringggg… Kringggg..
Aku kemudian minggir, padahal sudah berada di pinggir jalan. Bel sepeda kembali berbunyi. Aku kembali sedikit meminggirkan sepedaku dan sekali lagi bel sepeda berbunyi, sontak aku berhenti dan menengok kebelakang, ternyata Adrian yang sedari tadi bermain bel sepeda. Adrian meringis begitu senang menunjukkan barisan giginya yang rapih.
“Aden ini jalanan bukan lapangan”. Keluhku masih bersikap sopan.
“Alamanda ini jalanan bukan tempat melamun”.
Aku hanya diam dan Adrian kembali melajukan sepeda.
Aku juga ikutan melajukan sepeda dan fokus tetap berada di belakangnya. Adrian sedari tadi juga menyapa para warga, aku pun juga begitu. Sesekali dia menengok ke belakang sembari tersenyum dan aku tetap memasang wajah acuhku. Aku merasakan atmosfir tidak enak dengannya, sikapnya mulai mengesalkan, orang seperti dia pasti akan kecanduan menggangguku, tapi mungkin dia seperti itu agar lebih dekat denganku.
Kami berpisah di depan Rumah Ndoro Putri, dia terus melajukan sepeda menuju jalan persawahan. Biasanya aku langsung menuju ke dapur untuk membantu memasak, tapi sore ini aku ingin istirahat sejenak di kamar. Aku terkejut mendapati Ajeng sedang berdiri di kamar memilih baju di lemari.
”Ajeng..”.
”Mbak Al sudah pulang?”.
”Kamu gak latihan nari?”.
”Mbak Al juga gak latihan nari?”.
”Aku kecapekan jadinya pulang”. Jawabku sembari duduk di tempat tidur.
”Yaah Mbak Al kezel, padahal mau aku ajak ke kota sama Aden”.
”Seriusan?”. Tanyaku langsung berdiri.
”Iya Mbak Al, kalau mau sekarang mandi”.
Aku langsung berdiri dan bergegas untuk mandi.
”Semangat bener Mbak Al”.
”Mau ketemu pangeran”. Jawabku yang langsung berjalan cepat menuju kamar mandi setelah mengambil peralatan mandi.
Aku dan Ajeng sudah siap untuk pergi, kami menunggu dekat mobil Adrian. Rencananya malam ini kami akan di Malioboro. Perasaanku benar-benar gementar, sedari tadi memegangi tali tas yang aku selempangkan.
”Mbak Al segitu deg-degannya?”. Ledek Ajeng.
”Akhirnya pergi ke kota”. Jawabku tersenyum menutupi rasa gugup.
”Emangnya pangeran Mbak Al di Jogja, kan Mbak Al baru pertama kali ke Jogja”.
”Dia dulu kuliah di Semarang, tapi katanya sekarang kerja di Jogja”.
”Emangnya Mbak Al gak komunikasi gitu?”.
”Semua sudah siap?”. Tiba-tiba Adrian datang dan menghidupkan mobil dengan remot ditangannya.
”Sudah Den..”.
Aku dan Ajeng langsung duduk di kursi belakang.
“Kok berasa aku jadi supir..”.
”Maaf Den, terus gimana, Mbak Al bisa nyupir?”.
Aku hanya menggeleng dan Adrian tertawa. “Tenang saja, yuk kita berangkat jangan lupa berdoa”.
Mobil melaju dan meninggalkan desa.
”Ternyata kalau mau ke kota, jalanannya gelep banget”. Ujarku memecahkan keheningan.
”Makanya Aden ngelarang keluar malam”. Sahut Ajeng.
Tak lama memasuki daerah perkotaan, aku melihat Tugu Jogja. Tugu yang terlihat lebih indah dari foto, tugu yang dominan berwarna putih dengan pucaknya berwarna emas. Katanya kalau belum foto di tugu berarti belum ke Jogja.
“Indah bukan?”. Tanya Adrian yang mengingatkanku pada Alsan bahkan cara pengucapannya.
“Bagus dong”. Jawab Ajeng.
”Ajeng tau kan cerita tugu ini?”.
”Tau dong kan pasti ada di pelajaran sekolah, jadi Tugu Jogja ini biasa disebut Tugu Putih, Tugu ini pertama kali dibuat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I namun bangunannya tidak seperti ini, awalnya tugu ini berbentuk Golong-Gilig, dimana tiang dari tugu ini berbentuk Gilig yaitu silinder dan puncaknya berbentuk Golong yaitu bulat, dan mempunyai tinggi mencapai 25 meter. Karena Jogja mengalami gempa hebat sehingga bangunan tugu ini rusak dan direnovasi kembali oleh Pemerintahan Belanda, namun bagian puncak tugu tidak lagi bulat tapi kerucut yang runcing seperti sekarang dan tugu ini diresmikan kembali oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII”.
“Anak hebat”. Puji Adrian sembari tersenyum.
Aku baru menyadarinya pelajaran sejarah itu memang sangat penting, lebih penting dari kenangan dengan mantan..
Kami memakirkan mobil di Mal Malioboro lalu berjalan kaki untuk menuju sebuah toko batik milik Ndoro Putri.
”Dimana Ragil?”. Tanya Adrian kepada penjaga toko saat kami memasukinya.
”Baru aja pergi mas, katanya ada acara di TBY”.
”Baiklah”.
Adrian memalingkan tubuhnya menghadap aku dan Ajeng. “Sekarang kita pulang aja”.
Hatiku hancur mendengarnya, apakah Adrian sudah gila? Apakah kepergian kami hanya sekedar numpang lewat? Mungkin ini hanya perjalanan biasa baginya tapi bagiku tidak.