Catatan Akhir Kuliah – Part 24

Hari ini kegiatan membatik berlangsung cepat. Aku pulang sebentar ke rumah karena ponselku ketinggalan. Suasana rumah Ndoro Putri mulai ramai orang-orang sedang membuat janur kuning. Aku berjalan sampai kamar tidak berhenti menyapa. Aku tak pernah melakukan ini kecuali di Jogja.

“Ajeng..”. Panggilku lirih dan Ajeng langsung membalikkan tubuhnya ke arahku. Dia mengusap wajahnya. Ajeng kemudian permisi keluar karena harus latihan menari.

Ajeng terlihat baru saja menangis, aku pikir orang seceria Ajeng tidak mungkin memiliki masalah dan dia cukup pintar untuk menyembunyikannya. Ketika seseorang sedang bersedih dan berusaha menyembunyikannya, artinya kamu jangan tanya keadaannya sekarang dan tunggu dia tenang. Pertanyaanmu hanya akan memancing kekesalannya saja walau kau juga kesal karena penasaran apa yang sedang terjadi.

Aku mengambil ponsel dari laci nakas tapi saat aku membuka laci, aku menemukan sebuah surat, aku membuka dan membaca surat itu karena penasaran dan aku baru sadar bahwa surat ini yang membuat Ajeng sedih, lalu aku pergi kembali menuju sanggar tari.

Aku sampai di sanggar tari lalu memakirkan sepeda, sudah banyak pendatang sedang duduk menonton anak-anak menari. Aku duduk di pinggiran pendopo memberikan senyuman pada Ajeng sebagai penyemangat yang sedang menari juga dan ia tampak sudah baik-baik saja.

Ibu Ruki memandu anak-anak seperti biasanya. Sore ini tarian yang sedang ditampilkan adalah Tarian Bondan Tani. Tari Bondan Tani adalah tarian yang dinarikan oleh wanita yang menceritakan tentang sifat wanita yang begitu keibuan, seorang ibu yang mengasuh dan merawat anaknya hingga besar dengan hati-hati, digambarkan dengan penari menggendong bayi dan membawa kendi. Penari Tari Bondan Tani ini juga mengenakan capil sebagai bentuk abdi istri membantu suami di sawah, mengingat desa yang aku tempati sebenarnya sebagian besar pekerjaannya adalah petani.

Para pendatang bertepuk tangan meriah saat anak-anak selesai menunjukkan penampilannya, tarian ini pun memiliki gerakan yang tidak terlalu sulit, tapi tetap saja aku sulit mempelajarinya. Aku ikut bertepuk tangan sembari bersorak karena senangnya.

Ibu Ruki memanggilku untuk latihan nari di sanggar satunya, aku meletakkan tasku dan menyiapkan selendang yang aku ikat di pinggang. Kami mulai melakukan pemanasan terlebih dahulu, aku senang rasanya karena sekarang berdiri di samping wanita dari Pakistan, ia sangat cantik dan ramah. Bahasa inggrisku memang hancur, tetapi kata-kataku yang kacau sepertinya dipahami olehnya.

“Mbak Al main yok”. Ajak anak-anak kecil dibelakangku. Aku pun mengambil ancang-ancang untuk kabur agar bermain bersama di pekarangan kosong seperti biasanya. Aku pun langsung kabur bersama anak-anak.
“Mbak Al!!!”. Teriak Ajeng dan aku tetap berlari.

Semenjak disini aku jadi bandel, padahal belajar menari itu bagus dan sehat untuk tubuh. Anak-anak disini bermain congklak, ingkling, gobak sodor, dan lompat karet. Ada juga anak laki-laki bermain sepak bola. Aku ikut bermain ingkling, anak-anak sering mengeluhkan karena kakiku yang panjang dan selalu menang. Aku hanya tetap pura-pura gila dan sesekali mengalah. Aku juga suka bermain cublak-cublak suweng, cublak-cublak suweng adalah permainan dengan cara seorang anak tengkurap dan masing-masing kami meletakkan satu tangan diatas punggungnya kemudian bernyanyi cublak-cublak suweng sembari memutar batu. Setelah lagu selesai dinyanyikan, si tengkurap harus menebak siapa yang memegang batu, jika dia kalah dia harus kembali tengkurap. Aku senang sekali bermain tradisional ini yang sudah sulit aku didapatkan di kota, padahal permainan seperti ini tak akan membuat mata rusak atau kurang bersosialisasi yang mengakibatkan kepribadian kurang terbuka.

Tawa mereka begitu renyah seperti kerupuk dan tingkah mereka benar-benar masih lugu. Anak-anak yang masih suka bermain kotor bahkan tidak takut berkeringat. Kecilku dulu juga begitu. Permainan ini tidak hanya arti masa kecil yang bahagia, tetapi menjalin rasa kerjasama lebih kuat. Pribadi yang sering bersosialisasi nyatanya lebih cepat diterima masyarakat.

Anak-anak juga sering meminta bantuanku tentang PR sekolah, setidaknya pelajaran anak sekolah masih bisa aku pahami kecuali matematika yang rumit. Ajeng kemudian datang dan mengajakku pulang. Anak-anak juga harus pulang karena senja sudah mulai hilang dan mereka harus mandi. Aku dan Ajeng pulang lewat belakang melewati persawahan sembari menikmati senja. Senja adalah hal terbaik dari lelahnya seharian beraktivitas.

”Rasanya hangat sekali lewat sawah gini..”.
”Mbak Al kayak gak pernah lewat sawah..”.
”Pernah kok..”. Jawabku malu sembari mengingat Alsan.

”Mbak Al maaf ya semalem gak jadi nemuin pangerannya”. Ucap Ajeng penuh sendu.
”Gak apa-apa belum waktunya”.
”Ndoro Putri lagi sakit dan nyariin Den Ragil, itu tujuan utama Den Adrian”.
”Emangnya gak bisa dihubungi anaknya Jeng”.
Ajeng hanya menggeleng

¤¤¤¤

Ayam berkokok seperti biasa di subuh ini. Aku membuka jendela kamar dengan senangnya sembari melihat pemandangan persawahan. Aku menghirup udara segar dan menikmati angin menyapu wajahku, aku menutup mataku sejenak kemudian membukanya dan melihat sebagian petani sudah berjalan di pagi buta, bapak-bapak mengenakan capil dengan cangkul di pundaknya atau ada juga petani menggendong tangki di punggungnya yang akan melakukan penyemprotan.

Hari ini hari sabtu, traktat sudah mulai di pasang di pelataran rumah Ndoro Putri untuk penampilan seni dan budaya nanti malam. Pagi ini aku menyapu karena hari ini banyak ibu-ibu sudah datang untuk membantu memasak. Setelah selesai menyapu dan cahaya matahari mulai terlihat, aku bergegas mandi kemudian bersiap-siap membantu Bude Rol. Hari ini aku mengenakan kaos putih bertuliskan ‘Budayawan’, rasanya senang sekali menjadi salah satu bagian dalam acara ini, ikut berperan dan bermain seni di dalamnya. Semoga disegerakan memang menjadi seorang budayawan.

“Bude Rol dirumah?”. Tanyaku heran pada Bude Rol saat sampai Pendopo.
“Ya di rumah Al, memang bude mau kemana lagi?”. Tanyanya balik sembari melipat kain batik.
“Aku pikir Bude Rol ke sekolah Ajeng”.
“Emangnya ada apa di sekolah Ajeng?”. Tanya Bude Rol menatapku.
“Ajeng kan ada lomba cerdas cermat yang diikuti wali murid”.

Bude Rol langsung menghentikan pekerjaannya, ”Dia gak ngomong sama Bude”.
”Kalau gitu Al yang kesana”. Ujarku kemudian berjalan ke parkiran sepeda.
”Al..”. Panggil Bude yang aku abaikan.

Aku tahu Ajeng tak ingin bilang karena desa sedang sibuk-sibuknya. Ajeng hanya memiliki Pak Toto sebagai bapaknya, sedangkan ibunya sudah lama meninggal. Bude Rol adalah adik Pak Toto. Bude Rol adalah yang selama ini menggantikan peran Pak Toto untuk menjaga Ajeng. Aku yakin Ajeng pasti sendirian diantara teman-temannya. Aku mengayuh sepeda dengan kuat tanpa peduli jalanan yang masih sedikit bebatuan.

Aku sampai di halaman sekolah Ajeng dan berusaha mengatur nafas. Aku tidak peduli bahkan sekarang rambutku berantakan karena tidak diikat. Aku berjalan menuju kelas dengan nafas masih tersengal-sengal. Aku melihat Ajeng duduk di nomor dua, duduk sendirian tanpa wali disampingnya seperti yang lain. Aku hanya melihatnya dari belakang, aku tidak ingin langsung menghampirinya karena ingin membuat sedikit kejutan.

”Babak pertama yaitu jawaban rebutan”. Ujar seorang guru yang berdiri disebelahku saat aku bertanya. Jawaban rebutan ini nantinya hanya memilih 10 orang wali murid untuk diadu kembali. Pertanyaan pertama untuk babak pertama ini para wali murid belum bisa menjawab karena jawabannya dihitung hanya 10 detik setelah mengancungkan tangan dan aku bersyukur belum terlambat untuk datang. Kini sudah ada tiga orang wali murid yang sudah berada di depan menepati kursi dan meja yang sudah disiapkan sendiri-sendiri. Aku harus menjadi 10 diantara mereka untuk menyenangkan Ajeng.

“Apa tarian daerah Indonesia yang paling terkenal?”.
Aku mengangkat tangan dan kalah cepat dengan seorang ibu, selama mengangkat tangan, kami dilarang sembari bicara selama belum ditunjuk. Jawaban ibu tersebut adalah Tari Saman, masih banyak sebenarnya tapi yang paling sering ditampilkan memang Tari Saman.

“Siapa Bapak Pendidikan Indonesia?”.
Aku langsung mengangkat tanganku kembali dan kalah lagi dengan seorang ibu yang tetap mengangkat tangannya dengan ekspresi wajah memaksa, layaknya seorang ibu meminta uang bulanan pada anak kosan. “Ki Hajar Dewantara”. Jawabnya dan benar tentunya, beliau langsung berdiri sembari berjoget-joget ria, sontak guru dan wali murid lainnya dibuat tertawa. Aku masih melihat Ajeng diam tak berkutik di tempat duduknya.

“Apa hama padi?”.
“Tikus!!!”. Teriak seorang bapak membuat kami tertawa karena terkejut belum ditunjuk. Sayangnya beliau tidak mengangkat tangan dan dianggap gugur. Seorang ibu yang lainnya mampu menjawab lain, yaitu wereng. Aku tidak boleh kalah dengan ibu-ibu, akhirnya yang tadinya aku berdiri di belakang jadi duduk diantara wali murid di tengah, bahkan aku tak peduli dimarahi jika ini demi Ajeng.

“Apa judul buku kartini?”.
Semuanya masih bersemangat mengangkat tangan, aku pun juga. Kami sudah semangat sekali menjelang detik-detik terakhir. Pemandu acara masih sibuk mencari hingga menunjuk seorang anak muda yang merupakan wali murid, dia adalah kakak sang murid dan jawabannya membuat kami tertawa. “Walau habis terang”.
“Ya Allah cah enom kok ora reti, koyo ngono kok lulus sekolah”. Celetuk seorang bapak.
“Habis gelap terbitlah terang”. Jawab seorang ibu dan semangat maju ke depan. Beliau pun sempat meledek anak muda yang menjawab tadi. “Eh bocah, kui ki lagunya peterpan. Aku wong tua yo ngikuti jaman tapi ora lali karo sejarah”.
Anak muda tersebut tampak sangat malu. Aku sangat kasihan sebenarnya, tetapi anak muda itu justru tertawa membalas ledekan. “Yang muda ngalah sama yang tua”. Sontak semua ibu-ibu bersorak padanya. “Wuuuu”. Kegiatan lomba ini sungguh menghibur sekali.

“Baik ibu-ibu,bapak-bapak, mari kita lanjutkan pertanyaan berikutnya. Siapa pembalap motor Indonesia?”.
Sekali lagi aku kalah cepat dengan seorang ibu dan jawabannya membuat semua orang tertawa melebihi sebelumnya, jawabannya adalah Boy.
“Keokehan nonton sinetron yo ngono”. Ledek seorang bapak. Ibu tersebut hanya mengerucutkan bibirnya dan seorang bapak yang ditunjuk tadi diminta disuruh menjawab, dan jawabannya benar, yaitu Rio. Aku senang bukan ibu-ibu lagi yang menjawab.

“Apa serat tanaman yang menjadi kain termahal?”.
Aku langsung mengangkat tangan dan hanya aku yang mengangkat tangan. Pembawa acara langsung menunjukku. “Jawabannya apa mbak?”.
“Lotus!!!”. Jawabku lantang dan Ajeng langsung menengok ke arahku, aku dapat merasakannya walau tak memandangnya.

Aku langsung berdiri tanpa memandang Ajeng dan duduk di depan. Aku berkata bahwa aku wali Ajeng. Ajeng yang sedari tadi aku lihat menekuk wajahnya kini bersinar dengan senyum khasnya yang manis kepadaku. Para wali murid pun tampak mengangguk karena nampak seperti baru tahu bahwa serat lotus dapat dijadikan kain.

“Baik, ini adalah pertanyaan terakhir”. Ujar pemandu acara. Semua orang sudah bersiap-siap dengan tangan diangkat setengah. Mata mereka memunculkan saringga yang siap menyerang.
“Sebutkan lambang masing-masing sila pancasila?”.
Semua orang terdiam, menurunkan tangannya. Mereka kemudian duduk pasrah, bahkan ada yang kemudian sibuk bermain ponsel. Seorang ibu kemudian mengangkat tangannya dan menggoyangkan tangannya sehinggu menimbulkan suara nyaring dari pergelangan tangannya yang penuh dengan gelang emas. Ibu tersebut kemudian ditunjuk untuk menjawab.
“Duh panas yaa disini”. Keluhnya sebelum menjawab pertanyaan sembari mengibaskan anakan rambut di wajahnya yang membuat terfokus pada cincin yang berkilau itu.
“Kalau tau panas cepet jawab, jangan kelamaan”. Celetuk seorang ibu dengan kesal.
“Baiklah.., sila pertama berlambang bintang, sila kedua berlambang rantai, sila ketiga berlambang pohon beringin, sila keempat berlambang banteng, dan terakhir sila kelima berlambang padi dan kapas”. Cara jawabnya yang pelan seperti dongeng sebelum tidur bagiku membuat mengantuk sebenarnya.

”Benar, silahkan maju Bu..”.
Ibu tersebut maju dan duduk di kursi sebelahku sembari kipas-kipas tangan. Kalau orang kaya itu bebas mau sombong.

Kami diberi waktu istirahat lima menit sebelum memulai babak berikutnya. Aku melihat Ajeng sejenak, bibirnya berkata terima kasih dan aku hanya mengancungkan jempol. Aku melihat dinding-dinding kelas. Selain ada gambar presiden dan wakil presiden, ternyata ada gambar pancasila beserta lambangnya.
“Hmmm pantes bisa jawab, pasti efek emasnya yang berkilau jadi bisa lihat tulisan di dinding”. Pikirku dalam hati.

Aku diajak ngobrol oleh si ibu emas, ibunya ramah tapi sombong, sedari tadi membicarakan anak-anaknya yang sudah sukses. Orang tua boleh membanggakan anaknya tapi jangan berlebihan, akan lebih terhormat lagi orang lain tahu dari orang lain sebenarnya.

Babak kedua segera dimulai, sudah ada bel berupa triangle di depan kami beserta kertas dan pena untuk coretan. Triangle ini mengingatkanku pada Alsan. Babak kedua baru dimulai, pertanyaan demi pertanyaan mulai bisa aku jawab, semua tentang pelajaran anak sekolah. Pertanyaan matematika membuatku menyerah, apalagi pertanyaan melempar dadu dan koin yang harus menebak berapa atau gambar apa yang muncul.

Aku masuk tiga besar tanpa disangka dengan otak yang pintarnya sederhana. Aku, si ibu emas, dan seorang ibu paruh baya dengan wajah menenangkan masuk tiga besar. Aku duduk diantara mereka berdua berhadapan dengan juri. Rasanya ngalahin sidang skripsi. Maaf selama didesa ini dilarang berbicara skripsi.

Hal tak terduga terjadi, aku masuk dua besar bersama seorang ibu berwajah menenangkan. Ibu emas tadi kalah karena tidak bisa menjawab pertanyaan apa kepanjangan Monas, padahal skor kami bertiga beda tipis. Aku dan ibu berwajah menenangkan ini kemudian berbincang tetapi beliau berbeda, tak ada keramahan dan hanya aku terus yang mengajak berbincang, aku pun lelah bertanya dan fokus ke depan.

Babak terakhir pun dimulai. Ini beneran rebutan. Baru kali ini aku melakukan sesuatu hal sesemangat ini, terakhir juga lomba agustusan yang paling buat semangat tapi ikut lombanya saja sekolah, waktu kuliah ya cuma jadi penonton saja. Pertanyaan demi pertanyaan pun akhirnya dilayangkan. Aku benar-benar tidak memikirkan bahwa sebelahku ini adalah seorang ibu dan harus di hormati. Pokoknya aku main jawab saja tidak peduli itu benar atau salah.

Aku sangat bersemangat sekali hingga akhirnya aku pun kalah. Aku kalah dengan pertanyaan yang mudah tapi tidak mampu menjawab. Aku hanya melipat wajahku pasrah menerima hadiah sebagai pemenang kedua. Ajeng hanya menggelengkan kepalanya saat aku menerima hadiah. Aku pun berjalan pelan menuruni panggung dan ibu berwajah lembut menghampiriku. “Sebenarnya ibu hanya kasihan padamu, tapi lama-lama ibu lupa bahwa kamu tidak sepintar itu”.

Duuuh sakiiit.. cuma gara-gara pertanyaan mudah dan umum ya aku gak bisa jawab..

Aku hanya diam melihat ibu berwajah menenangkan berlalu. Aku duduk disamping Ajeng dan Ajeng hanya berdecak. Ajeng kemudian menunjukkan sesuatu di depan wajahku, ternyata ingin aku menatap ke arah panggung. Ajeng menunjuk seorang gadis muda yang akan bernyanyi sebagai penutup acara ini. Dia pun mulai bernyanyi saat penonton sudah mulai diam.

Tanah airku tidak ku lupakan..
Kan terkenang selama hidupku..
Biarpun saya pergi jauh..
Tidak kan hilang dari kalbu..
Tanahku yang ku cintai..
Engkau ku hargai..

Walaupun banyak negeri ku jalani..
Yang masyhur permai dikata orang..
Tetapi kampung dan rumahku..
Di sanalah ku rasa senang..
Tanahku tak kulupakan..
Engkau ku banggakan..

Suara lembut nan tegas melantunkan lagu Tanah Airku menghilangkan rasa kesalku akan sesuatu yang kupikir, ‘Cuma kayak gitu aja gak tau’. Aku mendengarkan suaranya yang diiringi alat musik angklung. Bulu kudukku sampai merinding. Aku baru sadar akan satu hal tentang negeriku, selama ini aku hanya bersantai dan tak sadar bahwa tak hanya pemandangan atau seni budayanya yang luar biasa, tetapi keakraban dan keramahan masyarakat yang menjadi tolak ukur bahwa negeri itu lebih dari kaya dari hanya sekedar memiliki bangunan yang menjulang tinggi.

“Indah bukan?”. Tanyaku pada Ajeng dan Ajeng mengangguk sembari tersenyum.
Kami bertepuk tangan meriah setelah gadis muda ini bernyanyi, tanpa sadar mataku pun berkaca. Semenjak aku datang ke desa ini pun banyak hal baru yang aku dapatkan. Suatu hari nanti aku ingin belajar budaya lain selain budaya Jawa.

“Mbak Al piye toh, masak dewi sri gak tau artinya, mbak kan orang pertanian”. Keluh Ajeng saat kami berjalan menuju pulang melewati persawahan dengan piala di tangan kirinya beserta hadiah di tangan kanannya yang dibungkus kertas berwarna coklat. Aku menuntun sepeda yang tidak tahu tiba-tiba bocor saat di parkiran sekolah.
“Aku cuma lupa Jeng”. Jawabku malas.
“Desa ini namanya Dewi Sri karena pertaniannya”.
“Aku pikir karena seni dan budayanya”.
“Uduk mbak, seni dan budaya itu kan memang warisan Indonesia yang harus tetap dilestarikan. Mbak Al, kalau pingin tahu arti Dewi Sri nanti malam tonton pagelarannya. Tiga tahun kami pasti menampilkannya untuk mengingat bagaimana subur dan makmurnya tanah kita”.

“Mbak Al!!!”. Panggil seseorang dari arah sungai. Aku dan Ajeng berjalan menuju sumber suara dan ternyata Joko sedang memandikan kerbau di sungai.
“Kok aku orak disapa?”. Keluh Ajeng yang membuatku tersenyum.
“Yeee, aku mah sapa cewek cantik dong, habisnya kalian berdua ribut gak sadar aku disini”.
“Kami gak ribut cuma berdebat saja”. Sanggah Ajeng. “Tauk sih Mbak Al cantik”. Lanjutnya dengan wajah jelas kesal.
“Ya aku kan gak nyapa yang manis”.
Jawaban Joko membuat Ajeng terdiam.

“Wah sungainya bagus, ada batu-batu besar!!!”. Aku langsung memakirkan sepeda dan melepaskan sepatu dan melompat ke sungai.
“Mbak Al hati-hati!!!”. Teriak kompak Joko dan Ajeng. Aku hanya tersenyum merasakan kakiku yang sudah tergenang air. Aku berjalan menyusul Joko sedang memandikan kerbau. Aku bahkan membantu Joko menyiramkan air dengan kedua tangan di tubuh kerbau. Aku juga menyiramkan air pada Joko. Joko tak membalasnya, tetapi Ajeng menyiramku dari belakang. Akhirnya kami bermain bersama, bahkan aku sampai naik diatas kerbau dan memeluknya. Ajeng dan Joko saling melempar air. Aku kemudian turun dari tubuh kerbau dan menaiki batu besar.

“Alsan!!! Gue kangen begok!!!”. Teriakku.
Ajeng dan Joko hanya menatapku bingung. Entahlah urat maluku sudah putus atau kebanyakan baca novel cinta, tapi yang jelas mereka tidak kenal Alsan.
“Alsan sapa mbak?”. Tanya Joko.
“Pangeranku”.
Kami kemudian tertawa bersama dan mereka mulai menggodaku. “Cieeee”.

Aku kembali berteriak tentang Pak Widodo. “Pak saya mau cepet wisuda, kalau nunggu bapak punya anak lagi, lama!!!”.
“Pak lulus nanti apa sekarang juga tetep jadi pengangguran”. Sanggah Joko.
“Ah Jokooo!!!!”. Teriakku kesal dan Joko tertawa kemudian melemparkan air ke Ajeng.

Saat aku memandang mereka, tiba-tiba kakiku kram ketika akan digerakkan, rasanya kakiku benar-benar sakit. Aku menahan sakitnya dengan masih senyum pada Ajeng dan Joko, tapi tiba-tiba saat aku mencoba menggerakkan kakiku kembali justru aku terpleset dan karena kakiku yang sakit tak mampu menahannya, aku pun terjatuh dan kepalaku membentur batu yang lain. Aku sempat mendengar Ajeng dan Joko berteriak memanggil namaku, tapi suara itu lama-lama hilang bersamaan dengan alam sadarku.