Catatan Akhir Kuliah

“Eh ada Nenek Lantrah sama Al”.  Sapa salah satu ibu merupakan tetangga kami.

“Eh Ratmi”.  Sapa balik nenek sembari menyentuh pundaknya.

Aku dan nenek sedang pergi ke pasar untuk berbelanja sayuran dan keperluan dapur lainnya.

“Bawang Putih Kating sekilo berapa mas?”.  Tanya nenek pada penjual.

“44ribu bu, kating lagi mahal”.

“Yo udah ambil setengah kilo aja”.

Bawang putih kating adalah bawang putih lebih kecil dari bawang putih biasa.  Kata nenek untuk memasak kating lebih enak.

“Oh ya Al, kapan wisuda?”.  Tanya Bulek Ratmi.

“Bentar lagi”.  Sahut nenek sembari memilih kentang.

“Itu Rani udah wisuda, padahal duluan Al kuliahnya”.

“Yang wisuda duluan juga gak jamin kerja duluan”.  Jawabku datar, nenek kemudian memincingkan matanya kepadaku dan Bulek Ratmi terdiam.  Rani adalah anak Bulek Ratmi.

“Kalau gitu saya duluan nek, Al”.

“Hati-hati Ratmi”.

Bulek Ratmi kemudian pergi dan cepat menghilang dari penglihatan kami, mungkin keadaan pasar yang ramai juga.

Aku tidak masalah jika semua orang menyerbu pertanyaan itu, tapi masalahku adalah perasaan nenek.  Nenek adalah orang yang tidak pernah bertanya kapan wisuda tapi dia hanya sekedar bertanya sudah sampai mana.  Saat aku mengatakan dengan acuhnya kalau revisi masih belum balik sebenarnya cukup menyakitkanku yang selalu ingin meremas gemas dosenku yang begitu sibuk.

“Kamu jangan seperti itu, Al”.

“Biarin nek”.  Jawabku sembari mengambil kantong plastik belanjaan kemudian kami pulang menggunakan angkot dan sampai gang rumah kami.

“Al, kamu bersih-bersih biar nenek yang masak”.  Ujar nenek saat sampai pintu gerbang.

Nenek kemudian masuk rumah dibantu Pak Toto membawa barang belanjaan.  Pak Toto adalah orang yang bekerja di rumah kami.

“Oke nek”.  Aku kemudian melepaskan helm dan berganti pakaian untuk bersih-bersih.

Aku kemudian mengambil sapu di belakang rumah yang menggantung dekat jemuran baju.  Aku mulai menyapu kemudian mengepel.  Setelah selesai, aku mandi.  Aku mengusap-usap rambutku yang basah menggunakan handuk sembari masuk kamar. 

“Pak Toto udah pesen pupuk?”.

“Udah Doro Putri, tapi yang nganter belum dateng-dateng”.

“Coba kalau Nak Al, pasti cepet”.  Ujar nenek lemas.  “Yo dah Pak Toto mupuknya nanti sore saja, sekarang mandi terus sarapan”.

“Iya Doro Putri”.

Itu percakapan nenek dan Pak Toto yang ku dengar dari dalam kamar.  Kebetulan jendela kamarku berhadapan langsung dengan kebun samping rumah.

Aku duduk di tepi tempat tidur memandangi meja belajarku.  Aku punya enam sahabat selama kuliah yaitu, Angel, Putri, Rico, Andi, Genta dan terakhir Al.  Diantara mereka hanya aku dan Genta yang belum wisuda, sisanya melalang buana dimana saja.

Aku mengusap-usap rambutku dengan handuk sembari melihat gambar Al bersamaku saat melihat matahari terbit bersama.

Kamu lagi apa?

“Al!!!!!”.  Teriak Delia saat masuk kamar, cukup membuatku terkejut.

“Kamu kok gak kedengeran datengnya?”.

“Aku naik sepeda kesini sama Rico.  Aku mau ngambil buku yang kamu ceritain itu”.

“Oh Buku Dunia Sophie itu?”.

“Iya.  Aku mau belajar filsafat”.

“Biar berpikir kritis?”.  Tanyaku berdiri dan mengambil buku.

“Iya.  Biar bisa berkarya”.  Jawab Delia sembari tertawa.   “Yo dah aku langsung pulang ya?”.  Lanjutnya sembari mengambil buku dari tanganku.

“Hati-hati Del, salam buat Rico”.

“Siip deh”.

Delia tampak senang sekali setelah oke cetak karena biasanya wajahnya suka ditekuk.

¤¤¤¤

Seminggu yang lalu…

Aku tidak tahu ini perasaan apa tapi rasanya sakit, sakit yang lembut tapi cukup menusuk seperti jarum yang menembus beberapa lapisan kulit dan tidak terlihat.

“Delia, kamu sudah oke cetak”.   Ujar Pak Widodo sembari bertanda tangan di cover draft skripsinya.

“Baik Pak, setelah ini saya akan mengurus di bagian jurusan untuk diperiksa kembali pada ketua jurusan”.

Itu adalah percakapan antara Delia dan Pak Widodo di depanku saat kami bimbingan bersama.   Pak Widodo adalah dosen pembimbing kedua kami.

Aku tidak merasa iri pada Delia karena dia sudah oke cetak, tapi rasanya harapan untuk wisuda bulan depan pupus dan itu sungguh menyakitkan.   Hampir satu bulan, aku hanya bimbingan dua kali semenjak Pak Widodo menjadi sekretaris jurusan.

Pak kenapa sih lama sekali?

Pak saya sudah mengorbankan waktu, hati dan pikiran?

Pak, saya kerja tidak tapi tiap hari ngabisin duit…

Ujarku dalam benak setiap harinya.

Aku sudah mendapatkan oke cetak terlebih dahulu dari pembimbing pertama, tapi tetap saja pembimbing keduaku yang super sempurna tidak begitu saja untuk oke cetak.   Aku terkejut setelah draft revisiku yang sudah ku tinggal kurang lebih 3 minggu belum terrevisi sepenuhnya.   Aku hanya terdiam sembari menahan nafas.

Pak, pendaftaran wisuda tinggal hitungan hari, apa untuk sekarang juga harus pupus?

Pak Widodo tak sepenuhnya membuatku kesal karena sebenarnya beliau baik.   Pak Widodo sangat mengayomi dan bersahabat.   Aku pun tak tega untuk terlihat memaksa cepat oke apalagi beliau jauh dari istri, aku hanya menunggu dalam berdoa setelah usaha berkepanjangan, semoga ada berkah dan hikmah di balik ini semua.

“Ini”.   Ujar Pak Widodo menyerahkan bagian bab 1 padaku.

Baru kali ini revisi balik cuma bab 1 aja.

Sembari Delia dan Pak Widodo kembali berbincang, aku memeriksa kertas revisi untuk mengecek adakah yang kurang ku mengerti, ternyata ada yaitu bagian abstrak.

Kamu tahu hal yang paling unik dari skripsi apa?  Perjuangan revisi yang luar biasa.   Permainan bolak balik kata diuji disini, tentunya hanya pembimbingku yang dapat melakukannya pada anak bimbingannya.

Pak, kenapa gak dari awal sih?

Bolak balik kata muluk, ngabisin kertas pak!

Gemes!!!!

Aku hanya bisa berontak dalam hati cukup membuat sekujur aliran darah menggumpal di otak nyaris membuat meledak.

“Pak ini maksudnya apa?”.   Tanyaku sembari menyodorkan kertas yang tulisannya cukup membuatku tak mengerti.

Aku bingung, aku ini kuliah pertanian apa kedokteran?  Setiap revisi tulisannya seperti resep obat.   Split? Urgensi?  Habis itu tanda garis bawah, silang sana sini dan tulisan kata-kata yang sulit ku mengerti.

Pak Widodo menjelaskan begitu sabar karena mngerti aku mahasiswi yang lemah.

Aaah lemah!!! Karena selama penelitian sering sakit L

Baiklah setelah oke cetak pembimbing pertama, aku harus kembali bimbingan untuk memastikan bahwa Ibu Sakinah bisa menerima baik setiap perubahan kata dari Pak Widodo.   Entah kenapa dua dosen ini tidak ada yang sepahaman.

Kami kemudian keluar setelah dirasa bimbingan selesai.

“Al, gue ngurus di jurusan dulu”.   Ujar Delia saat kami bersamaan duduk di lantai depan ruangan Pak Widodo setelah keluar.   Delia menyusun berkas-berkas yang akan dipakai dari tas jinjing berkasnya, kebetulan sebagai sekretaris jurusan ruangannya berhadapan langsung dengan ruangan administrasi jurusan.

Aku hanya duduk tersimpah lemas setelah baru semalam aku berharap hari ini sepenuhnya draft ku balik.   Aku tidak ingin berekspetasi!  Bukankah dari kemarin aku sudah menata hati dengan baik, bagaimana bisa goyah hanya secuil harapan?  Aku mulai berharap setelah Pak Widodo bersedia untuk ditemui.   Bertemu dengan Pak Widodo untuk bimbingan seperti mendapatkan berlian dibalik lumpur.

Aku duduk memainkan kakiku seperti menabuh drum kemudian memainkan tali sepatu converseku.  Setelah menunggu sejenak, Delia keluar dan kami pulang bersama.  Kami berjalan menuju parkiran mobil.  Kami berbincang mengenai Konser BTS yang sebentar lagi akan berlangsung.  BTS adalah boyband asal Korea dengan nama fans ARMY, tentunya bukan dengan arti tentara tapi singkatan.  Dulu Delia pernah memberitahu, tapi sekarang lupa apa artinya.

Selama perjalanan, Delia tidak membahas sama sekali mengenai oke cetak.   Aku yakin dia sedang menghargai perasaanku.

“Oke Al sampai ketemu besok ya”.  Ujar Delia saat kami sampai depan rumahku.

“Oke”.  Jawabku sembari mengangkat jempol kemudian turun dari mobilnya dan Delia langsung pergi.

“Eh Mbak Al sudah pulang?”.  Tanya Pak Toto saat aku membuka gerbang ketika sedang menyiram tanaman.

“Iya Pak Toto”.

“Yo dah sana Mbak Al mandi”.

“Males mandi pak”.

“Lah kenapa?”.

“Nanti bunganya kalah cantik sama aku”.  Jawabku tersenyum menggoda.

Pak Toto langsung mengarahkan selang di depanku.

“Pak Toto!”.   Teriakku dari lamanunanku saat Pak Toto memanggilku di depan pintu kamar yang terbuka.

Kurang lebih seperti itu perasaanku seminggu yang lalu.

“Masuk aja Pak”.

“Mbak Al ngelamunin apa sampek bengong liatin foto?”.

“Bukan apa-apa pak”.  Jawabku kemudian kembali menatap layar laptop.

“Kangen Mas Al yo?”.

“Enggak pak”.

“Yowes, ini teh hangat buat Mbak Al.  Pak Toto mau ngajar dulu”.  Ujarnya sembari meletakkan secangkir teh di atas meja belajarku.

“Wah Pak Toto makasih banyak.  Ciee ngajar”.

“Mbak Al jangan banyak ngelamun, Mbak Al juga butuh bahagia, apa mau ikut Pak Toto ngajar?”.

Perkataan Pak Toto mengingatkanku pada Al.  Hal terindah yang diberikan Al sebelum hubungan kami menjadi kacau.

“Tuh kan Mbak Al ngelamun lagi.  Yo dah Pak Toto berangkat dulu”.

Aku hanya mengangguk sembari tersenyum.  Aku membuka laptop dan siap menulis.  Aku suka sekali saat menunggu rambutku kering sembari menulis.  Aku menulis semenjak revisiku lama.  Aku memutuskan untuk menulis sembari mengisi waktu kosong agar tidak tambah penat dan stres.

“Al, kamu tidak sarapan?”.  Tanya nenek berdiri di bibir pintu.

“Aku masih kenyang makan ubi tadi”.

“Yo dah nenek pengajian dulu.  Kamu jangan lupa makan siang”.

“Iya nenek hati-hati”.

Kisah kehidupanku yang mulai tidak biasa dimulai saat semester lima.  Saat dimana aku dan sahabatku masih berkumpul bersama dan menikmati waktu dengan catatan akhir kuliah begitu luar biasa.