Catatan Akhir Kuliah – Part 9

Pagi ini aku sedang menjalani hukuman dari nenek karena pulang malam, yaitu urusan rumah hingga kebun menjadi tanggung jawabku selama tiga hari dan hari ini adalah hari terakhir. Sudah tiga hari ini aku berkutat dengan splitting dan repotting.

Splitting adalah kegiatan memisahkan tanaman menjadi beberapa bagian dengan cara membelahnya seperti pada tanaman lidah mertua. Nenek suka sekali dengan tanaman lidah mertua, apalagi saat diletakkan di kamar mandi, cukup untuk menyegarkan udara dan menyerap bau tidak enak. Sedangkan repotting adalah kegiatan pindah tanam dari pot kecil ke pot yang lebih besar.

“Assalamualaikum”.
“Walaikumsalam”. Jawabku sembari berdiri menghentikan aktifitas. “Kalian ngapain kesini?”. Tanyaku pada Angel dan Putri yang menghampiriku.
“Kan aku udah bilang semalem, kalau hari ini kita panen hidroponik”. Jawab Angel.
“Tapi aku masih dihukum nenek”.
“Udah gampang, nanti kita bantuin”. Sanggah Putri.
“Tanggung nih, aku udah nyusun pot sama media tanam tinggal pindahin lidah mertua”.
“Udah Al nanti telat”. Jawab Angel menarik tanganku.

“Mbak Al mau kemana?”. Teriak Pak Toto keluar dari belakang rumah.
“Al nya aku pinjam dulu pak”. Jawab Putri sembari aku masuk mobil.
“Hai Al”. Sapa Rico.
“Hai Co”. Jawabku terbata.
Kami kemudian berangkat meninggalkan Pak Toto yang berusaha mengejarku .

“Ngomong-ngomong aku belum cuci tangan”. Ujarku lirih.
“Apa???!!!”. Teriak Rico sembari mengerem mendadak membuat kami terguncang ke depan.
“Rico pelan-pelan! Syukur di belakang enggak ada kendaraan”. Keluh Angel.
“Cuci tangan dulu Al entar mobil gue kotor”.
“Iya Co”. Jawabku lirih.
“Mau cuci tangan pakai apa? entar berhenti di pom bensin aja”. Ujar Putri.
“Kelamaan, kasihan Si Al udah gatel-gatel juga tangannya, itu kan ada air mineral”.
“Yang gatel itu bukan Al tapi loe, loe bilang pakai air mineral? mikir dong Co di daerah lain aja air bersih sangat dibutuhin ini dibuang-buang, nanti kita berhenti di pom bensin, titik!”. Tegas Angel.
Rico hanya terdiam dan kembali melanjutkan perjalanan.
“Maaf ya aku malah ngerepotin”.
“Gak apa-apa Al, malah kita yang gak enak nyulik kamu dengan keadaan kayak gini”. Jawab Putri.

Kami berhenti di salah satu pom bensin dan aku membersihkan diri, Putri memberikanku bedak dan lipstik. Kami bertiga kembali naik ke mobil Rico. Seperti biasa Rico tampak asik dengan game di ponselnya, Rico langsung duduk siap. Kami kembali melanjutkan perjalanan dengan ditemani lagu-lagu sendu.

“Al, gue ini mau tanyain ini looh”.
“Tanya apa Ngel?”.
“Itu kemarin loe pulang kok bisa muter-muter gitu?”.
“Aku liat Rico, terus aku ikutin lama-lama hilang dan aku nyasar”.
“Gue minta maaf Al, sebenarnya gue denger ada yang manggil tapi gue takut”.
“Ah pengecut loe Co”. Ujar Angel.
“Khawatir gak napak tanah”. Jawab Rico dengan tawanya.
“Kalau gak ada Alsan gak tau deh gimana jadinya”.
“Emangnya ada apa Al?”. Tanya Putri.
“Aku digodain sama cowok-cowok lagi nongkrong”.
“Ya Tuhan!!! Terus gimana Al?”. Angel begitu terkejut menatapku sendu.
“Alsan langsung bawa aku kabur aja pas dateng”.
“Pantes mukanya babak belur”. Sahut Putri.

“Ngomong-ngomong Alsan tau darimana ya kalo Al belum pulang?”. Tanya Putri.
“Lah bukan dari kalian?”. Tanyaku heran.
“Dari Andi sama Genta”. Sanggah Rico.
“Oh iya juga”. Jawab Putri.

Kami kembali berbincang tentang hal lain mengenai awal mula kami menjadi dekat dengan Rico beserta rombongan. Rico benar-benar menjadi bahan bully karena wajahnya yang kategori cantik. Akhirnya kami sampai di Desa Kembang tanpa sadar, aku pun turun dari mobil dengan rambutku yang diikat asal. Aku butuh minyak wangi sekarang mengingat aku belum mandi.
“Ngel minta minyak wangi?”.
“Gak bawa Al, cuaca panas kayak gini pake minyak wangi malah buat pusing”.
“Aku belum mandi”.
“Demi Al?”.
Aku hanya mengangguk kemudian Andi datang menghampiri kami untuk bergabung.
“Yo dah nanti kita cari ya”. Bisik Angel.
“Ayok sekarang kita langsung kesana aja”. Ajak Andi.

Kami berjalan menuju balai desa dan sudah banyak masyarakat berkumpul disana termasuk Ibu Dewi sebagai dosen penanggung jawab. Aku melihat wajah Alsan masih lebam dengan luka tipis dibiarkan terbuka. Hari ini adalah hari dimana panen sayuran hidroponik. Ibu Dewi memberikan sambutannya sebelum panen dilakukan, kamipun menyambutnya dengan tepuk tangan meriah.

“Assalamualaikum wr.wb., Selamat pagi Bapak Ibu sekalian, Alhamdulillahirabbil’alamin atas kehadiratNya kita dapat berkumpul pada pagi hari ini dalam rangka panen sayuran hidroponik dari program kerja mahasiswa kami yang dipimpin oleh Alsan Tirtateja beserta rekan-rekannya, saya sebagai dosen penangggung jawab mengucapkan terima kasih kepada Bapak Wito sebagai kepala desa dan masyarakat setempat yang dengan baik telah menyambut kami dan mengijinkan program tersebut berjalan disini, semoga kegiatan ini akan terus mempererat tali silaturahmi diantara kita, baik dengan ini saya nyatakan bahwa panen hidroponik siap dilakukan.
(suara ketukan mic sebanyak tiga kali dan disambut dengan tepukan yang meriah)
Saya minta maaf apabila selama kegiatan ini berlangsung mahasiswa berbicara dan bertindak yang tidak berkenan di hati Bapak Ibu sekalian, saya mewakili mereka untuk dimaafkan. Semoga kegiatan hidroponik ini sangat bermanfaat bagi Desa Kembang dan besar harapan saya agar ini terus dibudayakan oleh bapak ibu sekalian, baik sekian pidato dari saya, kurang lebih saya mohon ampun kepada Allah SWT, saya akhiri wabillahi taufiq walhidayah wassalamualaikum wr.wb”.

Setelah menjawab salam, kami berpencar dengan kelompok kami masing-masing dan siap panen.
“Al, gue kamar mandi dulu, loe duluan aja”.
“Iya Ngel, kamu mau ditemenin?”.
“Gak usah”. Ujar Angel meninggalkanku dan aku menyusul Alsan bersama ibu-ibu yang sedang memetik sayuran.

“Alhamdulillah ya kegiatan ini sukses, semoga bermanfaat untuk ke depannya”. Ujar salah satu ibu kepada Alsan dan Alsan hanya tersenyum.
”Nak Al wajahnya kenapa?”. Tanya salah seorang ibu lainnya.
“Habis jatuh bu”.
“Itu sih kena pukulan”.
“Beneran jatuh bu”.
“Anak ibu sering berantem jadi ibu tau”. Ujarnya kembali sembari tertawa dan ibu lainnya ikut tertawa.
“Bocah saiki doyenne gelut”.
“Keokehan nonton sinetron gelut-gelutan ngono”.

“Rico!!! Dasar Disaster!!!”. Teriakan Angel terdengar melengking, Rico sedang menakutinya dengan ulat bulu di atas daun yang Rico bawa.
“Anak pertanian kok takut ulat?”. Ledek Rico dengan mengayun-ayunkan daunnya.
“Biarin!!! Daripada takut sama cewek?!”. Jawab Angel sembari menjulurkan lidah. Semua orang tertawa mendengarnya.
Rico mulai geram dan mendekati Angel.
Bruukkkk!!!!
Rico terpleset dan semua orang kembali tertawa.
“Kualat sih!!!”. Ledek Angel sembari tertawa.
Rico memegang pantatnya dan melihat ada kulit pisang. Alsan mendekati Rico dan membantunya berdiri. Alsan mengambil kulit pisang tersebut.
“Wah siapa buang kulit pisang sembarangan”. Ujar Genta.
“Buang di sungai aja nak”. Ujar seorang ibu.
“Kalau dibuang disungai, nanti aliran sungai terhambat dan menyebabkan banjir, Ibu”. Sanggah Putri.
“Woooo!!!!’. Ledek Andi.
“Just so so”. Sahut Putri yang membuat Andi langsung terdiam.
“Yo dah Ngel coba loe mangap”. Ujar Genta.
“Apaan sih?!”.
“Ya enggaklah canda”.
Kami semua tertawa dan Alsan pun buka suara. “Jadi ibu-ibu mulai sekarang buanglah sampah pada tempatnya demi menjaga kesehatan keluarga kita, apalagi anak-anak sering mandi di sungai. Jika menjadi penyakit pengeluaran kita akan lebih banyak nantinya”.
“Kalau gitu sampah-sampah sayurannya jadikan satu tempat biar jadi pupuk organik”. Lanjut Angel dan semua orang menyorakinya.
“Ibu-ibu, air cucian beras juga bagus buat tanaman jadinya tidak perlu buang sembarangan”. Sanggahku.
Semua ibu-ibu mengangguk yang berarti mengiyakan dan kami kembali memetik sayuran. Aku sering melihat nenek selalu membuang air cucian beras pada tanaman karena bagus untuk menambah unsur hara dalam tanah juga.

Ibu Dewi menghampiri kami yang sedang asik bercanda dengan warga. “Wah mahasiswa ini buat ibu bangga, praktik memang penting tapi teori harus tau karena itu dasar dari semuanya”.
“Kami tidak akan lupa bu”. Jawab kami kompak.
Ibu Dewi tersenyum penuh kebanggaan, aku merasa senang melihatnya.

Panen telah selesai, sayuran yang kami panen langsung dimasak oleh ibu-ibu dan kami juga ikut membantu memasak untuk liwet bersama.
“Hmmm bau tumis kangkungnya bikin kangen masakan mommy”. Ujar Angel sembari menarik hidungnya merasakan aroma makanan.
“Nak Angel campuran apa?”. Tanya istri kepala desa sembari memegang bahu Angel.
“Saya Bali campuran Jerman”.
“Siapa yang Jerman”.
“Daddy yang Jerman”.
“Pasti Nak Angel pintar bahasa asing?”. Tanya salah seorang ibu.
Angel tertawa sembari menjawab, “Kebetulan mommy tinggal dan lahir di daerah yang disana penduduknya pandai Bahasa Jerman tapi mommy tidak bisa bahasa Inggris, jadinya soal Bahasa Inggris aku hanya belajar saat bermain di Kuta dan Daddy yang mengajari”.
Ibu-ibu pun mengangguk mendengarkan penjelasan Angel.
“Kenapa kuliah di Jawa? Tidak di luar negeri?”.
“Aku tidak terlalu pintar soal pendidikan, aku hanya ingin belajar Budaya Indonesia”.
“Wah hebat sekali, anak muda jaman sekarang udah susah buat belajar buat budayanya sendiri”. Sahut Ibu yang lain dan kami hanya tersenyum sembari mengangguk.

Setelah selesai masak-masak, kami menuju ke ruang depan aula untuk menyusun makanannya dan anak laki-laki sudah menyiapkan daun pisang.
“Wah seneng banget bisa makan-makan sama anak muda kayak gini”. Ujar Pak Wito.
“Biar kelihatan muda ya pak”. Canda Genta.
“Iya dong”. Jawaban Pak Wito membuat kami semua tertawa
“Wes tuek inget muka nek guyu wes mengkerut kabeh”. Jawaban Istri Pak Wito membuat kami semua terawa.
“Yang penting bojone cinta”. Jawab Pak Wito yang hanya dimesemin oleh istrinya.

Kami memulai makan dengan doa bersama dipimpin oleh Andi.
“Nikmat sekali”. Ujar Angel dengan begitu senangnya.
Suasana yang tak akan terlupakan, ini akan menjadi kenangan terakhir makan bersama warga setelah progja ini berakhir.

Setelah selesai makan, aku membantu mencuci piring bersama Angel dan Putri.
“Angel!!!”.
“Apaan sih?!”.
Rico datang memanggil Angel.
“Suruh ke depan tuh sama Alsan mau nyanyi katanya”.
“Baiklah”.
Angel kemudian berdiri dan mencuci tangannya. “Ayok kita kesana”. Ujarnya kemudian berjalan menuju ke depan.
“Al gak kesana?”. Tanya Putri padaku yang sedang mengelap piring.
“Tanggung nih, kalian duluan aja”.
“Oke, nanti nyusul yaa”.
“Iya”. Jawabku sembari mengangkat jari jempolku dan Putri meninggalkanku.

Semua piring sudah bersih, aku tinggal meletakkan pada kotaknya. Para warga desa sangat antusias jika mahasiswa datang ke desa mereka, semua perlengkapan mereka yang bagus dikeluarkan untuk menyenangkan hati mahasiswa. Aku berdiri kemudian duduk di pinggiran sungai, aku ingin menikmati sejenak aliran sungai yang begitu deras sebelum kembali berkumpul bersama mereka. Ada satu hal yang menarik perhatianku, yaitu bunga lotus besar berwarna merah muda yang diletakkan dalam sebuah bak besar. Aku menghampirinya dan duduk di samping bak tersebut memerhatikannya yang begitu cantik.

“Itu anak saya mbak yang ngerawat”. Ujar salah satu ibu sedang mencuci tangan di sungai.
“Wah bagus bu, saya ada lotus dirumah tapi warna putih”.
“Kalo mbak mau ambil saja satu”.
“Enggak bu makasih, kasihan anaknya”.
“Enggak apa-apa mbak ambil aja anakannya”.
“Iya bu terima kasih”. Jawabku sekedar iya untuk tidak memperpanjang.
“Mbak nya gak ke depan?”.
“Masih pingin disini bu”.
“Yo dah ibu masuk dalam ya..”.
“Iya bu”. Jawabku tersenyum kemudian beliau meninggalkanku dan aku kembali memandangi lotus.

Bunga lotus mewangi..
Kamu bermekaran di siang hari..
Dan redup dimalam hari..
Sama seperti hatiku ini..
Yang hanya bertemu kala matahari menyinari..

“Woiii”. Teriak Alsan menghancurkan lamunanku kemudian duduk disampingku. “Nanti loe kesambet”.
“Ngapain kesini?”. Tanyaku tanpa memandangnya.
“Gue habis dari kamar mandi terus liat loe disini, liatin apa sih?”.
Tanpa menjawab aku hanya menunjuk bunga lotus.
“Oh bunga lotus, loe suka bunga lotus?”.
“Suka”.
“Kenapa?”.
“Ada filosofinya aja buat aku”.
“Emang apa filosofinya?”.
“Terkadang aku terlalu sibuk mencari berlian di balik lumpur, tapi aku lupa bahwa bunga lotus selalu tumbuh baik di lumpur”. Ujarku sembari tersenyum kemudian menatap Alsan.
Sial!!! Senyuman Alsan lebih indah dari lotus ini.

“Ngapain nyari berlian di lumpur? Di toko perhiasan juga banyak”.
“Itu kiasan Al”.
“Emang maksudnya apa?”.
“Lotus bisa tumbuh baik di lumpur yang berusaha mengikatnya, kenapa aku tidak bisa tumbuh baik walau hanya sekedar di rumah”.
Alsan hanya mengangguk. Aku memerhatikan luka diwajahnya karena diriku.
“Al???”.
“Kenapa Al?”.
“Lukanya masih sakit?”.
“Cuma perih aja kalau kena air”.
“Aku punya plaster nih”. Jawabku memberikan plaster padanya. Aku membeli plaster saat beli cabai di warung.
“Pakein Al”.
“Kamu bisa sendiri”.
“Mana ada kaca, nanti kalau gak pas gimana?”.
“Oke deh”. Jawabku menyerah kemudian melepaskan pembungkusnya dan memasangkannya.

Aku merasa aneh, kenapa dari tadi Alsan senyum-senyum aku pasangkan plaster? Apa dia suka sama aku?

“Nah udah”. Ujarku tersenyum kemudian Alsan tertawa dengan girangnya.
“Kamu kenapa sih?”.
“Loe udah mandi belum?”.
Aku hanya memasang wajah maluku. “Aku mana sempet mandi tadi, mereka datang terus nyulik aku”.
Alsan mengambil sesuatu dari tas kecilnya kemudian menyemprotkannya padaku. Baunya harum sekali.

“Ini wangi anggur, jadi gak masalah dipakai cewek apa cowok”.
“Al jangan banyak-banyak, baju mahal ini”.
“Yaelah kaos kayak gini bagian mana mahalnya”. Ujarnya kesal setelah selesai menyemprotkan minyak wangi padaku.
“Ya enggaklah canda”. Jawabku kemudian kami tertawa bersama.

“Loe tau gak baju paling mahal apa?”.
“Baju dari kulit ular?”. Jawab ragu.
“Baju yang terbuat dari serat batang lotus”.
“Emangnya ada?”.
“Makanya tv ditonton daripada dianggurin”.
“Auuu semut!!!”. Teriakan kecil Putri di belakang kami mengalihkan perhatianku dan Alsan.
“Kenapa Put?”. Tanyaku.
“Digigit semut”. Jawab Putri sembari menggaruk kakinya.
“Yo dah gue duluan”. Ujar Alsan sembari berdiri dan berjalan. Aku pandangi punggungnya yang mulai meninggalkanku dan Putri.
“Al!!!”.
“Apa?”. Alsan membalikkan tubuhnya.
“Kenapa?”.
“Terima kasih”.
“Gak pakai surat?”.
“Lain kali saja”.
Alsan kemudian melanjutkan perjalanan dan aku kembali menatap Putri.

“Put?”.
“Iya”.
“Ayok ke depan”.
“Ayok”.
Kami berjalan bersama ke depan menuju pondokan dan aku melihat Putri sedikit bingung, mungkin pengaruh digigit semut.

“Kamu kenapa?”. Tanya Andi kepada Putri saat kami sampai pondokan.
“Bukan apa-apa cuma digigit semut aja”.
Andi pergi ke mobil Rico yang sebelumnya meminjam kunci dan kembali menghampiri kami.
“Ini biar gak tambah gatal”. Andi menyodorkan minyak kayu putih kepada Putri.
“Iya makasih”. Ujar Putri dan kami kembali ke pondokan.

Pondokan ini biasa digunakan untuk berkumpul para warga karena ukurannya cukup besar yang terbuat dari anyaman bambu. Aku dan Putri duduk berlipat, para dosen sudah pamit pulang duluan saat kami sedang mencuci piring.
“Indra mana ya?”. Tanyaku pada Angel.
“Lah itu lagi ngajarin buat tahu bakso sama ibu-ibu”. Jawab Angel sembari menunjuk di sudut lain. Sontak kami semua tertawa.

Terdengar suara petikan gitar dari anak tangga pondokan di tengah perbincangan, suaranya begitu lembut. Mataku langsung tertuju kearah suara petikan gitar tersebut, ternyata itu Alsan. Jemarinya yang panjang mulai memainkan senar-senar gitar, kemudian terdengar suara pukulan sendok ke arah gelas dan tiang bambu. Aku memincingkan mataku ke sumber suara, ternyata itu Angel yang duduk disebelahku disusul Genta memainkan gendangnya. Mereka mulai memainkan musik dengan alat seadanya, instrumen musik sederhana tapi terkesan mewah di hatiku. Aku merasa tidak asing seperti alunan musik yang biasa dinyanyikan Pak Toto. Spontan aku menyanyikan lagu tersebut.
“Kalau ada sumur diladang.. Bolehlah kita…menumpang mandi…”
Kemudian Angel melanjutkan bernyanyi.
“Kalau ada umur yang panjang.. Bolehlah kita berjumpa lagi…”.
Semua warga di pondokan jadi ikut bernyanyi bersama dan lagu selanjutnya adalah lagu tradisional jawa seperti gundul-gundul pacul.

Rasanya benar-benar menyenangkan, nenek memang benar bahwa cara yang baik mendekati warga adalah keramahan. Disini aku belajar ramah dan rasanya menyenangkan jika kita menjadi bagian setiap candaan mereka.

Hari sudah sore, saatnya kami pulang. Kami berpamitan pulang dengan para warga. Kami berpelukan dengan para warga yang senang dengan kedatangan kami.
“Jangan lupa main, cuma sini situ doang kan?”. Ujar Pak Wito yang meledek ucapan Rico waktu itu. Kami hanya tertawa dan Rico memegang lehernya tersipu malu.
Aku, Putri, dan Angel saling berpelukan dengan ibu-ibu dan saling menegur untuk saling main ke tempat masing-masing. Kami masuk mobil dan melambaikan tangan sampai benar-benar meninggalkan desa.

“Sedih rasanya”. Ujar Angel sembari menghela nafas dan menekan tombol di pintu untuk menutup jendela mobil.
“Sedih gak ada gue ya?”. Ledek Rico sembari tertawa.
“Haduh Disaster“. Jawab Angel lirih.
Sebelum Rico berbicara, kami kemudian pura-pura tidur. Rico kemudian berujar dengan kesalnya. “Kalian semua parah”.

Angel menyalakan musik dan kembali tertidur. Rico hanya menggerutu dan kami tetap melanjutkan tidur. “Udah gue yang nyetir terus sekarang ditinggal tidur, wah kalian benar-benar…”.
Aku hanya tersenyum tipis sembari tertidur. Terima kasih Desa Kembang dan maafkan kami Rico. Kami pun sampai dirumahku sebelum maghrib.

“Nenek!!!”. Teriak Angel saat kami sampai rumah. Nenek memasang wajah galak padaku. Ini pasti karena aku meninggalkan pekerjaan begitu saja.
“Maaf nenek”. Ujarku lirih.
“Iya gak apa-apa sudah diselesaikan sama Pak Toto”.
“Maaf ya nek”. Ujar Rico dengan tenang.
“Lain kali pergi kemana saja harus ijin, ponsel jangan lupa dibawa”.
“Maaf nek”. Ujarku kembali memeluk lengannya.
“Nenek, Angel juga minta maaf tapi nenek tenang saja, kami membawakan hasil panen kami.”. Ujar Angel dengan kantong besar di kedua tangannya dan meletakkan di samping nenek. “Angel juga sekalian pamit karena besok pulang kampung”.
“Terima kasih.. Nak Angel baru kemarin kesini sudah pamit lagi”.
“Iya nek”.

Aku dan Putri kemudian memeluk Angel.
“Aku bakal kangen kamu Ngel”. Gumamku.
“Kalian juga jangan lupa telfon aku”.
“Pasti”. Ujar Putri.
“Sudah..sudah dramanya”. Ujar Rico dan kami melepaskan pelukan.
“Yo dah Nak Angel hati-hati dan salam buat orang tuanya”.
“Siap nek”.
Rico, Putri, dan Angel kemudian pamit pulang. Aku dan nenek hanya melambaikan tangan saat mereka pergi.

Sudah satu semester kami lewati dan banyak hal yang terjadi di semester lima ini. Terima kasih Tuhan atas segala kenikmatan dan kebersamaan bersama teman-teman dan masyarakat.. baru kali ini aku benar-benar merasa hidup.. semoga semester berikutnya banyak hal luar biasa dalam hidupku seperti kata Alsan.

“Loh Nak Al”.
Alsan datang tak lama mobil Rico pergi. Alsan turun dari motor kemudian salim kepada nenek.
“Kenapa kesini?”.
“Ada perlu sama Al nek, bentar aja”.
“Kalo gitu nenek masuk dulu, ngobrolnya jangan terlalu lama, soalnya mau maghrib”.
“Siap nek”. Jawab Alsan kemudian nenek masuk rumah dengan dua kantong sayuran ditangannya.
“Kenapa Al?”. Tanyaku.
“Ini”. Alsan menyodorkan sebuah kotak padaku.
“Ini apa?”. Tanyaku mengambil kotak kecil berukuran persegi berwarna hitam.
“Sabun mandi”.
“Hah? Sabun mandi? Buat apa? Di kotakin segala?”.
“Loe kan belum mandi, gue khawatir kalau belum beli sabun mandi. Itu kotak bekas jam tangan gue”.
Aku hanya tertawa.
“Yo dah gue balik dulu”. Ujarnya lalu berjalan dan menaiki motor.
“Al???”. Panggilku lirih saat dia mengenakan helm.
“Kenapa Al?”.
“Nilai-nilai ujian kamu gimana?”.
Alsan hanya tersenyum
“Al???”. Panggil Alsan padaku.
“Kenapa?”.
“Enggak apa-apa”.
“Huu dasar aneh”.
“Yo dah gue balik sekalian pamit pulang kampung, loe jangan kelayapan malem-malem gak ada gue”.
“Iya hati-hati”.
Alsan hanya tersenyum kemudian pergi.
Kok sedih ya rasanya dia mau pulang kampung.

Aku kemudian masuk rumah dan masuk kamar bersiap-siap untuk mandi.
“Sabun apa sih yang Al beli”. Ujarku kemudian membuka kotak dan isinya cukup membuatku terkejut.
“Hah? Powerbank?”.
Aku mengeluarkan powerbank kecil berwarna putih dan ada surat didalamnya.

Al, gue titip powerbank selama pulang. Gue beli powerbanknya dulu, baru nabung smartphonenya. Loe pake aja pas loe lagi main. Jangan sampek kehabisan baterai.

Aku hanya tersenyum membaca suratnya dan memasukkan kotak yang aku sediakan untuk meletakkan surat-surat Alsan.
“Lumayan deh daripada lu manyun”. Gumamku kemudian meletakkan powerbank di atas meja belajar. Aku menutup jendelaku karena menjelang malam, tapi gerakan tanganku berhenti ketika menatap senja sore ini.