Catatan Akhir Kuliah – Part 4

Semalaman aku penasaran dengan surat Alsan yang membuatku sampai tertidur setelah menghitungi jumlah anak domba dalam anganku. Aku terbangun bertepatan ketika ayam berkokok dan yang membuatku langsung beranjak beres-beres rumah untuk melupakan rasa penasaranku setelah shalat subuh. Begitu hidupku, bangun pagi ketika kuliah siang dan bangun siang ketika kuliah pagi.

“Al, nenek berangkat duluan, kamu jangan lupa sarapan”. Pamit nenek saat aku sedang memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci.
“Ya Nek”. Jawabku kemudian salim.

Nenek bekerja sebagai guru sekolah dasar dekat rumah dengan mengendarai motor sendiri. Nenekku memang sudah tua, tapi jiwa dan tenaga masih muda. Jangankan membawa motor sendiri, menarik pupuk yang beratnya 25kg saja masih kuat. Kata nenek, “Biasa kerja terus gak kerja itu capek”, memang berbeda denganku yang mau kerja tidak kerja tetap saja lelah.

Hari ini aku kuliah jam 10, aku bisa beres-beres rumah dengan santainya, walau ada Pak Toto tetap saja aku merasa tidak enak. Hitung-hitung belajar mandiri kalau nanti jadi istri walau belum ada calon suami.

Selesai aku mencuci piring dan mencuci baju, aku menyapu rumah. Bagian terakhir adalah menyapu teras.
“Mbak Al lagi ngapain?”. Tanya Pak Toto yang datang dari belakang kebun.
“Lagi ngopi Pak Toto”. Jawabku sembari menyapu.
“Wah hebat Mbak Al, sendoknya pake sapu”. Sahut Pak Toto sembari tertawa.

“Kalau Pak Toto lagi ngapain?”.
“Pak Toto lagi ngapelin si bunga, ketika musim hujan rambutnya rontok”.
Rontok yang dimaksud disini adalah kelopak bunga.

“Kasih minyak kelapa Pak Toto kalau rontok”.
“Si bunga gak butuh minyak kelapa Mbak”.
“Lah terus butuhnya apa Pak?”.
“Butuhnya rayuan pulau kelapa”. Jawab Pak Toto kemudian menyanyikan Lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan logat jawanya yang kental.

Melambai Lambai
Nyiur Di Pantai
Berbisik Bisik
Raja Kelana
Memuja Pulau
Nan Indah Permai
Tanah Airku
Indonesia

Aku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum mendengarkan Pak Toto bernyanyi. Pak Toto bernyanyi sembari memungut daun rontok, sesekali dia juga menggoda kodok.
“Hai pangeran, jangan hanya sekedar bersembunyi. Tunjukkan pada putri bahwa kau mencintainya”.
Aku hanya tertawa mendengarnya ketika akan masuk rumah lalu berhenti menatap Pak Toto.
“Loh Mbak Al kenapa ketawa?”.
“Ya habis tiap hari Pak Toto bilang gitu, apa hubungannya coba sama kodok?”.
“Kodok kan pangeran Mbak”.
“Kalau dia pangeran, ngapain dia bersembunyi antara bunga?”.
“Karena dia dikutuk”.
Aku kembali tertawa sembari memegang perutku. “Yo dah Pak Toto, aku mandi aja, nanti aku tambah gila sama Pak Toto”.
“Ya Mbak Al yang bersih, biar pangerannya seneng”.

Aku masuk rumah dan mengabaikan Pak Toto sembari menahan ketawa. Aku bersiap-siap berangkat kuliah setelah mandi, sarapan dan kopi pagi ini. Aku keluar dari pintu samping dan menyalami Pak Toto untuk pamit, walau tukang kebun tapi bagiku beliau seperti orang tua sendiri. Tidak ada batasan untuk kita dalam salim selama itu kita menunduk untuk orang yang lebih tua.

Aku berangkat ke kampus tapi tidak ke kampus, maksudnya mampir ke kosan Putri yang satu kosan juga dengan Angel karena waktu masuk masih lama dan kelamaan di rumah juga membosankan.

“Jam berapa ini udah siap aja?”. Tanya Angel sembari menjemur pakaian ketika aku datang.
“Kerjaan di rumah udah selesai, jadi aku langsung kesini aja”.
“Tapi kerjaan disini belum selesai Al”. Sahut Putri keluar dari kamar mandi dengan ember penuh cucian pakaian.
“Yo dah sini aku bantuin”.

Aku meletakkan tasku di kamar Putri yang berada didepanku sekarang dan membantu menjemur pakaian. Kami menjemur pakaian sembari bersenda gurau dan Angel paling jahil disini. Angel memercikan air perasan baju padaku dan Putri. Aku akhirnya menjauh dan sesekali sengaja mengibatkan pakaian kepada Angel. Suasana akhirnya pecah pagi ini, berapapun usiamu jika bertemu dengan teman-temanmu pasti akan selalu seperti anak kecil. Aku hanya tertawa melihat Angel dan Putri saling melempar air perasan baju. Aku sudah mandi, jadi mereka tidak berani banyak memercikan air padaku.

Saat kami sudah lelah dan mengatur nafas. Putri bertanya padaku saat tinggal pakaian terakhir.
“Kemarin hujan Al, jadi nyiram?”. Tanya Putri.
“Enggak, akhirnya pulang aja”.

Berbicara tentang menyiram itu sama mengingatkanku pada surat Alsan. Apa ya isinya????? Ah aku benar-benar tidak menyukai ini.

Angel dan Putri kemudian pamit mandi. Aku menunggu di gazebo atau saung yang sengaja di sediakan Ibu Kos jika ada tamu, terutama tamu laki-laki. Aku menunggu sembari membaca novel. Pikiranku kacau, aku membaca novel tapi peristiwa di kafe kemarin tidak bisa ku lupakan.

“Woii!!!.
Aku menoleh yang ternyata Andi.
“Ngelamun loh Al pagi-pagi”. Lanjut Andi kemudian duduk di pintu saung.
“Enggak ngelamun kok tapi baca novel”.
“Tulisan novel diukir dilangit bukan di kertas?”. Tanya Andi sembari menunjuk novel karena dari tadi aku menegakkan kepalaku dengan beribu pikiran.
“Iya deh”. Jawaku sendu.
“Andi ngapain kesini? Minta makan?”. Ledekku karena sudah tahu kemarin ternyata dia mengantarkan makanan.
“Bukan minta makan, tapi minta anterin kuliah”. Jawab Andi tertawa
“Loh motor kamu kemana?”.
“Ya dirumah Al”.
“Jadi kemarin kamu pulang pake motor Putri?”.
“Iya”.
Kebetulan rumah Andi tidak jauh dengan kosan Putri

“Bukannya motor kamu di kampus? Waktu ke Paragon sama Alsan?”.
Andi terdiam sejenak seperti sedang berfikir. “Kemarin kita lagi di Rumah Rico”.
“Oh”. Jawabku sembari mengangguk.

Tiba-tiba aku teringat tulisan Andi di kafe senja.
“Oh ya kemarin ada yang menarik di kafe senja”. Lanjutku dengan nada ingin Andi coba menebak.
“Apa?”.
Aku mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto tulisan Andi di mading kepada Andi.

“Oh foto ini”. Sanggah Putri.
Putri mendadak mengambil ponselku yang datangnya tak bersuara.
“Yaelah Al, ini mah nulisnya depan gue”.
“Jadi ini depan kamu nulisnya?”. Tanyaku tak percaya kemudian Putri menyerahkan ponsel padaku.
“Tapi waktu nulis gak gue liatin, dianya aja ngomong keras-keras, apa sih! Norak!”. Teriak Putri memincingkan mata pada Andi.

“Tuh kan Al, belum gue lamar aja udah di tolak duluan”.
“Ya jelas ditolak, mana ada orang lamar pake tulisan, dateng ke rumah nemuin orang tua!”. Jawab Putri sembari berjalan menuju parkiran motor.
“Jadi kalau gue kerumah bakal diterima lamarannya?”. Tanya Andi sembari berdiri dan berjalan mendekati Putri.
“Apaan sih! Ayok berangkat”.
“Al duluan”. Lanjut Putri. Ujar Putri sembari melambaikan tangan padaku.

Aku hanya tersenyum dan berucap hati-hati. Putri dan Andi berangkat kuliah duluan, Andi masih menggoda Putri dengan perkataan Putri barusan, tapi seperti biasa sikap Putri selalu sinis terhadap Andi sampai mereka di atas motor kemudian pergi.

“Ayok Al berangkat”. Ajak Angel sembari menarik lengan tas ke pundaknya. Aku dan Angel berangkat menggunakan angkot yang menempuh perjalanan hanya 10 menit.

“Al!!!”.
“Hah?”.
Angel memanggilku kuat karena ternyata aku diajak berbincang sedari tadi tapi tidak sadar.
“Loe sakit ya?”.
“Enggak”.
“Kok ngelamun terus dari tadi?”.
“Gak apa-apa Ngel”. Jawabku sembari tersenyum.
Pikiranku sedang melayang pada Surat Alsan, apa ya kira-kira isinya, setahuku Alsan bukan puitis apalagi romantis.

“Putri!!!”. Sapa Angel saat kami masuk kelas..
“Iyeee”. Jawab Putri yang masih sibuk dengan ponselnya. Aku dan Angel kemudian duduk di samping Putri.

Aktivitas yang biasa dilakukan mahasiswa sampai kampus adalah single sign on atau wifian. Jaman sekarang suasana lingkungan kampus tidak sepenuhnya sama. Dulu, pertama kali kita datang ke kampus pasti yang akan diceritakan kegiatan bangun pagi, tapi sekarang berita sosial media teraktualisasi lebih menarik.

“Loe lagi liatin apa?”. Tanya Angel.
“Berita terbaru aja”.
“Palingan juga berita tentang artis”.
“Bukan yee, gue ini lagi ngeliatin orang-orang kreatif yang mengubah suatu barang bisa punya manfaat lainnya”.
“Contohnya?”.
“Nih liatin hp gue, orang ini mengubah paralon menjadi susunan yang diatur dan dilubangi terus dipasang alat pengering rambut, kemudian udara yang dikeluarkan lewat alat pengering rambut bisa buat ngeringin baju, keren kan? Apalagi Semarang sering hujan dan baju gue sering gak kering. Pokoknya gue harus coba di kosan”.
“Ya udah loe coba terus gue numpang”.
“Ih numpang, buat sendiri”.
“Sesama anak perantauan itu harus saling menolong”.
“Yo dah terserah, tapi tanggungan listrik loe yang tanggung”.
“Iuran?”.
“Males”.
“Ayolah”. Goda Angel dengan wajah manjanya mendekati Putri
“Isss!”. Sahut Putri menjauhkan bahunya dan mendekatiku, mencoba menghindar dari godaan Angel.

Dosen pun datang, sontak semua anak-anak langsung duduk. Aku menyanggahkan daguku di tangan kiriku sembari memerhatikan dosen. Hari ini tidak ada kuliah bersama Alsan karena ini mata kuliah wajib. Walau dia tidak disini, entah mengapa sikap dia yang menyebalkan cukup membuat pikiran, dan tak terasa jam kuliah berakhir.

Angel dan Putri langsung membuka ponsel, kalau tidak salah dengar episode drama korea terbaru sudah keluar dan mereka ingin menonton sejenak sebelum kuliah berikutnya. Aku membuka tasku dan mengambil surat. Aku menggigit ibu jariku kemudian membuka tali surat dan isinya adalah…
Al, ini sticker kafe senja buat loe.

Aku pun tertawa dengan girangnya memegang surat dan sticker berbentuk hati yang berwarna hitam dengan tulisan berwarna jingga. Sontak Angel dan Putri melihatku tertawa .
Sumpah ya Si Alsan ini! Beginian aja pakai surat segala.

“Al gak apa-apa?”. Tanya Putri.
“Gue beliin air mineral ya? Kayaknya loe beneran sakit deh”.
Aku hanya melambaikan tanganku yang rasanya ingin bilang tidak ada apa-apa namun tak sanggup mengucapkannya. Alsan dan Rico kemudian datang.

“Loe ngapa Al?”. Tanya Rico.
Aku mengatur nafasku dan mulai bicara. “Ada senja”.
Aku melihat Alsan sempat melirikku kemudian pergi menghampiri Andi dan Genta.
“Mana ada senja siang bolong Al, senja mah sore”. Ujar Rico menatap luar kelas kemudian menyusul Alsan sembari menggelengkan kepala padaku.

“Udah ah gue beliin minum”.
Aku menarik lengan Angel yang akan keluar. Angel kembali ketempat duduknya karena aku sudah berhenti tertawa.
“Ada apa sih Al? Kok girang banget?”. Tanya Putri.
“Ini pasti dia baca adegan lucu di novel”. Sanggah Angel.
“Bukan, kemarin Si Alsan ngasih surat minta di buka siang ini”. Jawabku sembari menelan udara di tenggorakan untuk mengatur nafas.
“Hah? Surat? Surat apa?. Tanya Angel dengan wajahnya super kaget.

Aku kemudian memberikan surat Alsan. Angel kemudian membaca dan Putri mendekati Angel yang juga ingin membaca.
“Apaan sih Alsan gak jelas banget”. Ujar Angel tapi anehnya Putri juga tertawa.
“Loe lagi ngapa ketawa-ketawa juga?”. Lanjut Angel.
“Ya gimana gak ketawa, gue yakin dari kemarin Si Al udah penasaran setengah mati tapi ternyata isinya beginian doang”.

Aku hanya menggaruk-garuk leherku yang tidak gatal kemudian suara berisik Andi dan Genta terdengar saat menyoraki Rico. Perhatian kami teralihkan pada mereka. Aku yakin pasti Rico sedang sok bijak.
“Kalian kenapa sih? Receh banget”. Tanya Angel.
“Apa sih disaster!”. Jawab sinis Rico menatap Angel.
“Loe yang disaster!”. Teriak Angel.
Angel kemudian berdiri dan menghampiri Rico. Rico langsung memasang badan tapi Rahma datang ditengah-tengah mereka dan bertanya pada Alsan. Angel hanya termenung menatap Rahma dan Rico memerhatikan Rahma. Aku dan Putri kemudian tertawa. “Angel kasihan banget terabaikan gitu”. Ujar Putri.

“Oh ya, mereka lagi ngomongin apa ya?”. Tanyaku pada Putri yang masih fokus memerhatikan Angel.
“Palingan ngomongin proposal”. Jawab Putri memberikan surat padaku dan ku masukkan dalam tas.
“Proposal apa?”.
“Ya proposal karya ilmiah itu”.
“Karya ilmiah apa?”.
“Loe baca mading gak sih Al?”.
“Enggak”. Jawabku sembari menggelengkan kepala.
“Haduh”. Putri menepuk dahinya yang tidak ada nyamuk dan meluruskan badannya ke arahku.
“Gini ya Al, walau kita gak ikut organisasi dan gak dapet broadcast kayak gitu tapi setidaknya kita baca mading buat berita terbaru. Sekarang itu ada lomba karya ilmiah. Nah mereka ini mau buat hidroponik gitu, tapi kan harus survei segala macam untuk tulisan proposal”.
Aku mengangguk, “Oh”.

Angel menghampiri kami kemudian duduk. “Pantes, beberapa hari ini Al gak di sekret”.
Proposal karya ilmiah dalam dunia kampus tidak berbeda jauh dengan dunia sekolah, tetapi informasi perlombaan karya ilmiah sendiri biasanya diterbitkan di mading dan informasi tersebar di organisasi bukan dari dosen. Mahasiswa memang harus aktif, jika tidak aktif jadinya sepertiku. Orang lain sibuk berkarya, aku sibuk melihat karya orang lain.

Diskusi mereka berakhir saat mereka mengucapkan terima kasih kepada Rahma atas bantuan solusinya. Aku hanya mendengar mereka di bagi tim saja, tapi kalau tidak salah dengar si Alsan sendirian karena yang lain berdua. Rahma kemudian pergi bersama teman-temannya ketika dipanggil untuk makan bersama. Alsan, Rico, Andi, dan Genta menghampiri kami.

“Disaster is coming”. Gumam Angel yang menidurkan kepalanya di meja.
“Kalian mau kemana?”. Tanya Andi.
“Gak tau”. Jawab Putri.
“Minggu nganggur gak?”.
“Nganggur”. Jawab Angel.
“Al sama Putri kemana?”. Tanya Genta.
“Gue sih pulang kampung”. Jawab Putri.
“Pulangin sih”. Ledek Andi dan Putri hanya memincingkan matanya.

“Kalau Al?”. Tanya Genta kembali.
“Al pasti dirumah”.
“Kalau gitu, Angel aja yang nemenin Alsan”. Ujar Andi.
“Nemenin kemana?”. Tanya Angel mengangkat kepalanya.
“Survei desa”. Jawab Rico.
“Oh ya udah asal dikasih makan”.
“Inget badan”.
“Ya udah sih Co! Daripada loe gak ada isi!”.

Aku hanya menggaruk rambutku yang tidak gatal karena merasa tersindir. Walau tinggiku 165cm, tapi beratku tidak pernah lebih dari 43kg. Badan Angel juga tidak gemuk, hanya berisi.

Andi tertawa dengan lebar. “Ngel kawan loe kesindir nih”. Ujar Andi sembari menunjukku menggunakan dagunya.
“Ya udah sini gue transferin daging gue”. Ujar Angel sembari menempelkan lengannya padaku.
“Kalau bisa aja”. Jawabku.
“Tapi gue heran sama Al, padahal makannya banyakan dia, tapi kok dagingnya di Angel semua”. Sanggah Putri.
Aku hanya mengedikkan bahuku. Aku memiliki nafsu makan yang tinggi tapi tidak pernah gemuk atau karena aku makan banyak namun tidak tepat waktu sehingga mungkin sari makanan habis untuk menutupi asam lambungku.

“Ya begitu hidup Put, kayak kita udah belajar serius kalah sama yang emang dasar otaknya cerdas”. Sanggah Angel.
“Berarti taktik loe kurang, pake strategi dong”. Jawab Rico sembari menunjuk Angel.
Perdebatan Angel dan Rico mulai kembali. Aku dan yang lainnya hanya jadi penonton sembari sekali-kali melerai perdebatan mereka, walau kadang Si Genta justru memperkeruh suasana.

Alsan masih berdiri berseberangan denganku. Aku ingin berterima kasih untuk suratnya karena diriku yang sebelumnya mati penasaran ternyata hanya dikerjai saja, tapi pasti akan jadi bahan bully oleh anak-anak jika aku berterima kasih sekarang. Perbincangan kami kemudian berlanjut tentang proposal yang sedang mereka kerjakan sampai jam berikutnya datang, kami kemudian pindah kelas kuliah kami saat kelas yang kami gunakan sekarang mulai dimasuki anak-anak baru.

~~~~~~~~~~~~~~

Hari minggu telah tiba, pagi hari ini suasana sangat cerah, burung-burung peliharaan samping rumah berbunyi dengan merdunya, bersiul menggodaku yang akan pergi dengan Alsan hari ini. Semalam Angel menghubungiku kalau dia kedatangan bulan dan tidak sanggup untuk pergi-pergi, makanya dia minta tolong padaku untuk menemani Alsan. Alsan bilang dia yang akan minta izin pada nenek, tapi aku tidak yakin nenek akan memberikan izin.

Alsan datang saat aku sedang menikmati kopi pagiku terdengar dari suara motornya, aku sedang berada di jendela kamarku sembari menatap tanaman yang masih beraroma basah karena embun. Ini baru jam 7 dan janji pergi jam 9.

Apa tidak terlalu pagi? Aku baru saja selesai beres-beres rumah.

Alsan menekan bel pagar rumah, nenek keluar dari dapur untuk membukakannya. Aku mengintip dan mendengarkan mereka dari jendela kamarku.

“Eh Nak Al apa kabar?”. Tanya nenek sembari berjalan menuju pagar.
Alsan langsung turun dari motor dan salim.
“Baik Nek, Nenek sendiri bagaimana kabarnya?”.
“Nenek baik, pagi sekali kesini? Nenek kan tidak pesan pupuk?”.
“Alsan mau ngajak Al pergi”.
“Kalian pacaran?”.

Perkataan nenek membuatku tak sengaja menyemburkan air kopi yang sedang ku minum. Sontak suara semburannya membuat Nenek dan Alsan menatap jendela kamarku yang menghadap ke samping rumah. Aku hanya meringis.
“Makanya kalau minum itu duduk”.
“Iya nek”.

Aku kemudian duduk di tempat tidur dan tidak tahu percakapan apa yang sedang mereka lakukan. Aku takut Alsan akan dimarahi seperti mantanku karena mengajakku main. Aku mendengarkan langkah kaki mereka masuk rumah dan nenek masuk kamar.
“Kamu cepetan mandi terus sarapan”.
“Iya nek”.

Entah apa yang Alsan katakan, tapi yang pasti nenek tidak memberikan wejangan apapun dan hanya menyuruhku untuk siap-siap. Aku langsung siap-siap dan nenek menemani Alsan berbincang di ruang tamu.
“Wah Nek, bolunya enak banget”. Ujar Alsan yang suaranya hingga ke kamarku saat aku sudah selesai mandi dan nenek tertawa mendengar ucapan Alsan.
“Kalau begitu nanti di bungkus buat bujang yang tinggal sendirian”.

Alsan tinggal sendirian di rumahnya yang ada di Semarang bawah tepatnya dimana juga tidak tahu, itu kata Angel.
“Wah nenek tau aja kalo bujang yang tinggal sendirian tidak punya makanan”. Alsan dan nenek kembali tertawa.
Aku hanya tersenyum di dalam kamar sambil berdandan menggunakan bedak dan lipstik yang tipis, baru aku keluar. “Jangan dikasih Nek, nanti sering-sering kesini”.
“Wah nenek seneng kalo Alsan sering kesini, bisa bantuin bersihin kebun”.
“Jangankan bersihin kebun, bersihin rumah juga gak apa-apa. Kebetulan Al bisa bagi waktu antara membaca dengan merawat tanaman”. Sanggah Alsan.

Aku memincingkan mataku dan menaikkan setengah bibirku pada Alsan. Aku tahu kata-katanya sedang menyindirku. “Tuh kan nek, Alsan nyindir Al”.
“Emang Nak Al nyindir Al?”.
“Enggak”. Jawab Alsan datar.
Alsan dan nenek kembali tertawa. Aku hanya mengerucutkan bibirku.
“Kenyataannya kok, kalau kamu itu sibuk baca novel padahal anak pertanian”. Lanjut nenek.
“Sebenarnya membaca novel juga bagus Nek melatih otak terus bergerak tapi tetap jangan lupa waktu”. Ujar Alsan
Aku hanya terdiam, entah kata-kata membela atau menjatuhkan kemudian aku pamit pada nenek disusul Alsan. Nenek mengantarkan kami hingga pagar rumah.
“Inget yaa pulangnya jangan sore-sore”. Ujar nenek yang tersenyum sambil menahan rasa khawatir.
“Percaya sama Alsan, Nek”. Ujar Alsan sembari mengenakan helm.

Kami berangkat jam 9 pagi menuju desa, kata Alsan kami sedang menuju Desa Kembang. Selama perjalanan kami hanya sambil berdiam diri dengan aku yang menikmati udara pedesaan yang akhirnya kami sampai di rumah kepala desa setelah bertanya-tanya pada masyarakat sekitar dan kami disambut dengan hangat.

Setelah berkenalan, Alsan langsung berdiskusi dengan kepala desa tentang progja mereka dengan teh panas yang sudah disediakan oleh istri kepala desa di depan kami sekarang. Aroma teh tercium lembut dihidungku ditambah lagi suguhan kue kering yang seakan semakin menggodaku layaknya kamar tidur yang melambai-lambai padaku ketika belajar, tetapi rasa kantuk itu kalah ketika sudah bermain ponsel.

“Ayok diminum tehnya”. Ujar kepala desa sambil tersenyum kepadaku yang mungkin terlihat dari tadi mengintip teh dan tanpa ragu aku langsung meminumnya.
“Haus bu?”. Tanya Alsan dan aku hanya tersenyum.
Kepala desa hanya tertawa melihatku. Diskusi kembali berlanjut, aku hanya mendengarkan dan sesekali ikut tertawa walau menurutku itu tidak lucu.

Laki-laki kalau sudah bertemu pasti berbincangnya mengalahkan hebohnya perbincangan perempuan tapi bedanya mereka tidak sedang membicarakan orang lain pastinya tentang hal-hal yang bermanfaat, tapi ada juga laki-laki yang sedikit unik kalau berbincang tentang orang lain mengalahkan perempuan mulutnya HAHAHA

Ibu kepala desa keluar kembali setelah mandi. “Kalian pacaran?”.
“Enggak bu, kami temanan”. Jawab Alsan.
“Teman hidup?”. Tanya kepala desa dan kali ini aku dan Alsan hanya tertawa.

Mungkin maksudnya kami temenan sampai seumur hidup gitu ya, bukan dalam pengertian yang lebih romantis.

Matahari semakin turun. Alsan dan teman-temannya akan melakukan survei desa minggu depan dengan formasi lengkap, nantinya kepala desa akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan pemuda desa terkait progja ini.

Kami pamit pulang sebelum sore
“Baik pak bu kami pamit pulang”. Ujar Alsan.
“Kok cepet banget?”. Tanya ibu kepala desa yang terlihat sedih.
“Kami masih punya urusan lain bu”.
“Baiklah kalau gitu kalian hati-hati, nanti kabarin lagi kalau mau kesini kan tadi sudah tukeran nomor hp, biar kami siapkan makanan lebih banyak lagi terutama tehnya”. Ujar kepala desa.

Kami semua langsung tertawa karena kepala desa sedang menyindirku. Kok rasanya malu-maluin bener tadi itu tapi sudahlah pura-pura gila saja. Kami pun salim dan pamit pulang.

“Kita ke Semarang Bawah dulu yuk”. Ajak Alsan di atas motor memalingkan tubuhnya ke arahku yang sedang mengenakan helm.
“Boleh, mau ngapain?”.
“Nanti kamu juga tau kalo udah sampek”. Ujarnya sambil membunyikan motor.

Saat kami sedang melintasi areal persawahan menuju daerah kota, tiba-tiba Alsan berhenti dan menyapa Genta yang sedang memotong rumput di pinggiran sawah.

“Genta!”. Teriakku yang membuat Alsan menatapku, entah kaget atau bagaimana.

“Weeeh ada duo Al”. Ujar Genta lalu menghampiri kami.

Genta menghampiri kami dengan caping di kepalanya, ia mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Tersenyum pada kami layaknya seperti pemuda desa. Aku tidak percaya bahwa Genta memiliki sisi lain yang unik, ia mungkin malas belajar tapi tidak untuk bekerja.

“Udah ketemu kepala desa?”. Tanya Genta.
“Udah tadi, minggu depan kita survei”. Jawab Alsan.
“Ya gini desanya Al, cuma sawah yang buat asri, moga progja ini bisa buat desa gue tambah keren”. Ujar Genta padaku yang disusul dengan tawa akhirnya.
“Ini udah keren kok Gen, penduduknya juga ramah”.
“Makanya besok pas praktik kesini ya, kumpul sama temen-temen biar gak temenan sama duo galak muluk”.
Kami semua langsung tertawa dan pamit pulang kepada Genta.

Selama di perjalanan, Alsan bercerita bahwa Genta punya mimpi untuk memajukan desanya. Genta salah satu pemuda yang mengenyam pendidikan tinggi di desanya, orang tuanya percaya bahwa penduduk desanya bisa maju dengan teknologi pertanian sekarang ini, maka Genta meminta Rico untuk membuat Progja Hidroponik untuk desa khususnya desa tempat Genta lahir dan dibesarkan.

Kami sampai di sebuah parkiran motor, tempatnya ramai banyak anak kecil sedang berlarian di sebuah rumah berbentuk panggung, aku turun dari motor lalu berjalan dan melihat ada plang dengan tulisan “Sanggar Musik Tradisional Mas Saleh” di tengah rumah panggung ini.

Alsan memanggilku yang tanpa sadar aku sudah berjalan menuju pintu masuk. “Al, helmnya”.
Aku langsung berlari ke arah Alsan dengan wajah penuh malu karena ternyata aku lupa melepaskan helm. Aku melepaskan helm dan memberikan pada Alsan. Alsan hanya menatapku dengan senyum, ia meletakkan helm ku diatas spion.

“Letakkan di gantungan itu aja”. Ujarku sembari menunjuk ke tempat pengait di bawah spidometer tetapi Alsan hanya diam dan tetap meletakkannya di atas spion. Alsan berjalan duluan kemudian aku menyusul Alsan dan berjalan di belakangnya.
Ngeselin banget ni orang.

Saat aku memasuki pintu sudah terdengar alunan instrumen musik jawa dengan suara dentingan gamelan dari lorong tengah rumah panggung ini. Kami berjalan melewati lorong rumah panggung ini kemudian aku melihat banyak saung besar setelah melewati lorong, tepatnya di belakang rumah panggung ini. Suasana tempat yang ceria penuh anak-anak sedang berlatih tari dan musik tradisional ditambah ada suara air mancur yang berada diantara kedua sisi setelah lorong menambah suasana damai dan bahagia, aku berhenti menatap anak-anak berlatih.

“Al kalo mau liat, kesana aja”. Perintah Alsan padaku yang terpukau pada permainan tari dan musik di aula.
“Enggak deh Al”. Jawabku kepada Alsan.
“Yo dah kita shalat dzuhur dulu ya baru ke kantornya”.
“Oke”.

Kami menuju masjid kecil di ujung tempat ini. Setelah kami selesai shalat, aku mengikuti Alsan berjalan dan tetap memerhatikan sekeliling, dan kami masuk dalam rumah yang merupakan kantor bagi pemilik sanggar. Kata Alsan, ia sedang ada perlu dan nanti akan tahu jika sudah memasuki kantor.

Sesosok laki-laki mengenakan kaos putih dan celana dasar hitam menghampiri kami, kemudian mengajak untuk duduk.
“Kamu yang telepon semalam ya?”. Tanya laki-laki tersebut, kemudian kami saling berkenalan dan ini yang namanya Mas Saleh.
“Iya mas, maaf ganggu waktunya datang sore-sore gini”.
“Santai saja, saya juga lagi istirahat, jadi gimana detailnya?”.
“Jadi gini mas, saya mau pinjam sebagian alat musik disini, saya ada progja yaitu pengenalan musik tradisional sejak dini di sekolah dasar, apakah diperbolehkan?”. Tanya Alsan serius sambil menggenggam kedua tangannya.
“Boleh, asal tidak rusak”.

‘Kumpryang…’.

Tanpa sadar aku memainkan triangle yang berada disampingku dan terjatuh. Suasana menjadi hening, Alsan dan Mas Saleh jadi memperhatikanku. Aku hanya tersenyum tipis karena merasa bersalah. Baru saja Mas Saleh bilang jangan sampai rusak, malah aku menjatuhkan triangle. Aku sedang memainkan jari telunjukku untuk menyembunyikannya, kemudian jatuh dari dudukannya.

Mas Saleh langsung termenung. Aku melipat bibirku dan menatap Alsan yang juga termenung. “Maaf”. Ujarku lirih takut membuat Mas Saleh marah dan Mas Saleh hanya tersenyum terpaksa kemudian ponsel Mas Saleh berbunyi yang langsung diangkatnya.

Alsan mengambil triangle dan diletakkan kembali kedudukannya, kemudian aku pamit ke kamar mandi pada Alsan padahal bohong. Aku merasa tidak enak dengan Alsan pasti tidak akan diizinkan untuk meminjam alat. Aku hanya berdiri sambil memegang tas selempangku diluar. Hatiku benar-benar tidak tenang, aku ingin mengintip apa yang sedang terjadi di dalam.

Alsan dan Mas Saleh keluar. “Nanti kabari saja kapan digunakan dan bawa anak-anak disini juga tidak apa-apa. Mas Saleh malah senang”.
“Iya Mas, terima kasih”. Ujar Alsan sembari berjabat tangan.
Saat Mas Saleh akan menjabat tanganku, beliau tertawa. “Tidak apa-apa. Dudukannya memang miring”.
Aku hanya tersenyum tipis dan menjabat tangannya sembari berucap maaf kembali.
“Ya udah kalian pulang hati-hati”. Ujar Mas Saleh dan kami kompak bilang iya.
Mas Saleh kemudian pergi berjalan ke tempat lain.

“Ayok pulang”. Ajak Alsan sembari berjalan duluan, aku hanya mengangguk dan berjalan dibelakangnya. Hujan tiba-tiba turun saat kami berjalan, Alsan menarik tanganku untuk berlari. Kami masuk dalam sebuah saung, saungnya besar dan terdapat anak-anak sedang berlatih memadukan alat musik gamelan dengan perkusi, suara yang dihasilkan tampak gagah. Anak-anak sangat bersemangat, tawa mereka sangat murni, banyak kesenangan yang tersirat. Terkadang aku merasa sedih, karena sebagian anak sekarang lebih banyak mengenal game online dibandingkan bermain secara tradisional seperti yang mereka lakukan. Aku tersenyum sendiri melihat mereka bermain, aku tidak tahu banyak tentang seni tapi aku menyukainya ketika mendengarnya, aku harap suatu hari nanti aku dapat belajar dan memainkannya juga.

“Indah bukan?”. Tanya Alsan lirih.
“Iya indah”. Jawabku yang masih menatap senang anak-anak.
“Gue waktu kecil juga mainan musik tradisional Al, walau gue kuliah di pertanian namanya udah seneng tetep aja gendang lebih menarik dari cangkul”. Ujar Alsan.
“Berarti gak salah dong aku suka baca novel?”
“Kalo loe terlalu, lupa waktu. Gue juga baca buku tapi tau waktu”.
“Iya deh iya”.
Aku hanya menghela nafas hingga membuat anakan rambutku bertebangan dan kembali menyaksikan anak-anak bermain.

Hujan berlangsung lama dan kami tetap menikmati alunan musik gamelan yang dimainkan anak-anak sembari duduk, mereka memainkan lagu-lagu jawa dan lagu anak-anak. Hujan berhenti tepat anak-anak selesai bermain dan Alsan mengajak pulang sembari berdiri.
“Rasanya gak mau pulang”. Jawabku masih duduk berlipat di lantai.
“Nanti kita kesini lagi”.
“Gak mau”.

Tiba-tiba entah dapat pikiran dari mana, aku berdiri dan berjalan pada salah satu anak yang sedang menulis. Aku meminta kertas dan meminjam pena untuk menulis, kemudian setelah aku menulis. Aku kembali menghampiri Alsan dan memberikan kertas yang sudah aku lipat.
“Ini balasan surat buat kamu, jangan buka sekarang”.
“Baiklah”. Alsan memasukkan dalam tas. Kami kemudian berjalan berdampingan meninggalkan sanggar menuju tempat parkiran motor.

Sampai di parkiran, Alsan memberikan helm kepadaku. “Alhamdulillah diletakkan di spion jadinya gak basah”.
Aku hanya mengerucutkan bibirku sembari mengenakan helm karena kalau dikaitkan pasti tadi basah. Alsan tertawa tipis dengan giginya yang rapih dan kecil sembari mengelap motor, setelah selesai kami beranjak pulang.

Perjalanan menuju Semarang Bawah ke Semarang Atas itu seperti mendaki gunung walau aku tidak pernah pernah mendaki, setidaknya aku tahu kanan kiri pepohonan semua dan berkelok. Suasana setelah hujan benar-benar sejuk rasanya seperti di surga walau aku belum pernah ke surga, semua terasa nyaman dan tidak ingin cepat-cepat sampai rumah.

Kami sampai dirumah tepat di sore hari. Aku turun dari motor dan melepaskan helm. “Al mau mampir?”.
“Gak Al langsung aja, makasih ya udah temenin hari ini”.
“Harusnya aku yang makasih, hari ini luar biasa”.
“Selanjutnya hari-hari loe akan lebih luar biasa”. Ujar Alsan sembari memainkan jari telunjuknya di depan wajahku.
“Oke deh”. Jawabku mengangkat ibu jari.
Alsan kemudian pergi dan aku masuk rumah.

Ada banyak hal luar biasa di luar sana, itulah kenapa semakin luas pergaulanmu semakin luas pengetahuanmu. Itu akan menentukan cara berfikirmu yang tidak mementingkan diri sendiri dan memaklumi setiap adanya perbedaan.
Terima kasih Alsan atas hari ini..

Ponselku berbunyi ketika aku masuk kamar dan ternyata itu pesan dari Alsan.
Alsan: Lain kali kalau cuma bilang terima kasih, langsung aja.
Aku hanya tertawa, sepertinya dia tidak bisa menahan rasa penasarannya padahal belum lama pergi dari rumahku.
Aku : Ya seperti itu rasanya kemarin.
Alsan : Hmm…

Aku hanya membaca kemudian beranjak mandi sembari menahan tertawa.

Sebelum pergi ke kamar mandi, aku melihat nenek sedang duduk di meja makan sembari menikmati kopi pahit. Aku menghampirinya dan bertanya kenapa nenek bisa mengizinkannya pergi dengan Alsan.
“Ia bilang mau ngasih pupuk gratis”.
“Nenek kok gitu, jadi ngizinin gara-gara gratis pupuk”. Sahutku kesal.
“Kan lumayan”. Jawab nenek meledek.
Aku langsung beranjak pergi menuju kamar mandi.