Sebuket Bunga Alamanda cathartica

Sebuket bunga Alamanda cathartica

Aku duduk diatas kursi kayu di teras rumah, memandangi sinar mentari yang mulai menghilang..
Terganti lebih besar, yaitu matahari..
Matahari dengan alam begitu akrab..
Saat matahari tak ada, alam akan berwarna redup..
Saat matahari ada, alam akan berwarna cerah..
Pintar sekali mereka membuatku cemburu..

Pukul 07.10 pagi, aroma embun pagi masih tercium..
Debu semalaman masih berterbangan..
Dan kenangan kemarin masih melayang..
Sesekali aku mencuri perhatian pada waktu yang sembunyi..
Siapa tahu ia membuatku terlena pada masa lalu..

Suara bunga mekar itu terdengar dan memecahkan lamunanku..
Aku berdiri dan menggantungkan tas selempang di pundak kiri..
Berjalan dan menuju pagar rumah..
Aku bungkukkan tubuh menatap tanaman alamanda..
Tangkainya masih diselimuti embun dan kelopaknya baru melepaskan aroma segar..
Penggoda para lebah untuk nyaman memeluknya..

Aku petik beberapa tangkai dengan bunganya yang baru mekar..
Aku hirup aroma segar bunga terompet ini..
Aku pandangi penuh cinta..
Agar kelak di Nirwana, ia akan mengingatku dengan baik..
Kebetulan, sekarang ini aku memiliki tanaman alamanda berwarna kuning..
Warna kesukaanku setelah merah muda..

Aku ikat 10 tangkai alamanda menjadi buket dengan karet gelang..
Aku ikat kembali dengan pita berwarna kuning..
Aku masukkan di keranjang sepedaku..
Siap menemaniku menuju kampus yang sudah menemaniku setahun..
Roda sepeda siap ku putar dengan kakiku dan melaju..

Aku dengan nama yang masih aku sembunyikan..
Aku tinggal di Yogyakarta setahun ini..
Aku tinggalkan ibukota, ketika Bunda kembali ke Malaysia..
Aku tinggal di sebuah rumah kecil bersama teman sekolah dasarku dulu..
Panggilannya Putri, ia bukan anak sultan..
Memang namanya Putri, Putri Sekar..
Nama yang cantik dengan rupa yang menarik..
Berbeda dengan aku..

13 menit mengayuh dan berhenti di tempat parkir..
Aku sandarkan sepeda dibawah pohon beringin dan memandanginya..
Beringin itu selalu berdiri kokoh apapun keadaannya..
Walau beribu orang bilang ia seram..
Pada akhirnya beribu orang tetap nyaman berteduh dibawahnya kecuali malam hari..
Bukan karena ia seram, karena pohon beringin mengeluarkan karbondioksida di malam hari..

Inginku kayuh lebih jauh sepeda ini..
Namun hati menolak dan berbalik saat di pintu gerbang kampus..
Aku percaya manusia sepertiku bisa berubah walau beribu orang bilang tak mungkin..
Aku pikir mereka bukan Tuhan..
Aku bisa menjadi ramah, terutama dengan alam..

Aku langkahkan kaki meninggalkan halaman parkir..
Berhenti tepat di pinggir trotoar untuk menyebrang..
Namun hatiku ragu untuk melangkah..
Seolah alam tak mendukungku berkeliaran..

Wajah yang aku rindukan muncul..
Tepat di sebrang jalan, di depan gedung yang ku tuju..
Kebiasaannya belum berubah, ia masih suka menggigit bibir bawahnya..
Dan membelai rambutnya ke arah belakang..

Teman yang selalu ingin kuajak bermain..
Jangankan untuk mengajaknya bermain bersama..
Menyapanya saja hormon adrenalinku sulit berkumpul..
Hingga tanpa sadar ia telah menghilang dari kaca retinaku..

Sebuket bunga Alamanda cathartica, inginku persembahkan..
Padanya yang lebih dulu menyapa hatiku..
Namun untuk sekarang sebuket bunga alamanda..
Ku persembahkan untuknya yang membuatku menjadi teman akrab alam..

Esok, aku akan rangkai sebuket bunga untuknya..
Dan ku persembahkan padanya yang baru menghilang..
Dengan nama yang selalu aku sembunyikan..
Dari aku yang melihatmu seperti matahari..