Catatan Akhir Kuliah – Part 7

Pagi ini cuaca gerimis. Katak-katak berlarian dari bebatuan di kebun samping rumah, mereka bermain air seperti anak kecil berlarian menikmati hujan saat mereka belum tahu apa artinya kehidupan. Aku sarapan di teras belakang dengan teh hangat dan ubi ungu rebus dengan pemandangan langsung tembok pembatas belakang rumah dengan pecahan kaca diatasnya. Aku berdiri menghampiri rintikan hujan di pinggir genteng di samping rumah dan memainkan jemari tangan kiriku menyentuh air hujan.

Aku sangat menyukai hujan, ini bukan hanya sekedar bau tanah setelah hujan. Aroma dingin yang tercipta untuk menyejukkan hati. Aku tak peduli seberapa pentingnya waktu harus tertunda karena hujan, karena bagiku hujan adalah obat segala rindu. Rinduku untuk orang tuaku yang sekarang sudah berada dilangit yang menjatuhkan hujan.

“Mbak Al gak kuliah?”.
“Kuliah Pak Toto bentar lagi”.
Pak Toto datang dan duduk diteras dengan secangkir kopinya.
“Al, ayok berangkat”. Teriak nenek dalam rumah karena mobil temannya sudah datang.
“Pak Toto aku berangkat”. Ujarku sembari salim.

Aku berjalan menuju teras depan dengan memegarkan payung untukku dan nenek menuju mobil temannya. Ketika hujan, nenek akan menumpang bersama temannya dan kebetulan aku sedang kuliah pagi. Aku duduk di belakang, sedangkan nenek di depan bersama Bude Sumi.

“Ini Al ya?”. Tanya Bude Sumi.
“Iya bude”. Jawabku lalu salim.
“Gimana kuliahnya?”.
“Alhamdulillah lancar”.
“Belajar yang serius biar jadi kebanggaan nenek”.
“Iya Bude”. Jawabku.
“Kerjaannya baca novel”. Keluh nenek.
“Bagus dong daripada main, kalau diseriusin bacanya bisa buat tulisan sendiri di mading kampus, Al aktif organisasi?”.
Aku hanya diam saja.
“Kayaknya nenek melarang aktif organisasi, harus aktif dong, masa kuliah atau masa sekolah harus banyakin temen biar suatu hari nanti kalau ada apa-apa enak punya banyak temen, pemikiran kamu jadi lebih terbuka tentang dunia, kamu juga bisa lebih dewasa menghadapi kehidupan karena sudah menghadapi berbagai karakter, betul gak nek?”. Tanya Bude Sumi kepada nenek.
“Al kan beda”. Jawab nenek.
“Padahal dulu nenekmu aktif organisasi”. Sahut Bude Sumi sembara tertawa.
“Beneran Bude?”. Tanyaku tak percaya.
“Iya, tapi kok cucunya gak boleh organisasi kan lucu”.
Nenek hanya diam saja.
“Berarti Al boleh dong ikut gabung sama temen-temen kalau lagi ada kegiatan?”. Tanyaku mendekati nenek.
“Kamu aja malesan anaknya”. Jawab nenek yang membuatku langsung terdiam, sedangkan Bude Sumi tertawa.

Pagi ini tidak banyak mahasiswa datang kuliah, mungkin karena suasana hujan. Beberapa mahasiswa datang terlambat kemudian langsung duduk di belakang karena dosen sudah datang. Suasana begitu hening, kami hanya mendengarkan penjelasan dosen, sesekali ada suara orang tertawa karena sesekali dosen bercanda.

“Hujan, enaknya tidur”. Gumam Angel sembari menidurkan kepalanya di atas meja setelah kuliah berakhir.
“Kita mau kemana?”. Tanya Putri.
“Gue sih ke sekret karena persiapan sabtu tampil”.
“Aku mau duduk depan kelas aja menikmati hujan”. Jawabku yang juga menidurkan kepala diatas meja.
“Main monopoli yok!!!”. Ajak Genta
Alsan, Rico, Andi, dan Genta datang menghampiri kami.
“Emang siapa yang punya monopoli?”.
“Si Alsan punya”. Gumam Angel.
“Mainnya cuma berlima?”. Tanya Putri
“Kok berlima?”. Tanyaku
“Angel sama Alsan kan mau ke sekret”. Jawab Andi.
“Kayaknya berempat deh, gue mau ke dekanat. Hari ini tes wawancara duta”. Ujar Rico.
“Woooo moga diterima yaa”. Ujar Andi menepuk bahu Rico.
“Aamiin lur, makasih”. Jawab Rico menahan rasa gugupnya. Kelihatan sekali.
“Yo dah kalau gitu kami bertiga duluan”. Ujar Alsan sembari mengeluarkan monopoli dalam tasnya.
Alsan, Angel, dan Rico pergi meninggalkan kami di ruangan kelas.

Ruangan kelas belum digunakan untuk kuliah berikutnya. Genta membuka monopoli dari wadahnya begitu semangat. Aku dan Putri bagian menyusun uang, sedangkan Andi dan Genta menyusun kartu, patung, dadu, dan tempat monopoli diatas meja.
“Yang kalah traktir makan yaa?”. Ujar Genta menantang kami. Aku dan Putri saling menatap. Ini bukan tatapan orang takut kalah, hanya saja uang kami mungkin tidak cukup untuk membayar empat orang jika kalah.
“Itu judi namanya”. Sanggah Andi.
“Halah biasanya kita juga gitu, loe gak komentar”. Jawab Genta.
“Ya ini beda”.
“Beda karena Putri?”.
“Ya dong, kan mereka perempuan”.
“Ya udah yang kalah traktir makan”. Jawab Putri.
Aku menatap Putri bersama Andi. Putri tetap memasang wajahnya yang yakin menang. Permainan seperti ini berarti harus serius antara beruntung sama buntung beda tipis. Kami hompimpah dan tinggal Putri dan Andi untuk suit.
“Andi yang bener dong”. Ujar Putri merasa kesal karena Andi melambatkan tangannya seperti sengaja ingin kalah dengan Putri.
Hasilnya memang Andi menang. Andi main pertama, kedua putri, ketiga Genta dan terakhir aku. Andi mulai mengocok dadu dan kami mulai bermain.

Permainan monopoli memang membuat kami lupa waktu, apalagi mainnya sama Andi dan Genta. Bolak balik ketawa terus. Bolak balik Genta masuk penjara tapi masih aku yang terakhir tertinggal.
“Duit gue tinggal 10 ribu, pulang aja nebeng Andi”. Ujar Genta mengeluarkan uang dari dompetnya diatas monopoli. Kami hanya tertawa.
“Bodok! Tetep traktir”. Ujar Putri.
“Jual ginjal gue”. Ujar Genta dan kami semua tertawa.
Kami tetap melanjutkan permainan di suasana tengah gerimis begini. Sesekali orang-orang lewat memperhatikan kami dan ikut tertawa, walau mereka tidak tahu apa yang sedang kami tertawakan. Hal yang pasti kami tertawa bukan karena ini lucu, karena kebersamaan kami menciptakan kelucuan tersendiri.

“Yeee gue gak jadi traktir!!!!”. Teriak Genta dan aku lemas. Aku lemas karena aku kalah.
“Al, maafin gue”. Ujar Putri menatapku kasihan. Aku menatap Putri hanya tersenyum tipis. Genta dengan semangatnya membereskan monopoli ditemani Andi.
“Nanti gue mau pesen mie ayam bakso, es cendol, gorengan sama…”.
“Genta!!!!”. Teriakku dan Putri
“Ya enggaklah canda”. Ujar Genta dengan nada genitnya menenangkan kami namun tidak berpengaruh padaku.

Kami berjalan menuju kantin bersama. Genta langsung menepati tempat duduk dekat gerobak mie ayam disusul kami.
“Bu, mie ayam empat sama teh hangat”.
Genta masih dengan senyum semangatnya didepanku, aku masih dengan senyum masamku didepannya. Aku ingat hanya membawa uang 15 ribu itu saja cukup untuk makan siang dan naik angkot, nasib pinjam Putri ini. Tapi aku ingat uangnya digunakan untuk beli pena tadi pagi jadi tinggal 5 ribu. Aku pinjam Andi juga kurang dekat.

Bagaiman ini? Padahal mie ayam makanan favoritku tapi entah mengapa siang ini jadi makanan yang tidak aku suka. Aku menahan gemetar di dada, sedangkan yang lain makan dengan lahap termasuk Putri. Apa aku jujur saja jika hanya membawa uang 15 ribu? Tapi kasihan Genta hanya membawa uang 10 ribu. Bagaimana jika hutang Andi? Ah lebih tidak enak lagi.

Aku mengaduk-aduk mieku dan hanya memakannya sedikit demi sedikit. Angel dan Alsan lalu datang.

Alhamdulillah ada Angel.

Angel duduk disampingku, sedangkan Alsan memesan teh botol andalannya di warung samping mie ayam.
“Al!!! Gue yang dingin!”. Teriak Angel pada Alsan.
“Wah Mbak Angel dingin-dingin kepanasan ya?”. Goda Mbak Nur pedagang mie ayam.
“Panas kalau habis rapat, bawaannya emosi HAHAHA”. Ujar Angel dan kami hanya tersenyum.
“Makanya jangan sensi”. Ujar Rico baru datang.
“Disaster is coming”. Jawab Angel memincingkan matanya pada Rico. Pincingan Angel berhenti saat Alsan datang membawa pesanan teh Angel.
“Terima kasih”. Alsan duduk di depan Angel. Kebetulan meja kami berbentuk persegi panjang.

Ini gimana nasibku? Gimana mau pinjam sama Angel kalau ramai begini.

“Angel sama Al gak makan?”. Tanya Genta.

Haduh Genta ini buat tambah stres, kalau Alsan sama Angel juga makan berarti tambah lagi bayaranku.

“Tadi udah makan di sekret”. Jawab Angel.
“Angel?”. Panggilku lirih.
“Kenapa Al?”.
“Angel!!!”. Teriak Rico yang duduk di seberangnya.
“Apaan sih?”.
“Ambilin tissue”.

Yaelah Rico, benar-benar disaster harus aku akui.

Angel memberikan kotak tissue didepannya kepada Genta untuk diberikan kepada Rico.
“Habis!!!”. Teriak Genta dengan senangnya. Makanan di mangkoknya benar-benar bersih, bahkan batang sawinya juga dimakan.

Ini anak laper apa doyan.

Aku lihat hanya aku satu-satunya yang belum habis, bahkan setengah mie saja belum aku makan.
“Al gak habis makannya?”. Tanya Putri.
“Iya ini masih kenyang”. Jawabku sendu. Alsan menarik sedikit mangkukku ke arahnya dan dia membantu memakan mieku sampai habis. Angel dengan nada cicaknya kemudian bergumam. “Ini anak belum kenyang apa baru habis makan satu nasi bungkus”.
“Nasi bungkusnya kebanyakan nasi daripada lauk”. Jawab Alsan
“Jadi lauknya disambung ya Al?”. Goda Andi.
“Yoi”.

Putri mengambil sendok dari mangkuknya dan menyicip kuah mieku. “Ini kok pedes banget, mana loe belum makan nasi dari tadi pagi”. Lanjut Putri. Aku hanya diam, diam karena bingung ini gimana bayarnya.
“Pantes gak habis makan mienya, gue pesenin nasi ya.. Mas Min!!!”. Teriak Genta memanggil Mas Min pedagang makanan prasmanan.
“Genta!!!”.
“Kenapa Al?”.
“Udah, jangan”.
“Loe belum makan nasi Al”. Ujar Angel.
“Iya nanti makan kok”.
“Udah pesenin aja”. Sanggah Rico.

Genta kembali memanggil Mas Min dan aku kembali berteriak memanggil nama Genta. “Genta!!!”. Semua orang memperhatikanku yang berteriak dengan kedua tangan mengepal diatas meja.
“Kenapa Al?”. Tanya Putri lirih.
“Aku aja masih bingung mau bayarin makan sekarang, ini malah tambah pesanan”. Jawabku kesal dan sontak Putri, Andi, dan Genta tertawa.
“Ini ada apa sih?”. Tanya Angel bingung.
“Pasti kalian lagi taruhan”. Sanggah Rico.
“Al udah dibayar kan?”. Tanya Putri pada Alsan setelah berhenti tertawa.
“Dibayar?”. Tanyaku bingung menatap mereka berdua dan Alsan hanya mengangguk.
“Makanya Al, lain kali bilang aja, jangan gengsi, kita kan temen. Tadi gue sms Alsan karena disini gak ada yang pegang duit”. Ujar Putri.
“Tadinya gue mau minjem Angel, tapi mau ngomong kehalang terus”. Jawabku sendu.
“Ya udah lain kali jangan mau taruhan sama mereka, loe juga sih sok banyak duit”. Jawab Angel.
“Ya kan gak enak, namanya juga udah perjanjian jadi harus ditepati”.
“Wooooo”. Sontak Rico, Andi, dan Genta lalu kami semua tertawa.

Berbicara tentang perjanjian, aku jadi ingat janjiku pada Alsan waktu di Kafe senja. Kira-kira Alsan masih ingat enggak ya..

“Tapi ya kalau gak gini, ternyata kita baru sadar kalau kita kurang dekat untuk saling jujur”. Ujar Rico.
“Drama nya kumat”. Ledek Angel.
Rico langsung berdiri ingin menjitak Angel tapi dihalangi Andi yang duduk disebelahnya dengan mangkok. Sontak tangan Rico sakit dan Angel menjulurkan lidah begitu senang.
“Sudah.. sudah”. Sanggah Alsan menenangkan mereka dengan merentangkan kedua tangan. “Oh ya teman-teman gini, hari sabtu ini kami mau tampil di sekolah dasar, kalian bantuin ya dari pagi”. Lanjutnya.
“Nanti gue kirimin tempat dan waktunya sama kalian”. Lanjut Angel.
“Gue telat yaa”. Ujar Rico.
“Kenapa?”. Tanya Putri.
“Gue janji mau jalan sama Delia”.
“Jadi loe lebih mentingin pacar daripada temen?”. Sindir Angel. Sebelum Rico menjawab, Andi sudah menyanggah terlebih dahulu. “Sudah tenang, kita harus hargai Rico”.
“Pasrah gitu kalian?”. Tanya sinis Angel.
“Udah loh Ngel”. Ujar Genta.
“Iya nih si Rico salut amat”. Lanjut Genta yang membuat kami menyorakinya dan ditambah dia pura-pura gila. “Kenapa? Kenapa?”. Tanyanya genit seperti biasa.
“Yo dah yok balik kelas, kita udah kelamaan disini”. Ajak Putri. Kami semua langsung berdiri, sedangkan Alsan menuju stan makanan.

Mungkin dia masih lapar..

Cuaca masih saja gerimis. Anak-anak mulai berlarian dari kantin menuju gedung kelas yang berseberangan melawan dentuman air dari langit. Aku masih berdiri di pinggiran kantin memainkan jemariku dari jatuhan air gerimis, sedangkan yang lain sudah menyebrang.
“Ini”. Ujar Alsan padaku sembari memberikan onigiri. Aku masih bingung, diam berdiri.
“Loe belum makan nasi daripada entar lambung loe kambuh nanti gak bisa bantuin gue kan susah”.

Aku nyaris baper ternyata ada maunya di balik modus.

“Iya makasih, nanti sekalian gue bayar…”. Belum selesai aku bicara, Alsan sudah menyebrang duluan.

Ngeselinnya ini orang, untung baik..

Aku kemudian menyebrang menyusul anak-anak berjalan menuju kelas.

Aku baru sadari ternyata aku masih belum bisa menyamankan diri pada teman-temanku. Aku belum bisa menjadi jujur dan apa adanya, padahal arti pertemanan sesungguhnya dimana aku bisa menempatkan perasaanku tanpa canggung dan rasa tidak enak, minta tolong atau memberikan pertolongan adalah kewajiban sebuah pertemanan bukan sesuatu hal yang disebut dengan hak.

¤¤¤¤

“Loh ini siapa?”. Tanya nenek.
Aku menunggu di teras depan, katanya pagi ini Genta yang menjemputku ke acara Alsan dan Angel. Aku dan nenek menghampiri Genta setelah sampai di pagar rumah.
“Ini Genta nenek”. Jawabku
“Ini Genta nenek”. Jawab Genta mengulang perkataanku dan kemudian salim kepada nenek. Genta-genta ada saja sikapmu.
“Nak Genta bawa motornya hati-hati yaa jangan ngebut-ngebut”.
“Iya nek, palingan kecepatan 100”. Nenek langsung memincingkan mata pada Genta dan Genta seperti biasa. “Ya enggaklah canda”.
“Yo dah nek kami pamit dulu”. Pamitku kemudian salim disusul Genta.
“Nenek juga hati-hati di rumah”. Ujar Genta membuat nenek tertawa.

Kami berangkat menuju lokasi menggunakan sepeda motor. Selama perjalanan kami mengobrol, mengobrol tentang hal yang tidak penting seperti menggoda ibu-ibu dan membicarakan bagaimana reaksi mereka.
“Loh! Ini kan sekolah tempat nenek mengajar”. Ujarku saat sampai dan turun dari motor di parkiran.
“Apa iya Al?”.
“Kamu gak percaya Gen?”.
“Iya juga sekolahan nenek”.
“Emang kamu tau nenek ngajar disini?”.
“Enggak”.
“Genta maah jangan ngelucu pagi-pagi”.
“Yaelah siapa sih Al yang ngelucu”.
“Yo dah yok Al masuk aula”.
“Yoook”.

Kami berada di sekolah dasar tempat nenek mengajar. Anak-anak di sekolah ini memang tidak diperbolehkan membawa alat komunikasi karena lingkungan sekolah menyediakan telepon umum, jadi mereka bermain dengan asiknya tanpa gadget, sesekali ada yang memerhatikan mahasiswa berlalu lalang menyusun tempat pementasan di aula.

“Pagi!!!”. Sapaku pada Angel sedang menyiapkan seperangkat alat gamelan di panggung.
“Pagi Al”. Jawab Angel kemudian berhenti dan berdiri.
“Itu apa saja namanya?”. Tanyaku sambil menunjuk seperangkat alat gamelan.
“Itu gong, gambang, bonang, demung, suling, siter, peking, dan gendang yang kayak gantungan tas loe itu”. Jawab Angel sambil menunjukkan alat satu persatu dan gantungan tasku.
“Oh gitu”. Jawabku sambil mengangguk dan menawarkan bantuan, “Angel apa yang bisa Al bantu?”.
“Al datang saja udah cukup kok”. Ujar Angel tersenyum kemudian pamit pergi. “Sorry ya Al, gue tinggal siap-siap dulu yaa”. Aku hanya mengancungkan tangan membentuk huruf O menandakan aku mengerti.

Aku melihat Putri sedang menyusun kue di meja bagian depan yang dipersiapkan untuk kepala sekolah beserta jajarannya, aku pun langsung membantunya. Anggota UKM Seni di universitas kami tergolong sedikit, makanya Angel sering meminta tolong pada orang luar ketika ada acara. Langkahku berhenti tepat di depan tas gitar yang memiliki gantungan sama denganku, saat aku akan mengambil piring dari kardus dekat tas gitar pinggir panggung. Tas gitar itu kemudian diambil pemiliknya sebelum aku memegang gantungannya.
“Jangan disentuh nanti jatuh lagi”. Ujar Alsan yang ternyata pemilik tas gitar itu kemudian pergi keatas panggung.
“Emangnya itu triangle”. Gumamku menaikkan setengah bibirku.

Acaranya dimulai dari jam delapan di aula sekolah. Stan makanan sudah berjajar di sekitar aula sekolah termasuk dagangan Indra. Aku pergi bersama Putri menuju kantin. Aku mulai memesan nasi uduk untuk sarapan, masih ada waktu sekitar 15 menit. Saat kami baru makan beberapa suap, instrumen musik gamelan sudah mulai dimainkan untuk pemanasan diawali dengan lagu Indonesia Pusaka.
“Indah ya Al?”. Tanya Putri dan aku tertawa.
“Kenapa Al?”.
“Gak ada apa-apa”.
“Loe butuh air mineral?”.
“Gak usah kayak Angel deh”. Ujarku kesal dan Putri hanya tersenyum.

Kami kemudian melanjutkan makan dan aku masih menahan tawa. Aku tertawa karena pertanyaan Putri biasanya dilakukan oleh Alsan. Setelah selesai makan, kami langsung menuju aula sekolah. Disana, guru dan anak murid sudah berkumpul termasuk nenek. Saat kami masuk sedang ada penyambutan dari kepala sekolah. Aku dan Putri kemudian duduk disamping nenek.
“Kok nenek enggak bilang?”. Tanyaku dan nenek hanya diam.

Sepertinya nenek dengan Alsan menjadi sama, sama-sama ngeselin..

“Bapak senang sekali ada kunjungan mahasiswa ke sekolah kami tentang pengenalan seni sejak dini, kami juga mengajarkan nilai budaya pada anak murid tapi pastinya ilmu itu juga didapat tidak dari sekolah tapi juga dari lingkungan sekitar seperti mahasiwa-mahasiwa ini, semoga dengan ada acara ini minat anak muda bangsa semakin tinggi untuk melestarikan budaya tanpa malu atau merasa kuno”.

Kurang lebih seperti itu yang dikatakan oleh Bapak Kepala Sekolah kemudian dilanjutkan dengan pembukaan, tapi satu yang lebih menyenangkan lagi ada pementasan tari dari adik-adik sekolah dasar ini, tari jawa yang menggambarkan dalam penyambutan tani kemudian memberikan bunga kepada Alsan. Sungguh piawai sekali berlenggak lenggok layaknya penari handal. Kami bertepuk tangan dengan riuknya setelah menikmati penampilan adik-adik tari ini kemudian dilanjutkan penampilan Alsan dan kawan-kawan. Angel memegang siter sembari menjadi vokalis. Gerakan tangannya sangat mahir dan lentik. Wajar dari kecil didikan budayanya sudah sangat kuat. Alsan tak kalah mahirnya, memainkan gendang layaknya sudah biasa bermain ketoprak.

Pagelaran seni yang luar biasa, penampilan piawai Alsan memainkan gendang mengiringi Angel bernyanyi menyanyikan lagu daerah membuat semua orang tak sengaja menghentakkan jemari tangan di paha menikmati alunan lagu, sedangkan teman-teman lainnya bermain gamelan. Tidak kalah serunya adik-adik dari Sanggar Mas Saleh juga menari tradisional yang sudah di kreasi di pelataran depan panggung membuat indah pemandangan. Aku benar-benar terhanyut di dalamnya.

Indonesiaku indah!!!

Angel dan teman-teman kemudian menampilkan sebuah drama musical tentang apa pentingnya belajar menari sejak usia dini. Ini bukan hanya sekedar seni tapi olahraga diri dalam menciptakan kesehatan jasmani dan rohani. Nenek pernah berkata, bahwa sekarang hampir tiap sekolah pendidikan seni hanya sekedar dinilai melalui rapor bukan diterapkan sebagai sesuatu yang mesti dilestarikan. Aku bukanlah seseorang yang dididik lewat seni. Tapi kini aku sadari bahwa anak cucuku jangan sepertiku, hanya penikmat bukan pelestari. Benar kata Pak Toto, ilmu pendidikan juga penting tapi kita harus ingat setinggi-tinggi orang berilmu masih lebih baik seseorang yang merunduk untuk mencintai sesama lewat seni misalnya.

Perpaduan musik gamelan modern tanpa meninggalkan ciri khasnya membuat anak-anak begitu antusias memperhatikannya. Alsan dan teman-teman kemudian memperkenalkan alat musik gamelan dan beberapa diantaranya meminta kembali untuk disebutkan namanya. Alsan menyuruh sebagian anak-anak maju ke depan untuk ikut merasakan langsung bermain musik gamelan. Mereka sangat senang terutama bermain bonang, mereka bermain terus walau asal mengetuk tapi bunyinya tetap indah didengar. Anak-anak yang sudah puas bermain sembari belajar ini kemudian turun. Waktu mulai menunjukkan pukul 12 untuk istirahat.

Sebelum beristirahat, Alsan mengajak bernyanyi bersama. Kertas-kertas lagu khas Jawa dilengkapi dengan not angka mulai dibagikan oleh panitia termasuk aku yang duduk di belakang. Ini mempermudahkan kita yang belum hafal lagu jawa sehingga bisa mengikuti iringan musik. Lagu-lagu yang disajiikan diantaranya Gundul-Gundul Pacul, Lir Ilir, dan Cublak-Cublak Suweng. Sebagian anak-anak sudah hafal dengan lagu ini, sebagian lagi masih mencontek kertas, dan sebagian lagi hanya memperhatikan saja.
Aku melirik Putri, dia memerhatikan Andi dan Genta yang duduk diantara adik-adik sekolah dasar yang ikut bernyanyi. Pikiran Putri pasti tertuju pada Andi. Laki-laki emang keliatan manis kalau lagi main sama anak kecil.

Bel jam istirahat berbunyi, anak-anak keluar dari aula masih menyanyikan lagu-lagu yang baru saja ditampilkan. Aku begitu senang melihatnya.
“Nenek kok gak bilang kalau mereka tampil disini?”. Tanyaku sekali lagi ketika nenek bersiap-siap keluar.
“Kata Alsan biar kejutan”.
“Yaelah”.
“Nenek pulang duluan, kamu hati-hati ya pulangnya? Masih ada satu acara lagi tapi pinggang nenek sudah sakit”.
“Nenek bisa bawa motor?”.
“Bisa”. Jawabnya tersenyum meyakinkanku.
“Yo dah nenek hati-hati terus istirahat”. Nenek hanya mengangguk. Aku dan Putri langsung salim, Putri pun meminta nenek untuk berhati-hati.

Aku dan Putri menghampiri Angel dan Alsan di panggung yang sejajar dengan lantai disusul Andi dan Genta “Hai! Tadi kalian keren banget”. Ujar Genta sambil mengangkat kedua jempol.
“Gue juga seneng anak-anak begitu antusias, apalagi waktu nyanyi lir ilir”. Ujar Angel begitu senang.
“Ayok sekarang kita makan, gue udah laper”. Sanggah Alsan berjalan duluan.
“Lir..ilir..lir…ilir..tandure wong sumilir”. Putri bernyanyi lirih diantara aku dan Angel.
“Nanti anak kita diajarin nyanyi juga ya”. Ujar Andi. Putri hanya diam tanpa menanggapi.
“Just so so”. Ujar Andi kemudian berjalan di samping Genta dan Alsan yang berada di depan kami. Aku hanya tersenyum melihat Andi dan Putri. Mereka benar-benar lucu. Aku yakin dalam hati kecil Putri sebenanrnya mengiyakan.

Kami makan di jajaran stan yang disediakan sebagai sponsor juga. Angel dan Alsan langsung memesan nasi ayam pedas. Aku menikmati jajanan SD bersama Putri yang namanya sempol paha ayam, sedangkan Andi dan Genta makan siomay.
“Gue seneng bisa partisipasi dalam acara kalian. Ini tumben banget tampil diluar”. Ujar Genta mengunyah siomay isi telornya.
“Ini ide Alsan, katanya kita harus bawa pengaruh juga di luar”. Jawab Angel.
“Al, loe emang dari kecil ya ngerti musik tradisional? Kalau Angel kan wajar, dia tinggal di Bali”. Tanya Putri pada Alsan.
“Gue tinggal di perkampungan dengan seninya yang masih kuat, jadi miris aja gue kalau liat orang-orang ketertarikannya kurang. Kalau dari dini kita tanam pada mereka yang belum tertarik, buah yang kita dapat akan lebih manis dari punya tetangga”.
“Bukan rumput tetangga lebih hijau?”. Ledek Genta.
“Rumput gak ngasilin hasil yang bagus, lebih ngasilin buah, lagipula buah lebih mahal dari rumput”. Sanggah Putri.
“Loe mah duit muluk otaknya”. Sanggah Andi.
“Hidup butuh duit, ini aja kita makan pakek duit”.
“Ini kok pasangan suami istri ribut terus”. Ledek Genta membuat Putri memincingkan mata padanya. “Ya enggaklah canda”. Ujar Genta.
Kami kemudian kembali melanjutkan makan.

Jam istirahat sudah selesai, kami kembali ke aula. Penampilan kedua ini, mereka memainkan alat musik secara objektif bergantian. Permainan pertama dimainkan dengan gendang dilanjutkan dengan peking yang dimainkan oleh teman-teman Alsan. Alsan memainkan gitar ukulele dengan Lagu Tanah Airku dan dilanjutkan anggota lainnya memainkan Lagu Ibu Kita Kartini menggunakan Suling. Anak-anak ikut menyanyikan lagu ini bersama-sama. Permainan musik secara objektif selesai dan ternyata masih ada penampilan lagi yaitu Boneka Si Unyil. Dalam penampilan kali ini, si dalang menceritakan tentang ‘Cinta Lingkungan’. Banyak anak memerhatikan begitu fokus, seperti banyak yang tidak tahu tentang cerita si unyil. Cerita Si Unyil adalah salah satu cerita bersejarah di Indonesia di dunia anak-anak. Sayangnya mereka belum mengenal dekat cerita ini yang merupakan hasil karya Pak Raden. Sesekali mereka tertawa tapi saat cerita sudah selesai, tidak banyak yang tahu tentang Si Unyil saat ditanya. Bahkan, saat lagu terakhir yang disajikan lagu Si Unyil, mereka masih belum tahu tapi tetap menikmati lagunya dengan baik. Anak-anak bertepuk tangan dengan wajah sumringah, setidaknya mereka tahu pesan moral apa yang sedang ingin disampaikan. Aku terkejut Rico sudah bertepuk tangan begitu hebohnya disampingku dan aku tetap fokus bertepuk tangan.

Aku merasa miris karena mereka kurang tahu tentang Si Unyil, cerita tentang anak-anak yang bergaya komedi ini dapat mengajarkan pesan moral dimana pelajaran pendidikan pancasila sudah tidak ada lagi. Setelah Penampilan Boneka Si Unyil, Angel kemudian memanggilku, Putri dan anggota seni lainnya yang perempuan untuk maju ke depan. Alsan tampak bingung dengan anak laki-laki lainnya apa yang akan kami lakukan. Angel kemudian menyuruh seorang anak laki-laki dibelakang untuk menghidupkan musik. Kami ingin menampilkan tarian gundul-gundul pacul.

Alsan dan yang lainnya tampak terpanah menatap kami. Kami bernyanyi didepan sembari berlenggak lenggok dipandu oleh Angel. Anak-anak bahkan ikut menari ke depan menikmatinya bersama kami. Aku senang sekali membuat orang lain tertawa, itu sama saja membuat diri kita lebih bahagia sebenarnya. Sebenarnya aku malu menari seperti ini, apalagi sedari tadi Alsan menatapku dengan mata yang penuh pernyataan pastinya. Semoga itu pernyataan yang baik. Aku sudah berlatih seminggu untuk belajar tarian ini bersama Angel dan Putri.

Anak-anak ikut menari bersama kami, memainkan seluruh tubuhnya untuk menari bahkan kami justru fokus tertawa daripada menari. Alsan pun kemudian sibuk memfoto kami bersama anak-anak. Kami semua kemudian bertepuk tangan setelah musik selesai dan saling berpelukan.

“Ayok kita maju, jangan mau kalah”. Teriak Genta sembari berdiri.
“Iya, gue gak bisa diginiin”. Ujar Andi yang juga begitu semangat dan berdiri.
Andi dan Genta kemudian menarik Alsan dan Rico yang tampak tak mau tapi pasrah ditarik bersama anak laki-laki lainnya yang merupakan anggota seni. Kami anak perempuan pun kembali duduk. Andi dan Genta minta dimainkan musik juga. Musik mulai terlantun, tetapi ada hal geli mulai bermunculan, anak-anak sekolah dasar keluar dari belakang dan berdiri membelakangi Andi, Genta, Alsan, dan Rico. Anak-anak ini pun mulai menari dengan Lagu Sajojo diikuti anak-anak laki di belakangnya. Namanya juga anak-anak laki-laki, menari tapi asal lenggok. Mereka benar-benar membuat tawa pecah karena gerakan yang kaku tapi dipaksa gemulai terutama Rico. Angel tertawa begitu riangnya melihat Rico dan langsung semangat membuat video. Rico pun menghampiri Angel, dan Angel pun berteriak. “Disaster is coming”. Angel langsung berdiri dan lari, Rico pun hanya pasrah dan kembali menari. Sungguh lucu mereka, bahkan Andi dan Genta sesekali sengaja menari gaya dansa.

Aku senang sekali kebersamaan ini, aku senang berteman mereka. Kebersamaan yang membawa pertemanan ke arah yang baik. Aku dulu Alamanda Katartika yang tahunya hanya membaca novel dalam mengisi waktu, kini aku ingin mengisi waktu untuk hal bermanfaat terutama bersama teman-teman. Inilah arti pertemanan sebenarnya.

Anak laki-laki pun sudah tampak lelah dan berkeringat karena lagu diputar sebanyak tiga kali. Mereka pun akhirnya menyerah dan kembali duduk. Penampilan terakhir adalah Tarian Goyang Semarang dari anak-anak sekolah dasar yang sudah dikreasikan. Kami menikmatinya sembari berkipas-kipas, hanya Andi dan Genta yang masih menggoyangkan tangan sembari duduk menikmati adik-adik ini menari.

Acarapun selesai, semua bersorak sembari tepuk tangan begitu senang. Acara pengenalan musik tradisional berjalan dengan lancar dan sukses. Aku melihat rasa puas dari wajah Alsn diikuti semua anak UKM Seni. Semua anak-anak berpamitan dengan salim dengan kami, kepala sekolah beserta jajarannya juga pamit pulang.

Kami menumpuk kembali kursi-kursi plastik, piring-piring kue dan menyapu aula. Angel dan Alsan melakukan review bersama anggota UKM mengenai acara tadi. Hal yang biasa dilakukan jika setelah acara selesai akan ada ucapan terima kasih, pesan, dan saran selama acara oleh ketua pelaksana.

“Co dugan yuk?”. Ajak Genta.
“Ayok!!!”. Teriak Rico. Kami menuju penjual es dugan depan sekolahan, terlihat stan penjual makanan depan aula mulai bubar, dagangan mereka habis terutama pedagang es krim.

“Mas, esnya lima yaa”. Pesan Genta kepada penjual es dugan, kemudian kami duduk di bangku panjang, dan tidak lama pesanan kami datang. Es dugan yang baru saja dipesan sudah habis duluan diminum Rico hanya menyisakan lapisan daging kelapa.
“Rico haus?”. Tanyaku heran menatap Rico duduk di sampingku.
“Loe gak malu minum di pinggir jalan kayak gini Al?”. Tanya Rico sambil mengaduk- gelas untuk mengambil sisa irisan daging kelapa dan aku tertawa. “Malu kenapa? Ada-ada aja Rico ini”. Aku kembali meminum minumanku.
“Loe temen satu sekolah Delia kan?”.
“Iya temen satu sekolahnya cuma kami gak akrab”.
“Kenapa gak akrab?”.
“Ya mungkin dia cewek populer di sekolah sedangkan aku biasa aja”. Jawabanku membuat Rico mengangguk.
“Rico mau minum es lagi?”. Tanya Putri.
“Minum darah orang, boleh?”. Tanya Rico memincingkan matanya dan Putri hanya termanyun.
“Just so so Put”. Ujar Rico
“Loe itu just so so”.
Semua orang tertawa, tidak lama Angel meneleponku dan menyuruh kami kembali ke parkiran. Aku pun langsung menghabiskan minumanku dan segera membayar.

“Ada yang mau nebeng gue enggak?”. Tanya Rico saat kami di parkiran. Semua terdiam dan Alsan berbicara. “Angel pulang sama Rico aja biar gue sama Al”.
“Sama disaster? Ogah!”.
“Gue mau jemput cewek gue Ngel”. Sanggah Genta.
“Al sama Rico aja”.
“Kasihan Rico kalau ketemu nenek, sudah terhina nanti dihina pula”. Ujar Putri kemudian tertawa dan Rico hanya memincingkan matanya. Mungkin Rico sedang malas berdebat, apalagi Putri hobi berbicara sedikit tapi menusuk.

Aku pulang dengan Alsan, Putri dengan Andi, Angel dengan Rico, dan Genta sendirian. Kami kemudian bepisah dalam sebuah perempatan.
“Al ini mau kemana?”. Tanyaku diatas motor saat aku perhatikan ini bukan arah pulang.
“Mau ke tempet Mas Saleh, balikin alat sekalian”.
Kami memang tidak cuma berdua, ada mobil pick up dengan seperangkat alat gamelan di belakang kami.

Saat kami sampai tempat Mas Saleh. Anak-anak sedang bermain seni seperti biasanya, bahkan ada yang saling meledek.
“Assalamualaikum”. Sapa Alsan saat kami sudah depan kantor.
“Walaikumsalam”. Jawab Mas Saleh kemudian menyalami kami. Aku dan Alsan kemudian duduk dan Mas Saleh menyingkirkan triangle. “Daripada nanti jatuh, lupa dipindahin”. Ujarnya meledek. Aku hanya mengerucutkan bibir kemudian Alsan mulai bicara setelah Mas Saleh duduk.
“Mas makasih ya buat pinjaman alatnya, itu sudah langsung disusun ditempatnya sama teman-teman yang lain”.
“Iya sama-sama, mas senang kok malahan. Kalau mau pinjam lagi bilang saja”.
“Iya mas”.

Kami kemudian meminum secangkir teh yang telah disediakan. Alsan dan Mas Saleh kemudian membahas permasalahan seni Indonesia, contahnya minat orang asing lebih besar untuk belajar daripada kita yang orang Indonesia, padahal kekayaan kebudayaan satu-satu mulai diakui negara lain karena kita yang mulai melupakan tapi marah saat apa yang kita lupakan juga melupakan kita. Aku hanya mendengarkan. Obrolan itu kemudian berakhir karena hari sudah semakin sore. Aku kemudian ikut berdiri juga untuk menyalami Mas Saleh dan berpamit pulang.
“Semoga kalian langgeng ya”.
“Aamiin”.
Kami pun keluar kantor dari Mas Saleh.

“Emang kita pacaran?”. Tanyaku setelah keluar dari kantor Mas Saleh.
“Kita kan temenan”.
“Iya kita temenan, tapi tadi Mas Saleh bilang langgeng?”.
“Emang kamu gak mau pertemanan kita langgeng?”. Tanyanya balik sembari jalan duluan.
“Iya, tapi kan..”. Gumamku kemudian mengikuti Alsan berjalan di sampingnya.

Langkahku kemudian berhenti menatap pemandangan di saung melihat anak-anak sedang bermain.
“Indah bukan?”. Tanya Alsan ketika aku sibuk melihat sekitar.
“Indonesiaku memang indah”. Jawabku sembari tersenyum dan Alsan balik tersenyum.

Kami berjalan menuju sebuah aula, Alsan kembali mengecek alat-alat gamelan sedangkan aku menulis di kertas yang sudah selalu aku sediakan di tas, takut-takut mendadak ingin menulis seperti ini.
“Ayok pulang”. Ajak Alsan saat aku duduk di salah satu bangku di sudut aula. Aku kemudian mengikutinya berjalan disampingnya.
“Al, kenapa pinjam? Kampus kita kan juga punya alat gamelan”. Tanyaku saat kami berjalan menuju parkiran.
“Al lihat kan tadi anak-anak belajar gamelan di atas panggung. Itu tujuannya, karena kalau alatnya banyak lebih enak”.
Aku hanya mengangguk.

Kami pulang sekitaran pukul lima, senja sore ini benar-benar indah. Warna jingga yang terpancar seperti berada ditengah perbukitan, kami memang sedang melewati jalan perbukitan menuju rumahku. Aku tak henti-hentinya menatap pemandangan jalan, walau aku merasa sesekali Alsan mengintip wajahku dari kaca spion.

“Kita sudah sampai”. Ujarnya saat kami berhenti di pintu gerbang. Aku kemudian turun dan melepaskan helm. Sekarang aku punya helm sendiri, tadi bawa karena dibonceng Genta, beda ceritanya kalau Alsan yang bonceng karena ada helm satu lagi di jok motornya.
“Ini”. Ujarku menyerahkan amplop dan surat.
“Ini surat apa? Ucapan terima kasih?”.
“Bukan dong, bacanya besok subuh aja”.
“Kenapa subuh?”.
“Biar penasaran”.
Alsan kemudian tertawa.
“Ini apa?”. Tanyanya menunjukkan amplop.
“Ini hutang aku kemarin”.
Alsan menarik tangan kananku dan menyerahkan amplop ditanganku. “Gak usah”.
“Kenapa?”.
“Kamu pasti bobol celengan ayam”.
“Kok tau?”.
“Ya tau, celengannya suka majang di deket jendela”. Jawabnya melepaskan tanganku.

Aku memiliki celengan ayam yang aku letakkan di meja belajar tepatnya berdampingan dengan jendela kamarku. Celengan ayamku dapat diambil uangnya lewat lubang bawah ayam yang bisa dibuka tutup walau di bagian kepalanya ada ruang untuk memasukkan uang.
“Ya emang kenapa dari celengan?”.
“Gak main”.
“Dih gayak! Udah terima aja”. Ujarku mengulurkan amplop di depannya.
“Al dengerin deh, aku ini kerja punya penghasilan. Nah kalau kamu pasti dari uang tabungan. Mendingan kamu simpen buat nepatin janji”.
“Kamu masih ingat?”. Tanyaku tak percaya.
“Inget dong”.
“Bagus deh”.
“Nah! Gak merasa beban”.
“Kenapa beban, sama kamu gini”.
“Udah mulai berani ya sekarang?”.
“Ya emangnya kenapa?”.
“Ya gak apa-apa, yaudah aku balik”.
“Balik tinggal balik”.
“Nah loh”.
“Kenapa?”.
Alsan memainkan rambut depanku kemudian menghidupkan motor.

Alsan pamit pulang dan aku hanya menjawab salamnya. Aku memandangi tubuhnya dari belakang di bawah langit senja hingga benar-benar pergi baru masuk rumah.