Dua hari telah berlalu, jawaban suratku pun tak ada. Beberapa hari ini dia absen dari kampus bahkan di tempat kerja juga, begitu kata Genta yang bekerja satu tempat kerja dengan Alsan. Suasana kampus tidak pernah berubah setiap paginya, hanya ketika jam kuliah sedang berlangsung keadaan kampus menjadi sepi. Pohon-pohon saja yang asik berbincang sembari melihat tingkah-tingkah manusia yang tidak mempedulikan mereka, padahal mereka yang memberikan oksigen untuk hidup. Tidak adil ya? Itu rasanya ketika suratku belum juga ada jawaban. Kecewa juga bukan, hanya saja merasa terlupakan.
Apaan sih aku ini! Begitu gumamku dalam benak sembari berjalan menuju kelas. Setelah masuk kelas, aku duduk disamping Angel. Setengah semester sudah terlewati, ujian setiap mata kuliah sudah mulai berdatangan. Waktu ujian adalah waktu siksa, dimana waktu tidurku berkurang dan belajar mendadak itu sebenarnya tidak enak. Namun berbeda dengan Rico yang tampak senang baru masuk kelas dan langsung menghampiriku, Angel, dan Putri.
“Disaster is coming”. Gumam Angel.
“Guys gue kepilih jadi Duta Lingkungan Kampus”. Ujar Rico begitu semangatnya sembari memeluk lengannya sendiri.
“Kok kalian biasa aja”. Lanjutnya melepas pelukan lengannya sendiri dengan kesal.
Aku, Angel, dan Putri hanya terdiam menatap Rico karena sebenarnya kami sudah tahu dari Andi. Kami sengaja biasa aja, mengingat Rico yang suka percaya diri sekali.
Hahaha maafkan kami Rico.
“Kok kalian biasa aja sih?”.
Kami hanya tetap diam.
“Selamat Rico!!!”. Sapa Genta baru masuk kelas sembari menjabat tangannya ala anak laki-laki.
Andi memberikan tangan kanannya kepada Rico, Rico juga memberikan tangan kanannya, dan mereka saling bergenggaman sambil menempelkan pundak. “Selamat ya lur”.
“Thanks lur”.
“Pokoknya Rico makan-makan”. Tegas Angel sambil melipat tangannya sendiri.
“Yee gantian makan-makan aja cepet”.
“Bodok!”. Jawab Angel.
“Kita nunggu Alsan aja”. Sanggah Putri.
“Iya kita nunggu Alsan kok”. Jawab Rico.
Rico, Andi, dan Genta berjalan menuju belakang kami dan aku melihat Rahma datang menghampiri Rico.
“Co, Al mana ya?”.
“Gak tau”. Jawab Rico tanpa melihat Rahma.
“Ya udah gue sms aja”. Rahma kembali berjalan dan duduk di sudut lain bersama rombongannya.
“Angel?”. Tanyaku pada Angel.
“Kenapa Al?”.
“Alsan kemana beberapa hari ini absen?”.
“Gak tau juga. Biasanya pulang kampung. Coba gue tanya Rico”.
Angel langsung membalikkan tubuhnya ke belakang dan memanggil Rico.
“Co!’.
“Apa?”.
“Al mana?”.
“Sakit”.
Apa? Alsan sakit?
“Wah tumben banget dia sakit”.
“Makanya loe tengokin Ngel”.
“Alamatnya mana?”.
“Cari di google”.
Angel hanya memincingkan mata kepada Rico. Angel kembali membalikkan tubuhnya ke arah depan.
“Nyesel gue tanya dia”.
“Sorry ya Ngel..”.
“Gak apa-apa Al, gue juga penasaran kemana itu anak. Untung lagi gak ada progja besar”.
“Jadi dia dibutuhin saat ada progja?”.
“Maunya dibutuhin apa lagi?”. Goda Angel.
Aku hanya diam sembari berfikir kemudian dosen datang membawa pasukan, alias para mahasiswa tingkat akhir untuk mengawasi ujian.
“Semalem loe belajar gak?”. Tanya Rico pada Angel.
“Gak, gue nonton film”. Jawab Angel sambil tertawa.
“Bohong!!!”.
“Tanya Putri”.
“Angel memang gak belajar tadi malam, gak tau kalau tadi subuh”. Sanggah Putri.
“Kok loe gitu Put?”. Keluh Angel.
“Ya loe bilangnya gak belajar muluk tapi nilainya bagus”.
Angel pun tertawa. “Lagi beruntung”.
“Beruntung kok semua ujian”. Sahut Rico.
Angel hanya terdiam mendengar pernyataan Rico dan ujian pun dimulai setelah kertas dibagikan.
Selain Rahma, Angel juga mahasiswi pintar di kelas. Rahma dan Angel selalu kejar-kejaran mendapatkan peringkat pertama, walau pada akhirnya ada anak kelas ganjil yang selalu mendapat peringkat pertama dan aku baru tahu itu adalah Alsan.
Aku kasihan dengan Alsan, dia tertinggal ujian. Apa dia bisa mengerjakan sendirian? Loh emangnya kenapa? Dia bukan aku kalo kepepet ya nyontek hahaha
¤¤¤¤
Hari ini cuaca mendung, suasana seperti ini sering terjadi di Semarang. Aku tarik kembali selimut, tetapi teriakan nenek terdengar keras karena hari ini aku ujian pagi. Susah move on dari kasur, cuaca yang mendukung untuk tidur. Aku paksakan diri membuka jendela kamar, langit begitu gelap seperti akan hujan deras. Pak Toto tidak bernyanyi bahkan membersihkan gulma. Suasana dingin mungkin dirasakan kebun ini, batang-batang tanaman melengkung seperti memeluk dirinya sendiri. Sesekali hembusan angin lewat untuk menyapa mereka.
Aku bergegas mandi dan bersiap-siap, kemudian sarapan nasi goreng. Aku menyalakan televisi yang berdampingan dengan meja makan tetapi nenek berteriak dari kamar melarangku menonton tv setelah aku hidupkan.
“Mau hujan, jangan hidupin tv nanti kesambar petir”.
“Tapi kan gak ada petir nek..”.
Nenek langsung menghela nafas saat keluar kamar dan aku kembali duduk setelah mematikan televisi.
“Nenek sudah menyiapkan bekal untukmu, hari ini menunya omurice, kamu juga bisa makan sama teman-teman, nenek berangkat duluan yaa”. Ujar nenek yang selesai menyiapkan bekal makanan untukku kemudian pergi berangkat ke sekolah.
“Iya nek”. Jawabku sembari salim.
Selesai aku sarapan, aku langsung membereskan meja dan mencuci piring. Aku memakai tas ranselku dan siap berangkat. Saat aku sedang membuka gerbang, Pak Toto juga ikut keluar.
“Pak Toto mau kemana?”. Tanyaku memperhatikan Pak Toto membawa tas ransel.
“Pak Toto mau ke Semarang bawah mbak, besok pagi Pak Toto sudah pulang”. Ujar Pak Toto pamit dan buru-buru mencari tukang ojek.
Aku menutup gerbang sendiri, suasana di jalanan juga terlihat sepi sampai depan gang, tidak lama angkot pun datang. Suasana di angkot pun sepi, beberapa anak sekolah sibuk sendiri dengan ponselnya, sedangkan aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Lamunanku tak disadari sudah membawaku sampai kampus dan harus turun.
Aku melihat Putri dibawah pohon beringin sibuk dengan buku catatannya, aku pun menyusulnya dan duduk disampingnya, mengeluarkan laptop dan mendownload film. Beringin adalah saksi bisu dari kekosonganku dan Putri saat jam kosong. Disini, aku menonton film bahkan menulis puisi. Laptopku yang sudah mulai error ini paling lancar buat diajak nonton film. Suasana mendung siang ini membuat udara dingin menusuk kulitku, tapi tak sesakit merindukannya. Aku ingin menghubunginya tapi tak berani, padahal kami sudah dekat sebagai teman harusnya itu menjadi biasa. Aku bagaikan beringin ini yang daun dahannya tak dapat menyentuh tanah, seperti aku yang tak dapat menggapainya.
“Alsan kemana ya?”.
“Kenapa Put?”
“Enggak apa-apa”. Jawab Putri menatapku tersenyum, senyuman yang penuh arti kemudian dia mengajakku untuk masuk kelas karena cuaca di luar sangat dingin.
Kami dapati Andi dan Genta asik bermain game didalam kelas, kemudian Angel datang dengan nafas terengah-engah.
“Loe kenapa Ngel? Awas mati!”. Ledek Genta. Angel memincingkan mata dan seperti biasa Genta akan berkata, “Ya enggaklah canda”.
“Kalian semua diam”. Ujar Angel masih mengatur nafas.
“Udah diem Ngel”. Sanggah Putri.
“Perhatikan gue”.
“Loe pake lipstick ketebalan hari ini?”. Tanya Andi.
“Bukan itu!”.
“Dengerin ya gue mau baca puisi”.
“Tumben”. Sanggah Genta.
“Ini dari teman kita sendiri”.
Angel mulai membuka koran kampus yang dia bawa. Dia menggelarnya di depan wajahnya sembari mengatur nafas dan dia mulai membaca bait demi bait.
Indah Bukan?
Bukan hal kesombongan
Tapi suatu kemegahan
Dari tanah kelahiran
Indah Bukan?
Ada sebuah kenangan
Lama tersingkirkan
Seperti musim dingin berkepanjangan
Indah Bukan?
Sebuah keindahan
Dalam seni kebudayaan
Kembali tersiarkan
Indah Bukan?
Seperti tumbuh sebuah harapan
Layaknya bunga bermekaran
Di musim semi yang dinantikan
Indah Bukan?
Aku temukan
Harta kekayaan tanah kelahiran
Darimu, teman
Indah Bukan?
Ingin ku lestarikan
Bukan hilang dalam angan
Karena tak diabadikan
“Ouuuuuu!!!!!!”. Teriak Angel dengan gemasnya memegang kedua pipinya selesai membaca.
“Puisi siapa itu?”. Tanya Putri.
“Judulnya Bagai Sakura?”. Sanggah Andi
“Iya benar!”. Jawab semangat Angel.
Rico datang dengan koran kampus di tangannya.
“Eh temenku ada yang ngirim puisi ke koran kampus, mau gue bacain?”.
“Disaster is coming”.
Rico hanya memincingkan matanya pada Angel.
“Ah loe telat”. Ujar Genta.
“Kok telat?”. Tanya Rico
“Ini puisi Al”. Sahut Angel.
“Al? Alsan?”. Tanya tegas Putri.
“Bukan Alsan, tapi Alamanda”.
“Hah????”. Ujar Putri tak percaya menatapku. Semua orang jadi menatapku.
Aku tidak pernah merasa mengirimkan puisi pada koran kampus, tapi satu hal yang pasti itu adalah puisi yang aku tulis pada surat untuk Alsan.
“Kapan loe ngirim?”. Tanya Putri.
“Belum lama”. Jawabku, jika aku bilang Alsan yang melakukannya pasti habis aku dicerca mereka dengan 1000 pertanyaan.
Alsan!!! Awas kamu!!!
“Tapi bagus kok Al”. Sanggah Andi.
“Kalau gitu Al bisa buatin puisi pas anniv gue nanti?”. Pinta Rico.
“Yee gak kreatif banget sih loe Co”. Sanggah Angel.
“Ya kenapa, gak apa-apa ya Al?”.
Aku hanya tersenyum sembari menahan kesalku. Ini akibat ulah Alsan, aku tidak pernah publikasi setiap tulisanku, tapi dia mengirim tulisan tanpa meminta izin.
“Wow akhirnya ada yang bisa loe lakuin dalam hidup loe ya Al”. Ledek Andi.
“Teman kita jadi pujangga sekarang, wajar juga namanya jomblo”. Ledek Rico dengan tawanya, Angel langsung memukulnya dengan koran kampus.
“Sakit Ngel!”. Mereka berdua saling bertatapan tajam kemudian berakhir dengan pertanyaan Putri.
“Ngomongin sakit, si Alsan sakit apa?”. Tanya Putri pada Genta.
“Sakit demam gitu”.
“Gue belum bisa nengokin”. Sanggah Rico.
“Tengokin yuk”. Ajak Angel.
“Dia pulang kampung, tapi besok udah ngampus kok”. Jawab Genta.
“Entar malem gue main ke rumahnya”. Ujar Rico sembari duduk samping Genta.
“Entar malem kita tengokin tuh”. Saran Putri.
“Jangan!!!”. Teriak Genta seperti menyembunyikan sesuatu.
“Just so so! gak perlu teriak-teriak, memang kenapa sih?”. Ujar Putri.
“Disana banyak anak cowok soalnya rumahnya itu teman2 kerja semua yang tinggal”.
“Yo dah kita ketemu Alsan besok aja kalau gitu”. Sahut Angel.
Kami langsung duduk rapih ketika dosen datang. Aku sama sekali tidak fokus mendengarkan dosen berbicara. Angel terus berbicara di sampingku menceritakan Selena Gomez penyanyi favoritnya yang akan konser.
Apa yang terjadi hingga dia bisa demam, padahal malam itu sebelumnya mengantarkanku pulang keadaannya masih baik-baik saja? Ada Rahma yang sudah memerhatikannya pastinya memberikan perhatian. Aku hanya akan terlihat bodoh jika aku mengiriminya pesan, pasti dia akan merasa kegantengan.
“Iya ganteng!”. Teriakku karena kaget Dosen memanggil namaku. Aku spontan mengatakan itu, hingga akhirnya semua mahasiswa tertawa terutama dosen.
“Wah bapak senang sekali dipanggil ganteng oleh mahasiswi”. Ujar beliau padaku sambil tertawa. Aku benar-benar malu hingga tak berani mengangkat kepalaku untuk melihatnya.
“Begini susahnya mahasiswa jaman sekarang, tidak bisa menempatkan pikirannya yang benar, kalo dosen lagi jelasin coba didengerin, karena apapun itu yang keluar dari mulut dosen itu ilmu, iya gak?”. Ledek dosen padaku.
Aku mengangkat kepalaku. “Iya Pak”.
“Kalau cinta itu jangan dipikirin tapi kejar dengan kesuksesan, jika hanya sekedar memendam nanti bisa gila, kuliah berantakan, cintanya juga berantakan”. Ujar dosen yang masih meledekku sambil tertawa.
“Loe mikirin siapa sih?”. Tanya Angel.
“Mikirin Justin Bieber”.
“Oh dia mah ganteng, tapi udah enggak sama Selena Gomez”.
Kami kembali memperhatikan dosen berbicara hingga jam kuliah selesai. Setelah dosen keluar, semua anak laki kompak meledekku. “Hai Ganteng”. Ledek mereka sambil tertawa dan aku langsung menundukkan kepalaku di meja. Angel dan Putri tampak menahan tawa untuk menghargai perasaanku.
“Yo dah yok Al kita pulang, katanya loe mau ke toko buku”. Ujar Putri.
“Loe ke toko buku sama siapa?”. Tanya Angel
“Sendirian aja”.
“Maaf ya Al”.
“Iya gak apa-apa Put, biasanya juga sendirian”.
Biasanya aku memang sendirian, walau kadang Putri suka menemaniku. Kali ini dia harus siap-siap pulang kampung sore ini, hampir setiap jum’at sore Putri pulang kampung.
“Hai Ganteng”. Ledek Rico dan teman-teman kemudian pergi keluar, Angel akan mengejar tapi aku melarangnya.
“Udah Ngel, aku udah biasa kok sama Rico”. Ujarku sembari memegang lengan Angel yang akan mengejar Rico.
Angel pergi menuju sekret, sedangkan aku dan Putri berjalan bersama menuju parkiran. Aku turun di kosan Putri kemudian naik angkot menuju Semarang Bawah. Aku mengitari toko buku mencari-cari novel, aku menemukan satu yaitu Dunia Sophie. Novel pertama dunia filsafat yang akan aku baca.
Waktu sudah menunjukkan pukul empat saat aku asik sendiri membaca buku yang sudah terbuka dari bungkusnya, aku bergegas siap-siap pulang dan membayar. Saat aku keluar dari toko buku, aku melihat seseorang nenek tua sedang duduk di depan toko buku sembari berjualan getuk. Getuk atau dalam bahasa jawanya gethuk, merupakan makanan khas jawa yang terbuat dari singkong. Makanan ringan ini merupakan makanan kesukaanku selain kue cubit. Aku menyukai makanan yang bertekstur lembut dan manis. Makanan manis rasanya seperti menggoyangkan lidah dan menghanyutkan perasaanku dalam kemanisan.
Entah mendapatkan naluri darimana aku menghampiri nenek tersebut. “Nek getuknya piro?”.
“Sewu wae nduk sebungkusnya”.
Seribu? Sebungkus? Itu murah sekali mengingat lumayan banyak isinya.
“Kulo tumbas gangsal mawon nek”. (Saya beli lima ribu saja nek). Sembari memberikan uang 20 ribu. Nenek kemudian mencari-cari uang kembali. Aku kemudian berjalan begitu saja.
“Ndok susuknya?”. Teriak nenek dengan suaranya yang sudah lemah.
“Buat nenek aja”. Jawabku tanpa membalikkan tubuh tetap melanjutkan perjalanan.
“Suwon Ndok”. Ujarnya yang sempat aku dengar saat sedang berjalan.
Aku duduk sejenak di sebuah bangku panjang daerah pertokoan menikmati getuk yang baru aku beli. Aku masih punya waktu satu jam untuk sampai rumah. Sore seperti ini suasana Semarang sangat ramai, jalanan begitu padat tapi tidak macet hanya sekarang jamnya orang-orang pulang beraktivitas. Aku hanya memakan dua bungkus kemudian mencari angkot untuk pulang. Setelah menunggu sejenak kemudian aku mendapatkan angkot, angkot pun terlihat ramai. Aku membuka tasku untuk mengambil uang.
Mampus!!! Uangku tinggal 5ribu, mana cukup sampai pulang. Ini cukupnya sampai setengah perjalanan aja, harusnya tadi gak beli getuk..
Aku pun turun dari angkot ditengah perjalanan tepatnya sebelum menuju Bukit Gombel. Aku memutuskan untuk berjalan. “Mana handphone pakai lowbet segala”. Ucapku kesal kemudian tak sengaja menendang kaleng bekas dihadapanku. “Ini juga! Siapa yang membuang sampah sembarangan!”. Aku kemudian memungut kaleng bekas tersebut hingga kemudian menemukan kotak sampah.
Aku kemudian duduk berjongkok. “Ah bodohnya aku, kan kalau sampai rumah bisa minta bayarin rumah”.
“Ahhh!!!”. Teriakku kesal mengacak-acak rambutku.
Aku kembali melanjutkan perjalanan, aku melewati beberapa rumah mewah tapi terlihat sepi. Aku tetap melanjutkan perjalanan hingga menemukan masjid untuk beristirahat sejenak dan shalat.
“Betapa sialnya aku hari ini”. Gumamku sembari merebahkan diri setelah sholat.
“Dek sakit?”. Tanya seorang ibu menghampiriku kemudian aku duduk.
“Aku enggak apa-apa”. Jawabku sembari tersenyum.
“Ya udah rebahan aja dulu”. Ibu tersebut mulai meninggalkan aku dan sinyal otakku kemudian hidup. Aku memanggil ibu tersebut. “Ibu!!!”.
“Iya?”. Jawabnya kaget sembari membalikkan tubuh. Aku kemudian berdiri dan menghampiri beliau. “Maaf bu, apa boleh saya meminjam hp sebentar?”.
“Silahkan”. Ibu tersebut kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Nek.. jemput Al di masjid komplek rumah kepolisian. Uang Al habis.
Begitu pesan yang ingin aku sampaikan pada nenek, tapi saat akan mengetik nomor…
Sial! Aku tidak ingat nomor nenek.
Aku tertunduk memijat pelipisku merasakan seluruh otot wajahku tegang.
“Dek?”. Tegur ibu tersebut menyentuh lenganku.
“Oh iya ini bu terima kasih”. Jawabku mengembalikan ponsel dan ibu tersebut meninggalkan aku.
“Ah dasar getuk sialan!”. Aku membuang sisa bungkusan getuk di kotak sampah saat melanjutkan perjalanan pulang. Aku benar-benar ingin menangis rasanya tapi hatiku menolak. Aku menghela nafas kemudian menatap langit. “Wah bintang diatas sana benar-benar indah”.
Aku kembali melanjutkan perjalanan dan tanpa sengaja melihat Rico sedang menaiki sepeda di seberang sana tepatnya di perempatan jalan. “Itu kan Rico!”. Gumamku lirih. Aku kemudian menyebrang tiba-tiba suara klakson motor dan mobil serontak berbunyi menandakan untukku minggir, aku melihat ternyata sedang lampu hijau.
Untungnya aku masih berjalan dua langkah. Aku kemudian menyebrang ketika lampu hijau. Aku berjalan mengikuti arah jalannya Rico yang aku lihat tadi belok kanan masuk gang. Gowesan Rico terlihat semakin jauh dan tak dapat mendengar suaraku. Kompleks perumahan yang sangat sepi hanya ada pepohonan depan rumah yang menunjukkan aura tidak enak dan lama-lama Rico menghilang. “Rico mana???”. Gumamku entah berapa banyak gang yang sudah aku lewati dan aku tidak tahu ini dimana. Jalanan tampak sepi, bukannya menemukan jalan keluar justru aku semakin tersesat. Aku menggenggam kedua lengan ranselku dan tetap berjalan. Wajahku mulai berkeringat dingin. “Nenek”. Begitu gumamku dan air mata itu pun jatuh seketika mulai membasahi pipiku tanpa suara hingga akhirnya aku menemukan sebuah pos yang terlihat banyak pemuda sedang bermain kartu, kurang lebih ada lima orang.
“Permisi mas”. Sapaku saat menghampiri mereka. Aku merasakan ada gelagat yang aneh saat aku menegur mereka. Mereka langsung menatapku dari atas hingga bawah, kebetulan hari ini aku sedang mengenakan rok selutut.
“Iya mbak, ada apa?”. Jawab salah satu pemuda yang berada disudut pendopo ini.
“Ojek dimana ya mas?”. Tanyaku gugup.
“Wah jam segini ojek udah gak ada mbak, mending saya anterin”. Jawab salah satu pemuda yang tidak bermain kartu menghampiriku.
Aku mulai merasa aneh dan tiba-tiba mereka semua mendekatiku. Aku mulai melangkah mundur menjauhi pendopo, tapi aku merasa mereka seperti magnet yang ingin cepat mendekatiku.
“Cantik juga, mana seksi pula”. Ujar salah satu pemuda yang mendekatiku kemudian menyentuh lengan ransel.
“Maaf mas, saya cuma tanya ojek aja”. Aku kemudian mulai berlari tapi shit! Salah satu pemuda meraih lenganku saat aku mulai berlari.
“Mau kemana? Sini kita main-main dulu”.
Aku mulai bergemataran, siapapun tolong aku.
“Lepasin”. Tangisku mulai pecah.
“Jangan nangis dong, kami gak main kasar kok”. Ujar salah satu pemuda yang ingin mengusap air mataku kemudian aku menangkisnya.
Entah permainan macam apa yang mereka maksud, tapi yang jelas aku mau pulang! Mau ketemu nenek!.
“Wah berani rupanya!”. Geram salah satu pemuda kemudian menyentuh kedua tanganku dan mulai menarikku.
“Tolong!!!!”. Teriakku kuat walau aku tahu hanya ada enam orang disini termasuk aku. Bahkan jika saat ini hantu menolongku, akupun tak peduli.
“Teriak aja yang kuat, gak akan ada yang denger”. Ujar salah satu pemuda kemudian mereka tertawa bersama. Saat mereka menikmati tawa-tawa mereka, tiba-tiba ada mobil berbalik arah yang sebelumnya melewati kami dan memberi lampu jauh pada kami.
“Apa-apaan ini”. Ujar pemuda yang memegangi tanganku kemudian melepaskannya dan menghampiri sang pemilik mobil diiikuti pemuda lainnya. Aku kemudian duduk terjongkok lemas. Aku tidak tahu apa yang sedang aku rasakan sekarang, sedikit saja mungkin aku tidak tahu apa yang terjadi.
“Dia punya gue!”. Teriak sang pemilik mobil saat keluar dan itu suara pria.
“Terus kalau dia punya loe kenapa?”. Tanya salah satu pemuda menantang sang pemilik mobil.
Aku masih terdiam kemudian terjadi perkelahian luar biasa. Aku tidak berani menatap peristiwa tersebut. Aku benar-benar takut, bukan perkelahian yang aku inginkan tapi cepat-cepat bawa aku kabur dari sini. Saat aku sedang berusaha mengatur nafasku dengan tatapan kosong dibawahku. Tiba-tiba ada yang menarik tanganku, aku tidak tahu dia siapa tapi satu yang pasti dia bukan dari salah satu pemuda tersebut. Aku tidak dapat melihatnya karena tertutup cahaya lampu yang cukup menusuk mata.
Dia kemudian membukakan pintu dan membawa aku masuk untuk duduk di kursi yang berdampingan dengan kursi pengemudi. Dia kemudian berlari masuk lewat pintu kemudi dan melajukan mobil begitu cepat meninggalkan pemuda-pemuda yang tadi menggodaku. Aku pikir pemuda-pemuda tersebut babak belur habis berkelahi dengan sang pemilik mobil. Aku mungkin sudah kehilangan akal sehat dan hanya menikmati kemudi sang pemilik mobil yang gila membawanya. Sang pemilik mobil menurunkan kaca mobil sebelahku. Semilir angin mulai menyisir rambutku yang tidak aku ikat. Aku kemudian menyanggahkan daguku dipinggiran jendela mobil menikmati angin malam yang pelan-pelan mulai menghilangkan peristiwa yang baru saja aku alami.
“Indah bukan?”. Tanya sang pemilik mobil memecahkan lamunanku.
Aku menengok arah datangnya suara. “Alsan?????”.
“Baru sadar?”. Tanyanya balik tanpa menatapku. Aku masih terkekeh menatapnya.
“Jangan ngeliatin gue terus nanti kita bisa kecelakaan”.
“Kamu ngapain disini?”.
“Nah pakek tanya. Jangan-jangan loe bakal ikut siapapun walau loe gak kenal”.
“Aku gak segampang itu!”.
“Bukan gue yang ngomong”. Jawabnya masih menatap ke depan.
“Aku ngikut aja karena kamu udah nolongin aku”.
“Kamu? Berarti loe tau ini gue?”. Jawabnya sinis.
Sifat ngeselinnya muncul, itu sifat bukan lagi karakter tapi gen! Manggilnya gue loe lagi!
“Siapapun kamu pasti aku ikut”. Jawabku tenang karena dia sudah menolongku. Aku merasa Alsan mulai menurunkan kecepatan mobil menjadi normal.
“Loe ini ngapa sih malem-malem kelayapan sendirian? Mana pake rok pendek”.
“Aku ini bukan kelayapan tapi tersesat. Ini juga bukan rok pendek masih selutut!”.
“Semalam ini?”. Tanyanya menatapku. Tatapan yang penuh rasa khawatir.
“Aku kehabisan ongkos pulang, gara-gara…”.
“Gara-gara apa?”.
Aku tidak mungkin bilang gara-gara aku membeli getuk, salah aku juga lupa membawa uang tambahan padahal nenek sudah memperingati. “Bukan apa-apa”. Jawabku lemas.
“Gak ada jawaban lain apa?”.
“Jawaban apa?”.
“Ya cewek hobi banget ngomong bukan apa-apa, enggak apa-apa kalau gak terserah”.
“Emangnya berapa banyak cewek yang udah ngomong gitu sama kamu?”.
Alsan hanya terdiam.
“Al????”. Panggil Alsan lirih saat kami sama-sama memandang ke depan.
“Hp kamu memang kemana?”.
“Hp ku lowbet, gak punya powerbank”. Jawabku datar. Suara hening kembali tercipta. Suara-suara kendaraan di jalanan yang hanya terdengar kemudian hal memalukan terjadi. Perutku berbunyi sangat keras. “Hahahahahahahahahaha”. Alsan tertawa dan aku hanya melipatkan bibir.
Alsan meminggirkan mobil di sebuah warung makan lesehan kemudian dia menyuruhku keluar. “Kayaknya kamu makan dulu biar punya tenaga waktu dimarahi nenek”. Ledeknya kemudian turun dari mobil.
Sial! Aku pikir dia peduli karena aku lapar, ternyata hanya agar aku siap untuk dimarahi nenek.
Aku kemudian turun dari mobil dan sedikit membanting pintu walau sebenarnya tak sengaja. “Heh! Mobil mahal!”. Teriak Alsan membalikkan tubuh yang sudah setengah berjalan. “Iya tauk”. Jawabku sinis.
Alsan mulai melanjutkan langkahnya dan menekan remote mobil untuk menguncinya dan aku mencari tempat kemudian duduk.
“Pesan apa?”. Tanyaku saat Alsan datang dan duduk disampingku.
Kenapa dia harus duduk disampingku? Kan bisa di depanku.
“Pecel lele”.
Aku hanya mengangguk, kemudian Alsan mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menelepon seseorang.
Alsan : Halo Assalamualaikum
Penerima telfon : ……..(Tidak terdengar, mungkin menjawab walaikumsalam).
Alsan : Nek, Al sudah sama saya, kami sekarang sedang makan.
(Ternyata nenek).
Alsan kemudian menyodorkan ponsel padaku. “Ini nenek mau dengar suara kamu”.
“Halo nek”.
“Alamanda!!!!!!”. Aku bisa mendengarkan suara teriakan nenek yang mungkin tetangga juga bisa mendengarnya. “Kamu cepat makan kemudian pulang!”. Lanjut nenek kemudian mematikan telepon. Aku mengembalikan ponsel Alsan dan menempelkan dahiku di atas meja dan menghela nafas.
Siap-siap saja dihukum nenek.
Makanan kemudian datang dan kami memulai makan tapi aku sebenarnya tidak tenang dengan tingkah Alsan. Alsan tidak makan dengan lahapnya seperti biasa. Dia mengunyah sembari memegang kedua pipinya menahan sakit di sudut bibirnya yang terluka.
“Al sakit?”. Tanyaku lirih.
“Sekiranya?’. Tanyanya memincingkan mata padaku. Aku benci melihat dia bisa mengangkat alisnya sebelah.
“Maaf”. Jawabku kemudian menundukkan kepala.
“Gak apa-apa, asal bukan kamu yang terluka”. Aku sontak menatapnya mendengar ucapannya. Dia masih dengan wajah datarnya menatap makanan pelan-pelan menyendokkan makanan dimulutnya.
“Habisin makanannya, nanti nenek tambah marah kalau kita pulang lewat jam 10”. Aku kemudian melanjutkan makan dan melihat jam tangan yang sudah pukul 08.15.
Selesai makan, Alsan membayar dan kami menaiki mobil bersama.
“Al?”.
“Apa Al?”. Tanya balik Alsan saat sedang menghidupkan mobil.
“Kotak obat dimana?”. Sontak Alsan mematikan mobil, seakan dia tahu aku akan mengobati lukanya.
“Ada di depan kamu”.
Aku membuka kap kecil didepanku dan mengambil kotak P3K. Aku membuka kotak dan mencari alkohol untuk mensterilkan luka. Aku tempelkan alkohol sedikit di kapas dan menempelkannya disudut bibir Alsan, bagian tulang bawah mata dan pelipisnya.
“Sakit Al”. Keluh Alsan.
“Sabar”. Jawabku masih membersihkan lukanya kemudian mencari obat oles untuk cepat mengeringkan lukanya. Aku tempelkan obat oles dengan cuttonbud
“Sakit Al!”. Teriaknya pelan menjauhkan wajah dariku.
“Ini tinggal bibirnya habis itu udah”. Rayuku dan Alsan kembali medekatkan wajahnya padaku. Aku kembali mengoleskan obat ke sudut bibirnya. Alsan menggigit bibir bawahnya. Aku yakin dia sedang menahan perih. Dia kemudian menyanggahkan kepalanya dikursi dan menutup mata merasakan obat dengan perihnya meresap dikulitnya.
“Oke selesai, anak pintar”. Ujarku senang kemudian mengacak rambut depannya. Entah dapat keberanian darimana kemudian Alsan memegang tanganku yang sedang mengacak rambutnya. “Lain kali jangan pakai rok pendek”. Ujarnya masih menutup mata.
“Ini gak pendek kok”.
“Panjangin lagi”.
Aku hanya menjawab iya, bagaimana cerita bisa dipanjangin tapi daripada hanya membuat dia kesal, aku hanya menurut. Dia melepaskan tanganku dan membuka mata.
Aku membereskan kotak P3K dan mengembalikan kembali pada tempatnya. Alsan mulai menghidupkan mobil dan kami berjalan pulang tanpa percakapan sedikitpun. Aku merasa aneh dengan sikap Alsan. Rasanya benar-benar dijaga oleh seseorang, dari dia mulai marah hingga memintaku lembut untuk tidak mengenakan rok pendek. Aku kemudian memulai perbincangan.
“Al?”.
“Iya?”.
“Kok kamu ngirim suratku ke koran?”.
“Itu bukan surat”.
“Iya. Tapi aku malu”.
“Malu tapi seneng”.
Aku hanya tersenyum kemudian Alsan menatapku dan kami tersenyum bersama.
“Al?”.
“Iya?”.
“Menurutmu, puisi aku gimana?”.
“Menurutmu bagaimana kalau sudah aku kirim ke koran kampus?”.
Itu artinya bagus. Aku hanya tersenyum dan kembali bertanya.
“Kenapa judulnya sakura?”.
“Kamu amati deh setiap katanya. Bait kedua itu seperti musim dingin. Bait keempat seperti bunga sakura yang sedang bermekaran karena bunga sakura pun hanya bermekaran seminggu. Jadi aku beri judulnya bagai sakura”.
“Oh gitu. Kamu maksud gak arti sesungguhnya puisi itu?”.
“Darimu teman itu?”.
“Bukan Alsan!”. Alsan hanya tertawa ternyata sekedar menggodaku kemudian aku menjelaskannya.
“Aku pingin bilang kalau pertunjukkan seni kemarin membangkitkan kembali perannya yang mulai terlupakan anak muda sekarang dan semoga dengan acara kemarin, aku berharap kesadaran anak-anak akan meningkat tentang pentingnya budaya mereka sendiri”.
Alsan hanya mengangguk seakan dia hanya pura-pura tidak tahu.
“Aku juga mengirim puisi itu bukan hanya sekedar bagus tapi ingin pamer pada mereka yang kurang peka terhadap seni indonesia”.
Sekarang aku yang gantian kembali mengangguk. Alsan kemudian mengacak rambutku dan tanpa sadar kami sudah sampai.
“Kok berhenti disini?”. Tanyaku bingung hanya sampai gang rumah.
“Mau ngisi bensin dulu”.
“Diih mobil mahal kok ngisi bensin di jalan”.
“Biarin!”. Jawabnya kemudian turun dari mobil diikuti aku.
Alsan kemudian berjalan duluan dan aku menyusulnya. “Katanya mau ngisi bensin?”.
“Nanti saja”.
Kami sudah sampai depan rumah. Ada mobil Rico dan otomatis motor Andi. Firasatku tidak enak. Seakan semua temanku disini.
“Nenek pasti sudah menghebohkan semua orang”. Ujar Alsan kemudian masuk rumah.
“Assalamualaikum”. Salamku dan Alsan.
“Walaikumsalam”. Jawab semua orang dan aku masuk. Nenek langsung memelukku.
Benar saja, ada Angel, Rico, Andi, dan Genta disini. Ada Pak Toto disini.
Nenek langsung melepaskan pelukannya.
“Syukur deh Al baik-baik saja”. Ujar Angel kemudian gantian memelukku.
“Kalian jalan?”. Tanya Andi.
“Motorku di depan lagi aku isi bensin”. Jawab Alsan.
Motor? Kenapa Alsan tidak bilang kami bawa mobil? Entahlah itu urusan dia.
“Makasih Nak Alsan sudah menemukan Al padahal sedang sakit”. Ujar nenek memegang kedua tangan Alsan.
“Siapapun bisa melakukan itu jika menemukan Al duluan”. Jawab Alsan sembari tersenyum.
“Terus wajah kamu kenapa?”.
“Alsan habis jatuh dari motor”. Jawab Alsan tenang.
Alsan bohong! Dia kembali menutupi kesalahanku. Mungkin jika nenek tahu sesungguhnya pasti aku benar-benar tidak boleh keluar sendirian.
“Sepertinya sudah diobati”. Nenek melepaskan genggamnya kemudian menepuk pundak Alsan.
“Al ketemu dimana?”. Tanya Angel.
“Ketemu di pos dekat kompleks”. Jawab Alsan.
“Kompleks mana?”.
“Kompleks perumahan polisi”.
“Kok bisa sejauh itu melancongnya?”.
“Loe ini banyak tanya Ngel, biar Alsan sama Al nafas dulu baru dateng”. Sanggah Rico.
“Tadi kehabisan ongkos jadi jalan deh mana hp mati jadi gak bisa ngubungi siapa-siapa dan gak hafal nomor siapa-siapa. Liat Rico bersepeda aku ikuti lama-lama dia hilang dan aku tersesat”.
“Pantes tadi berasa ada yang manggil”.
Angel langsung memukul punggung Rico.
“Sakit Ngel”.
“Parah sih loe sama kawan sendiri”.
“Ya gue kira hantu jadi ngebut aja gue”.
“Yo dah yang penting sekarang Al selamat dan biarin mereka istirahat”. Sanggah Andi.
“Kalau gitu Alsan pamit pulang nek, sudah malam”.
“Gue minep ya?”. Sanggah Angel dan semua orang tak ada yang menanggapinya. Angel hanya mengerucutkan bibir.
“Iya Angel, temani Al malam ini dan marahi dia. Kalau nenek pasti tidak didengarkan”.
“Siap nek”. Jawab Angel dengan semangatnya kemudian memberi tanda hormat dengan menempelkan tangan kanannya di dahi.
Alsan dan teman-teman kemudian pulang setelah kami mengantarkan hingga gerbang. Aku kemudian bergegas mandi, setelah selesai mandi aku dapati nenek sedang menonton tv dan aku duduk di samping beliau. “Nek, Aku minta maaf”. Nenek kemudian memelukku. “Jangan diulangi lagi dan sekarang kamu tidur, nenek juga mau tidur”. Aku hanya mengangguk kemudian kami langsung masuk kamar masing-masing.
Saat aku masuk kamar, aku dapati Angel sudah tidur. Aku mengambil ponselku yang sudah aku charge dan aku hidupkan. Ada begitu banyak pesan yang tertinggal dan paling banyak adalah nenek, kemudian ada pesan baru datang ternyata dari Alsan.
Alsan: Aku sudah sampai rumah, udah gitu aja.
Aku: Terima kasih untuk hari ini
Alsan: Enggak pakai surat?
Aku: Lain kali saja
Alsan: Baiklah, tidurlah dengan tenang. Jadikan pelajaran hari ini.
Aku: Siap bos!
Alsan: Jangan pakai rok pendek!
Aku: Iye!
Alsan: Siip!
Aku hanya membacanya dan kembali meletakkan ponsel. Aku bersiap-siap tidur dan mematikan lampu kamar.